Senin, 19 Oktober 2009

Merantai Masyarakat Damai

Desa yang biasanya sepi-sepi saja berantai-rantai menjadi semarak pada saat memasuki bulan puasa (Ramadhan). Orang Sunda menyambut bulan puasa dengan bergembira. Bulan suci juga menjadi momen yang sangat tepat untuk berusaha menyucikan jiwa dan raga.

Orang saling memaafkan segala kesalahan dan saling mendoakan agar dapat menjalani ibadah puasa dengan lungsur-langsar. Pria-wanita, tua-muda mengantre untuk kuramas atau diangir (menyucikan diri/mandi besar). Gairah munggah tidak punah. Ngadulag tetap menjadi santapan telinga di bulan yang sarat makna.

Bagi masyarakat Sunda, menurut "bagawan sirnadirasa" RH Hasan Mustapa, dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni: 1985), bulan puasa merupakan bulan yang sangat diistimewakan dibandingkan dengan bulan-bulan lain, dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, anak kecil pun bergembira karena konon di bulan puasa hantu-hantu terbelenggu dan diikat rantai.

Namun, janganlah membayangkan sesosok makhluk menakutkan dibelenggu rantai atau seorang koruptor yang kakinya diikat rantai kangkang. Hantu adalah nama lain dari setan. Tentu saja setan tidak akan berdaya jika masyarakat sepakat untuk mengikat persaudaraan yang erat bak untaian rantai baja. Si kaya memegang erat tangan si miskin; saling mencintai; saling mengasihi; saling berlomba menanamkan benih-benih kebaikan. Bulan puasa benar-benar menjadi waktu yang paling tepat untuk memulai atau memperkokoh cincin-cincin amal sehingga membentuk rantai yang kokoh untuk membelenggu setan.

Ada rantaian tradisi masyarakat Sunda yang secara khusus dilaksanakan dalam menyambut bulan puasa. Di desa dan kota tradisi munggah (menyambut hari pertama puasa) masih terpelihara. Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk mudik dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekadar sahur bersama. Di sana ada silaturahim, berdoa bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa). Kata munggah memang sangat akrab dengan ibadah umat Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji.

Tradisi "papajar"

Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur ada tradisi papajar. Maksudnya tentu menyambut fajar pada awal bulan puasa. Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran. Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Adapun nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata (Kiblat: 2006) berasal dari kata "tadran", yang berarti berziarah ke kuburan.

Namun, sastrawan Dedy Windyagiri berpendapat bahwa nadran bukan berasal dari kata "tadran", melainkan "nadra", maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu (Mangle Nomor 1.852). Kiranya perbedaan itu tidak perlu mengakibatkan putusnya rantai persaudaraan karena yang paling penting adalah itikad dan maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan.

Di Sumedang ada tradisi mawakeun dan ngirim piring. Mawakeun adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang dikemas dalam rantang. Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status ekonomi, saling mengunjungi, dan saling berkirim makanan. Bahkan, bagi seorang anak gadis yang tidak mawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputus.

Tradisi ngirim piring adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan, tetapi biasanya hanya dilakukan dengan tetangga dekat. Piringnya tidak diberikan. Piring hanya media untuk membawa makanan. Biasanya makanan yang dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring.

"Ngabeubeurang"

Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan sarat makna yang dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan puasa. Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Ini jelas menunjukkan adanya aktivitas positif.

Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Ngabuburit adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekadar menahan hanaang dan lapar semata.

Beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan puasa lebih tegas menunjukkan adanya rantai yang merangkai hubungan damai di antara sesama manusia; menjaga hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, saling memberi, dan saling mendoakan. Tentu merupakan amalan yang selaras dengan Islam, yang mengajarkan pentingnya untuk senantiasa merantai hubungan baik dengan tetangga.

Adanya tradisi nadran pun menunjukkan, karakteristik masyarakat Sunda tetap menghormati orang yang lebih dulu meninggal dunia, terlebih jika ia seorang yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan tetap merasakan kehadirannya.

Betapa indahnya merantai masyarakat damai. Dan rantai itu hanya akan terputus jika tradisi-tradisi tersebut punah dibantai budaya yang tidak berdamai.

Selasa, 13 Oktober 2009

Mengikuti Tradisi Menyembelih Hewan Kurban di Desa Karduluk Pragaan

Laki-Perempuan Turun ke Lapangan, Sama-Sama Teriakkan Takbir

Warga Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan memiliki tradisi yang unik saat hewan kurban disembelih. Anak-anak, orang tua, laki dan perempuan sama-sama menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Sesaat sebelum hewan itu disembelih, warga sama-sama bertakbir. Mengapa?

ABRARI, Sumenep

Seusai salat subuh, takbir berkumandang di berbagai musala dan masjid. Saat matahari muncul, kaum laki-laki bersiap-siap pergi ke masjid maupun musala. Umumnya, para lelaki maupun perempuan mengenakan pakaian serba baru.

Ketika salat Idul Adha usai, warga bersiap-siap pergi ke lapangan yang dijadikan tempat penyembelihan. Di baris depan, seorang “tukang jagal” menenteng pisau besar (warga kampung menyebutnya pisau penghabisan).

Di belakang tukang jagal, beberapa orang lelaki menenteng pisau lebih kecil yang biasa digunakan untuk mencincang daging. Sedangkan di barisan belakang kaum perempuan dan anak-anak berjalan mengiringi tetua kampung.

Sebelum upacara penyebelihan dilakukan, ketua kampung berpidato. Dia memberikan kultum (kuliah tujuh menit) serta menjelaskan tentang hukum menyembelih hewan kurban bagi yang mampu.

Misalnya, bagi warga yang mampu dapat berkurban sapi untuk “persembahan” tujuh orang. Sedangkan warga yang kurang mampu (membeli sapi) dapat berkurban seeokor kambing yang hanya cukup untuk “persembahan” satu orang.

Pidato ketua kampung selanjutnya berkait pengumuman tentang hewan kurban yang hendak disembelih. Ketua mengabarkan nama orang yang berkurban. Pada saat hewan kurban hendak disembelih, ketua kampung meminta persaksian kepada warga yang hadir.

Selanjutnya, ketua mengajak orang yang bersaksi untuk bersama-sama membaca takbir. Pembacaan takbir berakhir bersamaan dengan berakhirnya sembelihan yang menandai hewan kurban sudah benar-benar tak bernyawa lagi.

Tokoh masyarakat Desa Karduluk KH Rasyidi Amir mengakui warga tua muda dan laki perempuan sudah menjadi tradisi hadir di lokasi penyembelihan.

Mereka, katanya, memberikan dukungan moral. Tetapi yang lebih penting, warga hadir untuk menyaksikan bahwa amanat dari yang memberikan kurban telah dilaksanakan.

Selanjutnya, daging kurban dibagi-bagikan kepada orang lain di luar nama-nama yang berkurban. Biasanya, satu ekor sapi dibagi menjadi 100 tumpuk (tidak ditimbang).

Dia sendiri tidak tahu sejak kapan tradisi datang beramai-ramai ke lokasi penyembelihan itu muncul. Sejak dirinya masih anak-anak, Rasyidi mengaku tradisi tersebut sudah ada.

Dia yakin, datangnya warga sekitar masjid/musala ke lokasi penyembelihan sebagai dukungan moral. Selain itu, kebersamaan warga menyemarakkan situasi lebaran Idul Adha. “Beginilah tradisi di kampung sini (Blajud Karduluk,” katanya sambil memperlihatkan warga yang hadir di lokasi penyembelihan.

Melihat Tradisi Ancak Sedekah Bumi di Desa/Kecamatan Trawas

Dijadikan Ajang Mempererat Warga Serta Ucapan Syukur

Meski Sempat hilang selama tiga belas tahun, tradisi sedekah bumi masih melekat di masyarakat Dusun/Desa/Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. Tradisi mensyukuri keberhasilan panen dengan mengarak makanan keliling kampung akhirnya diselenggarakan. Bagaimanakan Prosesi tradisi yang diberi nama Tradisi Ancak tersebut?

