Senin, 03 Juni 2013

nikah kromojati

Rongkop,(sorotgunungkidul.com)–Bersiap-siaplah bagi Anda yang ingin menikah dengan warga Bohol, Rongkop, Gunungkidul. Pasalnya, setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan di desa itu diwajibkan untuk menanam bibit pohon jati.
Sepintas kedengarannya memang unik, sepele, namun berarti. Demi sebuah upaya pelestarian lingkungan hutan yang kini mulai terkikis dengan meluasnya lahan kritis, pemdes Bohol sejak tahun 2007 lalu telah memberlakukan “nikah kromojati”.
Kromojati berasal dari kata kromo yang dalam istilah bahasa Jawa berarti pernikahan, sedang Jati merupakan nama salah satu jenis tanaman keras. Sehingga nikah kromojati bisa diartikan sebagai sebuah peresmian ikatan hubungan antara pria dan wanita secara sah menurut hukum yang berlaku disertai penanaman bibit pohon jati.
Menurut kades Bohol, Widodo, upaya pemberlakuan nikah kromojati di wilayahnya tersebut terbukti ampuh dalam memupuk tingkat kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya pelestarian hutan. Sebab disadari atau tidak, jika tingkat kerusakan hutan sudah sangat kritis, maka akan berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Bencana alam banjir dan tanah longsor menjadi contoh dampak buruk yang tidak mungkin bisa dihindari oleh manusia karena ketidakseimbangan alam.
“Sejak tahun 2007 kami telah memberlakukan nikah kromojati sebagai bentuk kepedulian terhadap penghijauan lingkungan hutan rakyat. Kebijakan yang dikuatkan dengan keputusan kades Bohol No.13/KPTS/2007 itu sampai sekarang pun masih rutin dilaksanakan. Intinya setiap calon pasangan nikah yang ingin melangsungkan pernikahan di wilayah Bohol wajib menanam pohon jati minimal 5 batang,” jelas Widodo.
Dia menambahkan, bahwa ribuan bibit pohon jati yang telah ditanam oleh ratusan calon pengantin itu kini telah menyasar sekitar 2 hektar lahan kritis yang tersebar di 2 padukuhan yakni Wuru dan Gamping.
Dibenarkan Agus Sudiyono (30), salah satu warga Padukuhan Wuru, bahwa dirinya telah menanam 5 batang bibit pohon jati menjelang pernikahan dirinya dengan kekasih asal Desa Bohol tahun 2012 lalu. Karena waktu itu masih musim kemarau, dia merasa kesulitan untuk mencari bibit pohon jati.
“Waktu itu saya cukup pusing untuk mendapatkan bibit pohon jati. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga musim kemarau. Setelah putar – putar, akhirnya saya masih beruntung bisa menemukan bibit jati meski sampai wilayah Wonosari,” katanya sambil mengenang.

Adat Ma’nene, Tradisi Unik dari Tana Toraja

Keberagaman suku dan adat istiadat, membuat Indonesia kaya akan tradisi yang unik. Beberapa tradisi bahkan masih menyimpan cerita misteri yang kadang di luar akal sehat kita. Salah satunya datang dari Tana Toraja, yaitu mayat yang bisa berjalan sendiri. 

Konon, tradisi ini berawal dari kebiasaan leluhur-leluhur mereka yang suka menyusuri bukit-bukit dan gunung tanpa alat transportasi apapun. Di tengah perjalanan, para leluhur ini kadang nggak kuat berjalan, mengalami sakit atau meninggal dunia karena kelelahan. Biasanya, kerabat yang tahu berita ini nggak langsung membawa atau menggendong mayat ini. Mereka malah menggunakan kekuatan gaib untuk membangunkan mayat tersebut. Tujuannya, agar mayat tersebut berjalan sendiri menuju tempat peristirahatan terakhirnya yaitu rumahnya sendiri.

Menurut kepercayaan penduduk Toraja zaman dahulu, kita nggak boleh menyapa, memanggil, menyentuh, atau bahkan memegang mayat berjalan tersebut. Karena, mantra gaib dalam tubuh mayat tersebut akan hilang dan mayat akan kehilangan kekuatannya. Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa orang yang memanggil atau menyentuh mayat tersebut akan menemui ajalnya dan meninggal dunia.

Sampai sekarang tradisi ini masih ada dan bertahan, namun ritualnya berbeda. Setiap tiga tahun sekali kuburan leluhur mereka sengaja digali dan dikeluarkan dari peti, untuk didandani dan diarak keliling kampung. Uniknya, jasad mayat ini masih tetap utuh walaupun tidak diberi balsam atau jenis pengawet lainnya. Menurut kepercayaan setempat, arwah para leluhur masih tersimpan dalam tubuh mayat tersebut. Mereka masih ‘’hidup” dan mengawasi keturunannya dari ‘tempat’ yang lain.

Dalam ritual tersebut, mayat yang telah dikeluarkan dari peti akan diberi bedak dan dipakaikan gaun layaknya pergi ke sebuah pesta meriah. Selanjutnya, mayat ini diarak keliling kampung oleh beberapa anggota keluarganya. Kabarnya, mayat tersebut masih bisa berdiri tegak di atas kakinya sendiri, seakan ada kekuatan gaib yang menopangnya. Hiii... Dewianataria – Foto: Fotosearch
http://www.gadis.co.id/gaul/ngobrol/adat.manene.tradisi.unik.dari.tana.toraja/001/007/

Bakar Perahu Tongkang, Tradisi Unik di Bagan Siapi-api

Ritual bakar tongkang adalah ritual tahunan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api, Riau. Ritual ini untuk mengenang para leluhur yang menemukan Kota Bagan Siapi-api dan wujud syukur terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Su Ong. Jangan lewatkan acara ini!

