Rongkop,(sorotgunungkidul.com)–Bersiap-siaplah bagi Anda yang ingin menikah dengan warga Bohol, Rongkop, Gunungkidul. Pasalnya, setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan di desa itu diwajibkan untuk menanam bibit pohon jati.
Sepintas kedengarannya memang unik, sepele, namun berarti. Demi sebuah upaya pelestarian lingkungan hutan yang kini mulai terkikis dengan meluasnya lahan kritis, pemdes Bohol sejak tahun 2007 lalu telah memberlakukan “nikah kromojati”.
Kromojati berasal dari kata kromo yang dalam istilah bahasa Jawa berarti pernikahan, sedang Jati merupakan nama salah satu jenis tanaman keras. Sehingga nikah kromojati bisa diartikan sebagai sebuah peresmian ikatan hubungan antara pria dan wanita secara sah menurut hukum yang berlaku disertai penanaman bibit pohon jati.
Menurut kades Bohol, Widodo, upaya pemberlakuan nikah kromojati di wilayahnya tersebut terbukti ampuh dalam memupuk tingkat kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pelestarian hutan. Sebab disadari atau tidak, jika tingkat kerusakan hutan sudah sangat kritis, maka akan berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Bencana alam banjir dan tanah longsor menjadi contoh dampak buruk yang tidak mungkin bisa dihindari oleh manusia karena ketidakseimbangan alam.
“Sejak tahun 2007 kami telah memberlakukan nikah kromojati sebagai bentuk kepedulian terhadap penghijauan lingkungan hutan rakyat. Kebijakan yang dikuatkan dengan keputusan kades Bohol No.13/KPTS/2007 itu sampai sekarang pun masih rutin dilaksanakan. Intinya setiap calon pasangan nikah yang ingin melangsungkan pernikahan di wilayah Bohol wajib menanam pohon jati minimal 5 batang,” jelas Widodo.
Dia menambahkan, bahwa ribuan bibit pohon jati yang telah ditanam oleh ratusan calon pengantin itu kini telah menyasar sekitar 2 hektar lahan kritis yang tersebar di 2 padukuhan yakni Wuru dan Gamping.
Dibenarkan Agus Sudiyono (30), salah satu warga Padukuhan Wuru, bahwa dirinya telah menanam 5 batang bibit pohon jati menjelang pernikahan dirinya dengan kekasih asal Desa Bohol tahun 2012 lalu. Karena waktu itu masih musim kemarau, dia merasa kesulitan untuk mencari bibit pohon jati.
“Waktu itu saya cukup pusing untuk mendapatkan bibit pohon jati. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga musim kemarau. Setelah putar – putar, akhirnya saya masih beruntung bisa menemukan bibit jati meski sampai wilayah Wonosari,” katanya sambil mengenang.