AIRLANGGA, Trawas


Hingar Bingar Musik tradisional terdengar di jalan aspal Desa/Kecamatan Trawas Rabu (10/6) siang sekitar pukul 11.00. Ratusan warga yang sudah berkumpul sejak pagi tidak sabar melihat arak-arakan peserta tradisi Ancak ini. Meski panas matahari mulai menyengat, namun warga tetap bertahan untuk memenuhi rasa penasaran mereka. Panas seolah menjadi kawan para warga untuk menyaksikan tradisi desa mereka.
Tidak beberapa lama, arak-arakan peserta tradisi ancak pun mulai berkeliling melintasi jalanan desa untuk menyapa warga. Kontan saja warga yang melihat arak-arakan ini tersenyum, bahkan diantaranya tertawa lepas. Di barisan depan, kesenian Bantengan dipertontonkan. Kesenian khas Kecamatan Pacet itu seakan meluapkan kegembiraan masyarakat yang berbondong-bondong mengikuti jalannya arak-arakan ancak atau aneka panganan yang merupakan simbol ungkapan rasa sukur warga atas kemakmuran desa.
Dua banteng hitam yang berada dibarisan depan melakukan tarian yang mengundang decak kagum para penonton. Empat pemuda yang mengenakan kostum banteng berwarna hitam seolah-olah mengamuk menuju arah penonton. Saat momen tersebut, penonton terutama perempuan kontan teriak histeris. Seolah menggoda penonton perempuan, kedua banteng yang terlihat kesurupan terus mendatangi penonton hingga menimbulkan suara jeritan. Beberapa pemuda seolah-olah memegangi kepala kedua banteng mencegah banteng masuk ke arela penonton. Atraksi tersebut seolah-olah banteng memang sedang mengamuk sehingga membuat beberapa pemuda menenangkan kedua banteng jadi-jadian tersebut.
Jalanan desa yang beraspal itu sempat macet tatkala dua banteng jadi-jadian yang berawakkan empat pemuda berbadan besar itu mulai mengamuk. Dua banteng warna hitam itu beradu di tengah alunan musik tradisional yang renyah terdengar. Beberapa orang dalam barisan Bantengan itu mencoba melerai dua banteng yang dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah dilerai beberapa orang setelah mengamuk, kedua banteng terus melanjutkan perjalanan mengelilingi kampung. Meski terkesan menakut-nakuti, namun warga tampak menikmati pertunjukan kedua banteng tersebut.
Di barisan kedua, tampak tiga ancak yang digotong beberapa orang. Jajanan pasar dan hasil bumi yang ditata apik itu menggambarkan betapa masyarakat dusun setempat gemar bersyukur dengan menyisihkan sebagian rezeki mereka dalam momen ini. Makanan yang berada di ancak tersebut terdiri dari pisang dan empat rengginang serta beberapa jajan pasar dan buah-buahan.
Makanan-makanan ini mempunyai arti tersendiri, pisang bagi masyarakat setempat disimbolkan sebagai orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain sebelum meninggal. Sedangkan rengginang, makanan yang berbahan baku ketan dibentuk seperti tanduk ini melambangkan sebuah kerja keras dalam bertani. Empat rengginang yang menjulur keatas ini melambangkan empat tanduk kerbau yang biasa dipakai membajak sawah. Barisan selanjutnya, ratusan orang mengikuti jalannya prosesi yangs sengaja menyusuri setiap jalan kampung. Barisan ini adalah warga yang mengikuti arak-arakan setelah dilewati arak-arakan ancak ini.
Arak-arakan ancak dan Bantengan itu berakhir di sebuah tempat sejuk bernama sumber Macan. Sesuai dengan namanya, tempat ini merupakan sumber air terbesar yang ada di dusun itu. Sebuah pohon Beringin berukuran raksasa berdiri tegak mengayomi ribuan pengunjung yang hadir. Seperangkat gamelan mengiringi kedatangan arak-arakan itu dengan tembang jawa yang mengalun.
Kegembiraan warga kembali muncul tatkala prosesi selanjutnya di tempat itu dimulai. Prosesi sederhana yang tak mengurangi makna dibalik pesta rakyat itu. Sang pemimpin desa hingga kecamatan dipersilahkan memberikan wejangan kepada sejumlah masyarakatnya. Lengkap dengan doa agar keselamatan senantiasa mengiringi aktivitas warga sehari-hari. Selama beberapa menit, wejangan dengan bahasa jawa halus menghentikan suara gemuruh para warga. Ratusan warga nampaknya tetap setia mendengarkan wejangan sang pemimpin desa. Wejangan yang dibacakan pemimpin desa berisikan tentang pesan-pesan moral kepada warga masyarakat agar selalu bersukur atas anugerah-Nya.
Usai membacakan wejangan, prosesi selanjutnya yakni pembacaan babat tanah atau asal usul desa mereka. Di tengah-tengah warga yang mulai tak sabar berebut makanan, salah satu tokoh membacakan sebuah sejarah babat tanah Dusun Trawas. Prosesi itu seakan membelalakkan warga akan informasi yang selama ini tak pernah didapati. Dongeng bagaimana dusun itu dibabat hingga menjadi dusun yang berada di wilayah ketinggian itu.
Warga mulai mendengarkan cerita babad dusun itu dengan penuh khidmad. Apalagi bagi mereka yang terbilang berusia muda. Maklum, beberapa anak muda tak sempat menonton tradisi ini semasa umurnya. Pelan-pelan mereka mulai mengerti siapa tokoh dibalik berdirinya dusun Trawas itu. Termasuk beberapa bangunan yang pernah menjadi penopang kehidupan warga setempat, yakni sumber Macan yang pernah menjadi mata air andalan untuk mencukupi kebutuhan irigasi.
Menurut tokoh masyarakat, Purwadi, salah satu penggagas acara ini mengaku, tradisi ancak dan barikan itu sempat menghilang sejak 13 tahun silam. ’’Kali ini, warga ingin mengulangi tradisi syukuran itu,’’ ujarnya. Tradisi itu mati, lantaran penilaian syirik yang dialamatkan sejumlah tokoh atas tradisi ini. ’’Dulu memang dijadikan prosesi rutin setiap tahunnya, tapi karena ada larangan, kegiatan ini sempat dihentikan,’’ terangnya. Ia mengungkapkan, ini adalah tahun pertama sejak tradisi ini mati. ’’Kami mencoba menghilangkan stigma syirik di dalamnya. Dan tetap ada nuansa Islami,’’ terang Purwadi
Kali ini, semua warga Dusun Trawas ikut dilibatkan dalam sedekah massal itu. Contohnya adalah tiga ancak jajanan pasar dibuat oleh warga sendiri yang telah dikoordinir melalui Rukun Tetangga (RT). ‘’Sembilan RT membuat ancak dan lainnya urunan untuk pagelaran Bantengan yang memang disukai warga,’’ tambahnya.
Selain menelusuri sejarah, dari tradisi ini juga diharapkan bisa mengurai benang kusut konflik diantara warga. Apalagi, warga baru saja menggelar pesta demokrasi bernama Pilkades. ‘’Ini sebagai momen penyatu warga. Karena semua dilibatkan dan diharapkan bisa rukun kembali,’’katanya.

KEKUATAN MAGIS KAIN GRINGSING

Kekuatan Magis Kain Geringsing



Kabupaten Karangasem yang berada diujung Timur Pulan Bali memiliki kekayaan budaya yang berlimpah. Budaya sebagai hasil seni yang dimiliki bukan hanya menyajikan keindahan, namun sarat dengan nilai mistis.