Ritual ini bermula ketika pada tahun 1826, ada sekitar 18 orang Tionghoa merantau dari Provinsi Fu-Jian, China. Mereka berlayar menggunakan 3 kapal kayu yang disebut tongkang. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam. Tongkang yang selamat akhirnya sampai di suatu tempat  yang saat itu masih berupa hutan. 

Mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (Si Api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah yang tidak bertuan ini, mereka akhirnya mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagan Siapi-api. 

Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan. Di dalam tongkang yang selamat itu terdapat patung dewa laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong. Ritual ini diadakan pada tanggal 16 bulan kelima lunar setiap tahunnya atau dalam bahasa Hokkien disebut dengan Go Cap Lak. Go berarti bulan kelima dan Cap Lak berarti tanggal enam belas.

Kota yang berada di barat daya Riau ini pernah mengalami masa jaya sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Namun, kejayaan perikanan di Bagan Siapi-api lambat laun meredup. Oleh sebab itu, satu abad setelah mendaratnya mereka di Bagan Siapi-api,  warga Tionghoa di Kabupaten Rokan Hilir menggelar ritual bakar tongkang untuk menghormati dua dewa itu yang jadi perlambang keselamatan dalam mengembara. 

Dewa Ki Ong Ya dan Tai Su Ong juga dipercaya sebagai dewa yang melambangkan dua sisi kehidupan, sisi baik-sisi buruk, suka-duka, serta rezeki-bencana. Berdasarkan kebiasaan, masyarakat Tionghoa akan membuat replika tongkang berukuran 8x2 meter. Sebelum dibakar, tongkang tersebut diarak terlebih dahulu keliling Bagan Siapi-api. Warga Bagan Siapi-api menyambut perayaan ini dengan memasang lampion dan lukisan Dewa di rumah masing-masing.

Setelah diarak, replika tongkang dibawa ke Klenteng Ing Hok King, sebuah tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah kota. Perlu Anda diketahui bahwa kelenteng ini dianggap paling sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan tetap utuh saat terjadi kerusuhan massal pada 1998 silam.

Mereka memanjatkan doa-doa kepada Dewa, agar kegiatan Bakar Tongkang diberkahi, selalu diberi keselamatan dan dilancarkan segala urusan. Para warga Tionghoa secara keseluruhan mengikuti prosesi saat tongkang tersebut diarak ke tanah lapang sebelum dibakar. Iring-iringan juga diwarnai aksi para Tan Ki, yang memiliki kekuatan dengan memukul-mukul tubuh menggunakan parang dan batu yang diselimuti paku. Digelar juga panggung hiburan yang mendatangkan penyanyi-penyanyi dari Taiwan, Malaysia dan Singapura yang membawakan lagu berbahasa Hokkian.

Keesokan harinya, barulah kapal diarak warga dalam sebuah pawai dan dibakar. Di sekeliling kapal, ditumpuk ribuan kertas kuning berisi doa yang ditulis para warga. Puncak prosesi ritual Bakar Tongkang adalah menyaksikan jatuhnya tiang layar replika kapal tongkang. Berdasarkan kepercayaan warga Tionghoa Bagan Siapi-api, kedua tiang yang disakralkan itu jika jatuh menghadap laut diartikan sebagai tongkat ikan. Warga Tionghoa percaya peruntungan di tahun tersebut akan banyak berasal dari laut. Tetapi jika jatuhnya ke darat maka peruntungan banyak berasal dari darat.

Secara spiritual, acara ini mengandung makna ucapan rasa syukur atas suksesnya para leluhur yang membawa keluarga mereka menetap di daerah perantauan. Tak heran jika orang Tionghoa yang menetap di luar negeri pasti langsung merasa terpanggil untuk “pulang kampung” demi merayakan tradisi tahunan ini. Sebab ada kepercayaan bila tidak ikut ambil bagian dalam acara ini, maka akan ada malapetaka yang terjadi.

Ritual tahunan ini telah menjadi agenda wisata bagi pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai bagian dari program Visit Indonesia karena mampu menyedot wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga China. 

Untuk perayaan Bakar Tongkang tahun 2013 ini berlangsung dari tanggal 22 - 26 Juni 2013.

Sekedar informasi, untuk menuju ke kota Bagan Siapi-api dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru dibutuhkan 6 - 7 jam perjalanan darat dengan jarak tempuh kurang lebih 350 km. Sementara dari ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dibutuhkan 10-12 jam perjalanan darat melalui Lintas Timur Sumatera. Sedangkan bila Anda berangkat dari Kota Dumai, hanya dibutuhkan waktu tempuh 2 - 3 jam melalui jalan darat.http://travel.detik.com/read/2013/05/24/104500/2253995/1025/bakar-perahu-tongkang-tradisi-unik-di-bagan-siapi-api

Tawur Nasi, Tradisi Unik Dari Rembang - Liputan6

Tradisi Unik Pernikahan