Kehidupan mistis memang sangat melekat dalam masyarakat Hindu di Bali. Hasil kerajinan yang dihasilkan sebagian masyarakat Bali juga diyakini mengandung nilai mistis.


Kerajinan Tenun Endek Gringsing yang keberadaannya sangat terkenal ini adalah kerajinan khas masyarakat Tenganan Pegringsingan di Kecamatan Manggis, Karangasem. Kain Gringsing yang dihasilkan diyakini memiliki kekuatan gaib yang dipercaya mampu menangkal berbagai kekuatan jahat ataupun penyakit. Kain Endek Gringsing sendiri serasal dari kata “Gering” yang berarti Sakit, dan “Sing” yang berarti tidak. Jadi secara arfiah kata Geringsing diartikan Tidak Sakit. Bermodal arti tersebut, masyarakat setempat maupun masyarakat Bali pada umumnya sangat percaya. Sehingga jangan heran ketika kita berada di Tenganan, masyarakat sekitarnya akan mengenakan batik geringsing karena diyakini bisa menghindarkan mereka dari berbagai kekuatan jahat atau sebagai penangkal berbagai jenis penyakit. Jingga

BUDAYA UNIK TENGANAN DAUH TUKAD

Banyak budaya unik yang ada di Karangasem. Salah satunya keberadaan tradisi di desa tradisional Tenganan. Selain terkenal karena tradisi perang pandan atau yang lebih beken dengan sebutan mageret Pandan, didesa ini khususnya Desa Pekraman Tenganan Dauh Tukad juga memiliki budaya unik yakni Truna-Daa ngejot. Upacara ini dilakukan terkait Aci Usaba Sambeh yang dipusatkan di Pura Bale Agung, desa setempat. Sebelum upacara utama dilakukan, Truna-Daa sebelumnya melakukan prosesi di subak masing-masing.


Tahun ini, upacara Usaba Sambah jatuh pada sasih kelima. Sama seperti kebiasaan sebelumnya, upacara akan dilakukan di Pura Bale Agung sebagai stana Dewa Brahma selaku pencipta. Upacara unik ini akan digelar selama 15 hari. Pelaksanaan upacara akan diawali dengan Nedunang Ida Betara, Nulak Damar, Penampahan, Metekrok, Daa Nyambah, Mekare-kare (Perang Pandan), Ngepik, Perejangan dan Nyineb.


Dalam rangkaian upacara Ngepik dilaksanakan prosesi upacara adat Sekaa Teruna yang disebut Teruna-Daa Ngejot sebagai simbol menanamkan nilai pendidikan, kegotong-royongan dan manyama braya agar bisa hidup harmonis berdampingan saling menolong antara tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi ngejot juga wujud membagi rezeki yang diperoleh untuk dirasakan bersama-sama. Dengan menggunakan pakaian adat khas Tenganan Dauh Tukad,Teruna-Daa mengikuti prosesi upacara secara khusuk diselingi suasana riang gembira saling bersorak tatkala antara Teruna – Daa melakoni prosesi Ngejot, sambil mengucapkan pesan-pesan dari perwakilan masing-masing.


Kelian Teruna-Daa I Nengah Budi mengatakan, prosesi ngejot antara Teruna dan Daa diawali oleh Sekaa Teruna ngejot membawakan seperangkat jotan berisi bunga harum, minyak wangi yang mengandung makna menghormati dan menghargai wanita dengan simbol pemberian bunga dan wewangian yang menjadi kesenangan wanita. Sebaliknya pihak Daa memberikan jotan berupa aneka macam jajan khas Bali yang bertempat di Bale Agung dan dibalas kembali oleh Sekaa Teruna dengan jotan berupa nasi, sate dan bermacam olahan masakan Bali. Sebagai simbol kebersamaan uacara Teruna-Daa Ngejot diakhiri dengan makan bersama (Magibungan) di halaman Pura Bale Agung, dimana terjadi interaksi sosial pergaulan antara Teruna-Daa yang mempererat persatuan dan kekerabatan.


Desa Adat Pakraman Tenganan Dauh Tukad sebagai bagian dari Desa Dinas Tenganan Pagringsingan menganut dua aliran kepercayan yakni aliran Indra (Dewa Perang) yang menyerupai prosesi upacara di Desa Baliage Tenganan Pageringsingan, serta aliran Ciwa, melakukan prosesi upacara agama sebagaimana layaknya Desa Adat lain di Bali. Pertemuan aliran Indra dan Ciwa di Tenganan Dauh Tukad menimbulkan adanya keunikan didalam prosesi ritual keagamannya, antara lain adanya atraksi ritual mekare-kare (perang pandan) sebagaimana yang ada di Desa Adat Tenganan Pagringsingan serta patokan 15 hari untuk Purnama –Tilem. Jingga

Tradisi Ngejot Teruna-Teruni

Tradisi Ngejot Teruna-Teruni; Budaya Unik Tenganan Dauh Tukad
Cowok Bawa Wewangian, Cewek Berikan Jajan

Bali memang kaya dengan budaya dan adat tradisi. Di Karangasem saja, puluhan bahkan ratusan tradisi unik terpelihara hingga sekarang. Di Tenganan Dauh Tukad, misalnya. Desa ini punya kesamaan tradisi dengan Desa Tenganan Pegringsingan.

DARI namanya saja hampir sama. Tradisinya pun agak mirip. Tenganan punya tradisi mekare-kare atau yang lebih dikenal dengan megeret pandan alias perang pandan. Desa Pekraman Tenganan Dauh Tukad memiliki deteruna (teruna-teruni) ngejot (saling memberikan sesuatu).

Biasanya, upacara ini dilangsungkan terkait aci usaba sambeh yang dipusatkan di Pura Bale Agung, desa setempat. Sebelum upacara utama dilakukan, deteruna sebelumnya melakukan prosesi di subak masing-masing.

Prosesinya sama-sama digelar saat upacara Ngusaba Sambah yang dilakukan setiap sasih kelima. Upacara ini sendiri dilakukan di Pura Bale Agung desa setempat. Sebagai stana Desa Brahma, Bale Agung memang sangat disucikan oleh warga setempat maupun umat Hindu di Bali. Upacara akbar tersebut dilangsungkan selama 15 hari penuh.

Pelaksanaannya pun diisi dengan berbagai kegiatan adat unik dan sakral. Mulai dari nedunang Ida Betara, nulak damar, penampahan, metekrok, dee nyambah, mekare-kare (perang pandan), ngepik, perejangan serta akan diakhiri dengan nyineb. Berbagai tradisi unik akan ditampilkan selama prosesi berlangsung.

Yang tidak kalah unik rangkaian upacara ngepik. Upacara ini diprioritaskan untuk sekaa teruna alias teruna-teruni. Salah satu yang unik adalah sekaa teruna ngejot. Upacara ini diakui memiliki berbagai nilai positif. Di antaranya menanamkan nilai-nilai pendidikan seperti gotong-royong dan menyama braya.

Hal ini perlu dilakukan agar umat manusia senantiasa hidup damai. Karena pada prinsipnya ajaran ini terkandung ajakan untuk hidup harmonis antara tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa dengan tetangga? Karena lingkungan terkecil adalah dengan mereka. Dengan bisa menghargai tetangga, bergotong-royong dengan mereka, niscaya kedamaian akan datang.

Selain itu, tradisi ngejot adalah untuk membagi rezeki kepada orang lain. Maka yang terkandung adalah ajakan untuk berbagi sesama manusia. Rezeki yang diperolah harus disyukuri dan dirasakan secara bersama-sama.

Saat upacara mereka berpakian khas adat Tenganan Dauh Tukad. Teruna-teruni mengikuti proses upacara dengan khusyuk. Suara gemuruh diselingi teriakan riang gembira dari para teruna dan dee saat upacara ngejot. Saat acara ini juga disampaikan pesan-pesan dari perwakilan masing-masing dee-teruna.

Menurut Kelian Deteruna I Nengah Budi, prosesi ini diawali dengan sekaa teruna membawa seperangkat jotan berisi bunga harum dan minyak wangi. Maka yang terkandung dari jotan ini adalah menghargai dan menghormati wanita. Karena wewangian dan bunga adalah simbol kesukaan kaum hawa tersebut.

Dengan mempersembahkan bunga dan wewangian kepada si wanita maka kaum wanita merasa tersanjung dan dihormati. Sementara kaum wanitanya membawa jotan berbagi jenis jajan Bali. Pemberian tersebut dilakukan di Bale Agung. Dan pihak teruna membalasnya kembali dengan memberikan berbagai olahan berupa nasi dan sate serta beraneka olahan Bali kepada deteruni. Sebagai simbol kebersamaan tradisi deteruna ngejot ini diakhiri dengan megibung (makan lasehan bersama) di halaman Pura Bale Agung desa setempat.

Saat itu kembali terjadi interaksi sosial dan pergaulan antara teruna dan teruni serta memperkuat persatuan dan kebersamaan di desa tersebut.

Untuk diketahui, Desa Tenganan Dauh Tukad menjadi bagian dari Desa Dinas Tenganan Pegringsingan. Menganut dua aliran kepercayaan. Yakni aliran Indra alias Dewa Perang. Aliran ini sebenarnya dianut desa tetangga mereka yakni Tenganan Pegringsingan yang merupakan Desa Bali Aga. Sehingga sebagian tradisi di desa tersebut mirip dengan apa yang terjadi di Tenganan Pegringsingan.

Selain itu Desa Tenganan Dauh Tukad juga menganut aliran Siwa. Sama yang dianut oleh sebagian besar Umat Hindu di Bali. Pertemuan kedua aliran ini lah menimbulkan berbagai keunikan sehingga memperkaya tradisi dan budaya di desa tersebut. Salah satu yang tidak kalah uniknya adalah makare-kare alias perang pandan. Tradisi ini sama dengan apa yang dilakukan di Desa Tenganan Pegringsingan.

Mengenal Tradisi Lisan Dayak Desa

Ketika sebuah masyarakat belum mengenal budaya tulis, maka cara untuk mengkomunikasikan berbagai kearifan local masyarakat, menurunkannya kepada generasi yang berikut adalah dengan system tanda. Lazim juga disebut bahasa sebagaimana dimaksud pramagtik smiotik yang akhirnya memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Di antaranya adalah dengan satu kesatuan konvensi, peraturan yang dipersempit pada ikon, lambang, signal dan juga cara oral (oral tradition).

Dengan tradisi lisan, memberikan ruang bagi ilmu pengetahuan, kearifan local, sejarah, mitologi, kepercayaan, tradisi dan semua gejala alam yang diserap oleh panca indera maupun kotak fakir manusia dapat diwariskan.

Sesuai dengan judul kertas kerja ini, penulis ingin menyampaikan betapa kekayaan yang tersimpan dalam lumbung budaya masyarakat Dayak Desa ini akan menuju kemusnahan bila tidak segera didokumentasikan. Karena paralon tradisi lisan yang selama ini dijadikan salah satu saluran pewarisannya telah terancam punah oleh berbagai factor internal maupun eksternal yang terdapat di lingkungannya. Bahkan perubahan social yang sangat cepat di Indonesia pada beberapa dasawarsa terakhir dapat menghapus secara drastis kelompok etnik beserta tradisi lisan yang dimilikinya.

Ini diperparah dengan minimnya penelitian maupun usaha untuk mendokumentasikannya. Setakat ini, dokumentasinya sangat bergantung pada pelaku hidup yaitu tetua-tetua adat, atau penyaji ritual. Akibatnya banyak sekali pengetahuan dan kearifan berharga yang pernah dilahirkan masyarakat ini menjadi hilang tanpa bekas.

Sepintas akan sulit membuat batasan antara kelompok Dayak Desa yang hidup di beberapa Kecamatan di Kabupaten Sintang maupun Sekadau ini dengan suku Dayak Ketungau, Bugau dan Mualang yang juga memiliki kemiripan dengan kelompok Dayak Iban dan Kantuk di Kapuas Hulu.

Karena bila dilihat dari system kekerabatan dan system komunikasi serta system konsep tentang alam dan pekerjaan keduanya memiliki kemiripan (Bentuk, fungsi aplikasi, Mitologi Tentun Ikat Dayak di Kabupaten Sintang, Albert Rufinus dan Asriyadi Alexander, 2000-2001)

Namun menurut hasil penelitian Sujarni Alloy, peneliti pada Institut Dayakologi Pontianak, di Kabupaten Sintang Bahasa Desa adalah bahasa yang terbanyak penuturnya dan mereka tersebar di dalam tujuh daerah kecamatan. Kelompok masyarakat Dayak inilah yang menamakan dirinya sebagai suku Dayak Desa.

Bahasa Desa mempunyai banyak persamaan dengan bahasa Lebang, Mualang, Ketungau dan Bugau. Persamaannya adalah terutama karena ke lima bahasa ini banyak sekali memakai “ai” untuk kata-katanya, seperti untuk mengatakan makan mereka mengatakannya dengan “makai”, untuk berjalan mereka mengatakannya dengan “bejalai”, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, mereka juga memiliki perbedaan, yaitu pada tekanan dan logatnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan antara 1997-2000 itu diketahui bahwa Bahasa Desa di pakai oleh sekitar 41,376 jiwa atau merupakan 9,73% dari keseluruhan penduduk kabupaten Sintang. Jumlah sebanyak ini menempatkan bahasa Desa menduduki peringkat teratas dalam jumlah penuturnya di dalam kabupaten Sintang. Jumlah penutur bahasa Desa dan prosentasenya di kecamatan bisa di lihat pada tabel di bawah ini: Jumlah Penutur Bahasa Desa

Dan Prosentasenya Di Kecamatan*)

NO TEMPAT TINGGAL PENUTUR % KETERANGAN
Kecamatan Kampung
Sintang 415 9.67
Sei. Tebelian 13,343 62.27
Kelam Permai 8,616 65.03
Binjai Hulu 2,244 25.01
Dedai 10,535 47.50
Tempunak 3,980 17.47
Sepauk 2,243 5.97
Sub. Total 41.376

Sekadau Hilir
Tapang Sambas Tapang Kemayau Perupuk Mentah Terentang Kampung Baru 4.375
Total 45.751

*) Sumber: Tabel 48, Penelitian etnolinguistik di Kalimantan Barat. Laporan Penelitian Sujarni Alloy, et al., Institut Dayakologi: Pontianak,1997, 2001

Pada umumnya Suku Desa mendiami tujuh buah kecamatan, yaitu kecamatan Sintang, kecamatan Kelam Permai, kecamatan Binjai Hulu, kecamatan Dedai, kecamatan Sungai Tebelian, kecamatan Tempunak dan kecamatan Sepauk.

Untuk mencapai tempat kediaman masyarakat Desa ini sangat gampang karena berada di tujuh kecamatan yang berada di sekitar kota Sintang dan semua tempat pemukiman mereka itu bisa di capai dengan jalan darat dan beberapa di antaranya bahkan bisa di capai dengan melalui sungai. Sementara di kabupaten Sekadau, kelompok masyarakat ini bermukim di 5 kampung saja yang hakikatnya merupakan penyebaran dari kabupaten Sintang sebagai tanah asal-usul penyebarannya.

Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi suku dayak ini kini. Hal ini lebih dipersulit lagi dengan akulturasi maupun inkulturasi yang terjadi antara suku ini dengan berbagai suku lainnya yang ada di kabupaten itu sekarang.

1. Kana

Kana adalah suatu bagian dari tradisi lisan Dayak desa berbentuk cerita lirik, semacam syair panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu , yang telah memiliki syarat-syarat tertentu (misalnya; usia, Keturunan, dan tentu juga keahlian). Menurut pak Bangu seorang ahli Kana, yang berusia sekitar 58 tahun, di desa Terumbu’, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Menurut beliau misalnya Kana Bilang Temawai/Menghitung Tembawang, walaupun seseorang cukup pandai menuturkannya tetapi apa bila ia belum pernah duda/janda karena salah satu pasangannya meninggal, maka ia belum boleh menuturkan Kana tersebut. Selain itu, jika seseorang yang ber-kana tengah ber-kana maka ia tidak boleh menghentikan ceritanya secara sesuka hatinya karena cerita ini dianggap sakral, dan tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita tersebut dipercayai akan merasa tersinggung dan marah. Ia harus memilih bagian-bagian yang tepat apabila dengan terpaksa harus menghentikan ceritanya. Misalnya jika Kana tersebut tengah menceritakan babak peperangan maka cerita itu tak boleh dihentikan sebelum para tokoh cerita tersebut mencapai kemenangan, dan seterusnya.

“Temawai pepah lempa’ ubah, alai raja Segugah nempa’ tanah baru mesai buah mawang. Angkat reia’ nguai temawai Kecit Iring Larit alai Raja Segugit nempa’ langit mesa’ lamar para’, angkat reria’ nguai temawai riran ulu tayan dia’ pengadai tuan Selutan, alai ia nempa’ bulan ngeluar pingan pelangka. Angkat reia’ nguai temawai jenenyang ulu jentawang, dia’ pengadai lemamang bintang tiga, bintang randok baka dura, bintang tiga bilang uma. Angkat reia’ nguai temawai trapaeh ulu kapuaeh tumaeh seperapaeh mata. Angkat retemawai titi ulu melawi dia’ upa’ malui krangan manti titi sari napan ….. Angkat reia’ nguai temawai tuai ulu merakai, dia’ pengadai cinta muga. Angkat reia’ nguai temawai belenyut tebing laut, dia’ tanah mansut baru mesai tutup celepa’, baru ai’ bisik nanga, baru bisi’ riran nanyan kebanandan pala, munti’ baru bisi’ suti’ dua, baru bisi’ pantai alai nuba. Dia’ ikan keli’ baru senini’ ngau ikan juara. Angkat reia’ ngui temawai upam ribang capan, alai jugam agi’ ngesan tandan pisang. Reia’ angkat ketemawai ribang mungu’ sengang, dia’ munsang agi’ tauk nginang kandang manuok dara…”

2. Kanduok

Kanduok (desa) adalah suatu cerita berstruktur yang setengah dilagukan, biasanya mengenai riwayat-riwayat para tokoh-tokoh mitologi, seperti Kelieng, Kumang, dll., Kanduok ini secara umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Yang bersifat lebih serius dan mendalam

Seperti Kana diatas, Kanduok serius apa bila yang bersifat khusus, misalnya tentang kehidupan tokoh-tokoh seperti Kelieng, Kumang dll. atau Kana yang di tuturkan menjadi Kanduok, juga tetap harus memenuhi prasyarat tertentu seperti pada Kana, tetapi Kanduok atau ensera ini umumnya lebih pendek. Misalnya pada Kandok Raja Bediri yang dituturkan informan Bangu, 58, dari Dusun Terumbuk, Desa Pelimping, Kecamtan Kelam permai.

“…belengai babi tali landai dedinga Inaei rekumpai berendam , tepitu’ kema asasi Inaei retanah tabai tu’ pampai bedesai uran…, ari mpai tengari ulantang siri kema Inaei bagi retanah betawi ka’ lesi maa….ti danyam, kema tepesan Inaei duan retanah taaa…yaa…an, putap repemangkap ikan keba repuntianak Inaei babi udak tali tengak maka sintak sabak lasedan, babi tali nyenyua lai ngemela ai’ mata mata dua tiga bereta bebinsan…, tapi dipuntan mentawan aku dibatu….rawan kema tepesan Inaei ngeruan retanah….tayan, ngerinsa mesepa Laja besendam detan keda’lawi’ pendan degengam tuan sa…pi…u…mpan, dekedang aja besapar lengan, baka sapar memuli tungal…., tungal detan kejelayan kelawi’ bemban pemeran ngebau ketanah babi tali sawah sebelah u….ma…laya’ tebelengka’ mangka’ nguman rian telabuoh pusuoh nyur detandan…., dipi’ jaran betanduok tungal derinsa sepa laja besendam, detan kelandai menyalai mentan nadai tegisier kaki jempuli ni…pa..an, nipan…nyuruoh kitai kakat da….ya…ap, nangan ka’ nambung sida’ dekebung ujan, pengitau Ijau duan ka’ ngesah detampah….bemban, meda’ uwie sega’ tebeluma’ lima’ enam, bedapan tujuh lapan baka detipan ngau besi tajam putuoeh detangan sedal belawie’ leman, celaka kema derinya namban..”

b. Yang bersifat lebih ringan

Kanduok ini mungkin lebih dekat dengan istilah dongeng dan tidak memiliki persyaratan-persyaratan khusus seperti pada Kana. Kanduok yang ringan-ringan dan pendek-pendek, biasanya cerita-ceritanya bersifat bebas, sering dijadikan pengantar tidur bagi anak-anak, seperti fabel, dan sebagainya. Misalnya kisah Inaei Kera’ ngau Inaei ukuoi (induk kera dan Induk anjing). Apai Aloi (pak Ali-Ali).

Untuk satu buah Kanduok atau ensera biasanya cukup dituturkan oleh satu orang saja. Kanduok biasanya dituturkan terutama pada saat-saat para wanita-wanita, saat sedang membersihkan rumput atau saat-saat bergotong-royong memanen padi di ladang. Oleh sebab itu penutur Kanduok ini cendrung seorang ibu/wanita. Tetapi boleh juga dilakukan oleh pria. Misalnya yang dituturkan seorang informan Riri, umur 72 tahun, Desa Baning Panjang, kecamatan Kelam Permai. Ia menuturkan lewat kanduoknya tentang rumah Inaei Kelieng yang diserang musuh dan akhirnya mereka berhasil meloloskan diri atas bantuan selampai, kepua’ kumbu’ (jenis-jenis Kain tenun ikat) yang membawa mereka sekeluarga terbang jauh.

3. Mantra

A. Enselan

Enselan adalah bagian dari sebuah kegiatan upacara adat yang biasa dilakukan dalam kelompok masyarakat ini. Semacam mantra yang telah baku untuk memohon berkat kepada Sang Pemilik Kekuasaan mutlak. Misalnya saja pada upacara Enselan Indu’ (enselan anak perempuan), yang antara lain memohon kepada beberapa orang-orang sakti maupun nenek moyang yang pernah hidup sebagai seorang yang bijaksana, Sakti, pandai menenun dan lain sebagainya untuk memberkati kehidupan sang anak supaya kelak ia mengikuti jejak kebijaksanaan dan kepandaian mereka.

Ada juga upacara enselan anak lelaki yang prosesnya hampir sama. Saat enselan, sang anak didudukan di atas gong dengan dipangku seseorang yang pantas menurut adat dengan beralaskan kepuak kumbuk tersebut. Sang anak diolesi darah ayam yang dicampur dengan darah babi, sebagai tanda pemberkatan.

Demikian juga halnya dengan enselan uma (enselan Ladang) supaya kegiatan berladang itu berkenan kepada Sang Penguasa Alam dan terhindar dari gangguan hama maupun bencana lainnya.

B. Timang Muanyik.

Mantra ini biasanya hanya dibacakan ketika akan mengambil lebah madu. Dengan mantra ini, mereka yang ditugaskan mengambil madu di pucuk pohon akan dapat terhindar dari sengatan lebah. Mantra ini semacam dialog kosmologi antara pembaca mantra dengan penguasa alam. Intinya pemantra meminta izin kepada penguasa alam semesta agar diperkenankan mengambil madu lebah itu. Dalam beberapa kalimat mantra itu juga terkandung bujukan kepada raja lebah. Selain ditujukan supaya lebah tidak menyengat, juga supaya madu yang dihasilkan itu berkualitas baik dan tidak kosong. “Ti muanyik nisik madu pecal ke tusu nyai ratu baka catu depajak kenyang.

Ti muanyik kak minteh tepeh ngau tapeh bidang betulang. Penguasa lalau adalah Penguasa Lalau, Dara Remiya . Bila keliru membaca mantra maka pemanjat akan jatuh.



4. Ngerenung

Ngerenung adalah bagian dari upacara-upacara adat dalam masyarakat dayak desa namun hampir tak pernah dilakukan lagi karena sudah langka dan sangat sulit untuk menemukan penutur atau penyaji ritualnya, kecuali ritual serupa yang disebut Bebasouk Arang, saat berladang. Namun menurut sejumlah responden di Kecamatan Kelam Permai mereka masih ingat bahwa ketika masih hidup dan berkumpul di rumah betang dahulu dikenal beberapa buah renung dalam masyarakat ini yaitu:

a. Renung enselan ladang (dilakukan diladang dan merupakan kelanjutan dari enselan ladang)

b. Renung turun ngemak (renung ini hanya dilakukan saat upacara memandikan anak kecil disungai),

c. Renung ngapeh pentiek (dilakukan saat menanam pentiek/semacam patung dari kayu).

d. Renung tusut (silsilah asal mula terciptanya manusia sampai ke keturunan atau sang anak yang sedang dipestakan), Renung ini biasanya dilakukan saat upacara pemasahan gigi sang anak, atau upacara saat menggunting rambut, atau menitik (melobangi) daun telinga sang anak baik laki-laki atau perempuan. Renung ini sebenarnya kelanjutan dari enselan. Setelah seorang anak dienselan maka kemudian dilanjutkan dengan renung ini tadi, tujuannya untuk menggemakan suara pesta/upacara tersebut dengan mengundang tokoh-tokoh mitologi maupun nenek moyang yang pernah hidup bertuah dan sakti dan pandai. Tujuannya meminta berkat dan tuah mulai dari obat-obat atau pun ajimat-ajimat yang akan menjadi bekal membantu sang anak dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Supaya kelak ia menjadi orang yang bijak, pandai menganyam-menenun dan memperoleh suami yang baik (bagi anak perempuan), dan seterus, dan seterusnya. Semua yang terlibat langsung dalam gawai tersebut biasanya dari adalah mereka yang memiliki keahlian tertentu biasanya mengenakan pakaian adat dari kain tenun ikat sehingga melahirkan suasana yang sakral

Masih banyak lagi tradisi lisan dayak desa yang menyimpan catatan tersendiri mengenai budaya kelompok masyarakat ini, terutama legenda maupun mitos-mitos yang diantaranya telah telah menjadi bayangan purba (archetype) ( bandingkan dengan ulasan Seno Gumira Adjidarma, tentang Indonesia sebagai pasien Jung, Sejarah Tak terkuburkan, Kompas, Sabtu, 6 Mei 2000) dan sisanya masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Desa, misalnya kehidupan rumah betang di Ensaid, atau Baning Panjang, Kecamatan Kelam Permai.

Inilah contoh yang paling dekat dan yang masih dapat kita saksikan dan kita rasakan secara konkrit. Baik yang berupa atrifak kebudayaan, seperti tenun ikan, patung, dan benda atau ikon lainnya sebagai penanda bahwa kelompok masyarakat ini pernah dan masih ada

Lebih dari itu, tradisi lisan ini terus menerus dituturkan dan masih dilakukan dalam bentuk ritual kehidupan untuk menjaga tatanan keseimbangan jagat, atau apa yang oleh F. H. L. Hsu ( Psychological Homeostatis and jen” American Anthropologist, 1971), yaitu suatu lingkaran karib atau manusia berjiwa yang selaras dan berkepentingan (YB. Mangun Wijaya, 1999). Namun tak dapat dipungkiri bahwa masuknya agama Kristen maupun agama lainnya maupun pengaruh teknologi dalam ranah kepercayaan kelompok masyarakat ini telah menyebabkan tradisi lisan masyarakat Desa semakin hari terdegradasi dan erosi.

MENGENAL KEBUDAYAAN SUMBAWA

IDENTIFIKASI

Suku Sumbawa atau tau Samawa mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, wilayahnya seluas 8.493 km2 yang berarti lebih dari setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2, sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima.



Sebagian besar wilayahnya terdiri atas perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi 1.730 meter berada di Gunung Batu Lanteh. Gunung ini berdiri tegak di antara lima pegunungan lainnya yang berada di bagian tengah dan selatan pulau. Mengarah ke gunung ini terdapat sebuah sungai terbesar bernama Brang Beh yang juga mengalir menuju Teluk Lampui dan menuju daerah-daerah di sekitar pegunungan lainnya, kemudian bertemu dengan anak-anak sungai lainnya yang lebih kecil.



Populasi tau Samawa tersebar di dua daerah kabupaten, yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat yang wilayahnya mulai dari Kecamatan Empang di ujung timur hingga Kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Batas teritorial kedua daerah kabupaten ini adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat dengan Selat Alas, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu. Jumlah populasi suku Sumbawa sekarang diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa.



Populasi Suku Sumbawa yang terus berkembang saat ini merupakan campuran antara keturunan etnik-etnik pendatang atau imigran dari pulau-pulau lain yang telah lama menetap dan mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya serta sanggup berakulturasi dengan para pendatang lain yang masih membawa identitas budaya nenek moyang mereka, baik yang datang sebelum maupun pasca meletusnya Gunung Tambora tahun 1815. Para pendatang ini terdiri atas etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Cina (Tolkin dan Tartar), serta Arab yang rata-rata mendiami dataran rendah dan pesisir pantai pulau ini, sedangkan sebagian penduduk yang mengklaim diri sebagai pribumi atau tau Samawa asli menempati wilayah pegunungan seperti Tepal, Dodo, dan Labangkar akibat daerah-daerah pesisir dan dataran rendah yang dulunya menjadi daerah pemukiman mereka tidak dapat ditempati lagi pasca bencana alam Tambora yang menewaskan hampir dua pertiga penduduk Sumbawa kala itu.



Sumbawa merupakan daerah beriklim tropis, pengaruh iklim dari Benua Australia pada bulan-bulan tertentu sangat terasa dengan temperatur berkisar antara 19,20C–34,20C, kelembaban maksimum 89% dan minimum 71% dengan tekanan udara rata-rata 1.008,2 mb sampai 1.013,4 mb. Arah mata angin terbanyak adalah 300 dengan kecepatan tertinggi 13 knot per detik yang terjadi pada bulan Agustus, Oktober, dan November. Curah hujan rata-rata 1.476 mm setahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 75 hari. Hujan mulai turun di Sumbawa pada bulan November sampai dengan Maret, setelah itu berganti musim kemarau di bulan April yang biasanya diawali dengan udara dingin dalam beberapa minggu.



Sebagian besar wilayah Sumbawa kaya akan hasil-hasil tambang, selain juga potensi perikanan, perkebunan, dan pertanian tanaman pangan. Potensi lain berupa hasil-hasil hutan dan peternakan. Beberapa produk andalan yang telah menjadi maskot bagi Sumbawa adalah madu lebah, mutiara, dan kekayaan flora-fauna berupa kayu gaharu, kuda, dan rusa yang mulai terancam punah akibat perburuan liar.





BAHASA, TULISAN, DAN KESASTRAAN

Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini.



Mahsun (2002) dalam Prospek Pemekaran Kabupaten Sumbawa mencatat bahwa sebelum bahasa Sumbawa purba (prabahasa Sumbawa) pecah ke dalam empat dialek yang ada sekarang ini, terlebih dahulu pecah ke dalam dua dialek, yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawabesar atau cikal bakalnya disebut dialek Seran. Kemudian variasi ini berkembang seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi tiga dialek yang berdiri sendiri.



Dalam bahasa Sumbawa saat ini dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen yang dulunya dialek Selesek, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo.



Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.



Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung mempengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawabesar yang cikal bakalnya merupakan dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam bahasa Sumbawa. Dialek Samawa ini lebih lanjut disebut basa Samawa.



Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.



Membahas tentang karya sastra Sumbawa selalu dikaitkan dengan kehadiran aksara Kaganga atau Setera Jontal. Satera dalam basa Samawa berarti tulisan, sedang jontal berati lontar yang menurut PJ. Zoetmulder kata lontar berasal dari metatesis ron tar atau pohon tar; kata ini diperkirakan berasal dari bahasa Jawa. Lebih jauh PJ. Zoetmulder menulis bahwa orang-orang Bali dan Jawa dulu menggunakan pengutik atau pengrupak yaitu sebilah pisau kecil sebagai alat tulis yang dipakai dalam penulisan daun lontar. Alat berupa pisau kecil untuk menulis di daun lontar ini dalam basa Samawa dinamakan pangat yang kemungkinan berasal dari kata pengot dalam bahasa Jawa.



Aksara Kaganga yang pernah berkembang di Sumbawa dan sekarang mulai diajarkan lagi di sekolah-sekolah pada tingkat dasar merupakan aksara yang diadopsi dan diadaptasi dari aksara Lontara yang berkembang di Bugis-Makassar. Aksara Lontara ini dulunya mendapat pengaruh dari aksara Pallawa yang mulai digunakan untuk menulis sejumlah prasasti di Indonesia semenjak pertengahan abad ke-8 Masehi, namun kemudian aksara Lontara ini disederhanakan oleh seorang syahbandar dari Kerajaan Goa-Makassar bernama Daeng Pamatte pada abad ke-16 Masehi.



Aksara Lontara diperkirakan masuk ke Sumbawa ketika berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Hindu di Utan pada awal abad ke-17 Masehi. Aksara ini setelah diadaptasikan dengan kondisi lingkungan Sumbawa, kemudian dikenal dengan nama Satera Jontal atau aksara Kaganga. Pengaruh aksara Lontara dalam aksara Kaganga ini dapat dilihat dari bentuk dan cara menuliskannya yang sama seperti cara mengerjakan aksara Lontara dari sumber asalnya yakni Bugis-Makassar.



Para sastrawan Sumbawa dulu mengabadikan karya-karyanya dengan menulisakannnya di daun lontar yang telah dikuningkan dengan kunyit, lebar daun lontar ini sekitar 2 cm dengan panjang 12 cm, cara menuliskannya dengan menggores daun lontar tersebut menggunakan ujung pangat atau sejenis pisau kecil. Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah bumung atau buk.



Karya sastra sebagai sebuah proses kreativitas merupakan kristalisasi dari segala segi kehidupan yang melingkupi seorang pujangga, sehingga selain seorang pujangga dituntut untuk memiliki kemampuan menanggapi sebuah realitas kehidupan di sekelilingnya, harus pula mampu berkomunikasi dengan realitas tersebut untuk membangun kembali realitas lewat kreativitas yang dimilikinya, sehingga karya-karya ciptaannya dapat memberikan gambaran yang ideal tentang realitas yang dicermatinya, serta berperan sebagai media komunikasi budaya antara masyarakat dan pujangga sebagai pencipta karya-karya sastra tersebut.



Dengan menyimak hasil-hasil karya sastra Sumbawa, maka dapat diambil beberapa konsep dasar tentang nila-nilai yang dikandung di dalamnya, bagaimana masyarakat Sumbawa memandang realitas kehidupan di sekitarnya, kemudian merumuskannya ke dalam konsep yang diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Karya-karya sastra Sumbawa kebanyakan menggenggam amanat berupa nasihat yang bertolak pada ajaran pendidikan dan keimanan yang ditopang oleh kuatnya adat-istiadat, seperti yang tertuang dalam bentuk lawas (puisi), ama (peribahasa), panan (teka-teki), dan tuter (dongeng) yang sangat kental dengan pesan moralitas, agama, dan etika pergaulan hidup.



Pada umumnya karya-karya sastra Sumbawa ini cukup sulit untuk digali, diinventarisasi, dan dicatat, maupun dicari naskah-naskahnya, karena proses pewarisannya dilakukan dengan cara lisan serta turun-temurun dari para generasi pendahulu ke anak keturunanya melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan melewati proses budaya yang rumit, namun demikian dapat dipahami bahwa lawas merupakan akar atau induk dari segala bentuk kesenian dan tradisi Sumbawa, baik seni musik, tari, maupun adat-istiadat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tampak dalam sekeco, tari mata rame, permainan rakyat barapan kebo dan barapan ayam, serta tradisi daur kehidupan semisal nyorong dan barodak.





SISTEM KEPERCAYAAN

Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa tau Samawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.



Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.



Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa lebih dahulu dari pada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal di abad ke-16 Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari Jawa datang ke Sumbawa untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang dari Gowa-Sulawesi tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam sehingga menghasilkan sumpah “adat dan rapang Samawa (contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja dan rakyatnya menjalankan syariat Islam” yang merujuk pada konsepsi adat bersendikan syarak, dan syarak berazazkan kitabullah.



Mayoritas tau Samawa saat ini memeluk agama Islam, bahkan sangat mengherankan bila ada orang yang mengaku tau Samawa tidak beragama Islam, sebab pasca penaklukkan Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas:

Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam)

Pang akhirat pang tu matak (di akhirat tempat menuai)

Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya)

Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh)

Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah)

Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)



Semenjak munculnya pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang tau Samawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun menjadi tau Samawa ini. Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? No soka ungkap bilik ke? Tempu tama dengan nya ke? menunjukkan betapa penting arti Islam bagi tau Samawa.



Tau Samawa begitu fanatis terhadap agama Islam yang diyakininya, bahkan nampaknya begitu sensitif dan mudah digelorakan untuk berjihad demi membela kepentingan agamanya, serta kelihatan antipati dan menolak terhadap bentuk-bentuk keyakinan agama lain selain Islam, akan tetapi dalam praktiknya banyak kita jumpai tau Samawa yang menjalankan hidupnya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Mereka tidak menjalankan sholat lima waktu dan membayar zakat, bahkan mereka masih percaya pada makhluk-makhluk halus yang sering mendatangkan musibah berupa bencana dan penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.



Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian tau Samawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan meramal nasib, tau Samawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya. Meski demikian kenyataannya, akan tetapi siapapun berani menyinggung harga diri Islam berarti berani menumpahkan darah dan akan dihadapi sebagai perang jihad oleh tau Samawa. Proses dahwah Islamisasi sampai sekarang terus berlangsung pada tau Samawa untuk menyesuaikan sistem kepercayaan masyarakat dengan Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW.





SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

Sistem kekerabatan dan keturunan tau Samawa pada umumnya bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misal eaq untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.



Pada kehidupan masyarakat Sumbawa tradisional, beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung, yaitu rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya berkisar antara 1,5 hingga 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari santek atau bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau peladang dan bagian belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya. Adapun tata ruang bagian dalam umumnya merupakan perpaduan antara bentuk rumah adat Bugis-Makassar yang dikombinasi dengan arsitektur rumah orang Melayu. Untuk rumah-rumah panggung di pedesaan lebih disukai menghadap ke timur atau matahari terbit yang melambangkan kekuatan, ketabahan, dan harapan limpahan rezeki. Mereka memiliki nilai kekerabatan yang begitu kuat seperti tercermin dalam lawas:

Ngungku ayam ling Samawa (denyut kehidupan di Sumbawa)

Samung ling sanak do tokal (mengetuk hati kerabat di rantau)

Mole tu sakompal ate (pulang untuk menyatukan hati)

Ate ku belo ko sempu (hatiku dekat dengan sepupu)

Kusalontak mega pitu (melampaui apa saja)

Ngantung no ku beang bosan (tak bosan bergantung dan berharap)

Mara punti gama ina (seperti pohon pisang duhai ibunda)

Den kuning no tenri tana (meski daunnya menguning tak mau jatuh ke tanah)

Mate bakolar ke lolo (mau hancur bersama sanak kerabat)



Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mengadopsi prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong, dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa.



Sebagian masyarakat Sumbawa percaya apabila upacara barodak ini tidak dilaksanakan akan muncul musibah bagi pengantin maupun keluarganya dalam bentuk munculnya penyakit rabuyak, seperti benjol-benjol di kepala disertai gatal-gatal, kesurupan, keluar darah dari mata bila menangis, tiba-tiba tulang rusuk keluar bebepa centimeter, dan berbagai jenis penyakit aneh lainnya yang disebabkan melanggar upacara daur kehidupan. Selanjutnya pada sebagian masyarakat Sumbawa yang mempercayai pandangan ini, sandro berperan dalam menentukan hari baik, menemukan jenis benda yang digunakan untuk proses penyembuhan penyakit rabuya, serta melakukan pengobatan dan membangun komunikasi secara gaib dengan leluhur si sakit. Akan tetapi, kepercayaan ini mulai nampak memudar seiring pemahaman mereka pada bidang kesehatan dan bergesernya pola berpikir yang menganggap tidak masuk akal menghubungkan antara munculnya berbagai jenis penyakit tertentu ini dengan bentuk upacara adat daur kehidupan, selain juga dianggap oleh sebagian masyarakat bentuk kepercayaan demikian ini sangat tidak Islami.



Satu hal manarik dalam sistem perkawinan tau Samawa yang dianggap ideal adalah perkawinan antarsaudara sepupu, seperti tampak dalam lawas:

Balong tau no mu gegan (secantik apapun seseorang jangan terlalu berharap)

Lenge sempu no gantuna (sejelek-jeleknya sepupu masih ada rasa sayangnya)

Denganmu barema ngining (bersamamu mengarungi suka dan duka)



Lawas ini berisi nasihat orang tua kepada anak laki-lakinya agar tidak mudah terpikat pada kecantikan seorang gadis yang tidak jelas asal-usulnya dan bukan berasal dari sanak kerabat sendiri, sedangkan saudara sendiri walaupun tidak cantik tetapi memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dijadikan teman setia dalam mengarungi suka dan duka. Lawas ini mengindikasikan bahwa adat-istiadat perkawinan dalam masyarakat Sumbawa adalah mengutamakan mencari pasangan dari kerabat sendiri yang seringpula dirumuskan dalam ungkapan peko-peko kebo dita atau biar bengkok tapi kerbau sendiri yang bermakna bangga terhadap kediriannya dan lebih mengutamakan milik sendiri.



Dalam perkawinan adat Sumbawa juga terdapat pantangan yang dinamakan kawin sala basa atau perkawinan yang naif dilakukan karena dianggap tidak sejajar dalam garis silsilah sehingga dianggap kurang santun dalam pandangan adat, seperti seorang paman mengawini anak saudara sepupunya walau dalam syariat Islam diperbolehkan.



Delik perkawinan lain yang dianggap menyimpang adalah merarik atau melarikan anak gadis orang karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua sendiri maupun orang tua gadis pujaanya. Merarik bisa berakibat ngirang bagi keluarga anak gadis yang dilarikan, sedangkan ngirang ini sering diungkapkan dengan mengamuk dan merusak harta milik keluarga pihak laki-laki sebagai luapan amarah, ketersinggungan harga diri pihak korban.



Bagi anak lelaki yang melarikan anak gadis orang, harus segera minta perlindungan pada pemuka adat atau pemuka masyarakat sebelum pihak keluarga wanita menemukannya, bila terlambat meminta perlindungan bisa berakibat fatal berupa kematian atau pembunuhan oleh pihak keluarga wanita yang menurut adat-istiadat dibenarkan.





SISTEM MATA PENCAHARIAN

Sumber penghidupan yang utama bagi tau Samawa umumnya adalah bercocok tanam di sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan lahan-lahan pertanian.



Untuk menggarap ladangnya atau merau cara-cara tradisional masih dipakai hingga kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan pemeliharaan.



Cara mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun bagitu mudah, tau Samawa dapat menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti bage, ketimus, dan bungur yang sudah sama-sama dikenal dan diakui secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi tau Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu yang sangat menampar harga diri tau Samawa.



Masyarakat Sumbawa yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan dengan bangunan rumahnya, sedang bagi tau Samawa yang tidak menyimpan hasil panennya di lumbang, dapat pula memanfaatkan para atau loteng rumahnya, sedangkan untuk peralatan pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong pada bagian bawah rumah panggungnya.



Menjadi nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi tau Samawa. Peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap ikan di laut.



Pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian tau Samawa yang tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu hasil-hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional.



Masyarakat di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini dipelihara dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusaha memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.



Pekerjaan menjadi pedagang merupakan pekerjaan pilihan bagi segelintir orang Sumbawa yang pada awalnya dilakukan oleh keturunan etnik Arab, Cina, orang-orang Selayar, dan sebagian pendatang baru dari Jawa, demikian halnya pekerjaan membuat barang-barang kerajinan seperti romong atau bakul nasi, kursi rotan, ampat atau kipas, menenun kain tradisonal akhir-akhir ini mulai ditinggalkan orang.



Pekerjaan yang paling membanggakan bagi tau Samawa adalah menjadi pegawai negeri sipil atau karyawan tambang. Pengaruh kebudayaan Hindu secara makro pada tau Samawa yang telah memeluk Islam juga nampak dari sikap dan perilakunya yang begitu kuat berorientasi pada status sosial, dan bukan berorientasi pada etos kerja. Oleh karenanya, penghargaan terhadap pekerjaan seseorang cenderung dilihat dari penampilan luar dan materi yang dimilikinya.



Kuatnya orientasi pada status sosial ini ditunjukkan dengan rasa malu yang berlebihan atau berpantang untuk memakai baju robek di luar rumah, bekerja menjadi buruh kasar, gagal pergi haji, mengurus pekerjaan yang biasanya dikerjakan perempuan, bahkan tau Samawa sangat bangga terhadap kediriannya karena tidak ada yang memakai baju compang-camping di jalanan dan menjadi pengemis, serta perasaan tidak enak bila dikatakan miskin menjadikan tau Samawa berusaha menutup-nutupi keadaan dirinya yang sesungguhnya dengan ungkapan kangila rara kagampang bola atau kangila rara kagampang sugih yang maknanya merasa malu bila dikatakan miskin, lebih baik berlaku menutup-nutupi dengan berpura-pura kaya. Berkaitan dengan orientasi status ini dalam kondisi tertentu tau Samawa juga gemar meremehkan orang lain dengan ungkapan apa nya (apa dia), dan cenderung kurang apresiatif terhadap keberhasilan dan prestasi kerja yang dicapai seseorang meskipun prestasi itu diraih dengan etos kerja yang tinggi.





SISTEM PEMERINTAHAN

Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umunya adalah gemar berbicara dan mengurus soal-soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada sandro atau dukun, kurang senang berpikir hal-hal yang kecil dan detail, dan sejarah masa lalunya yang selalu menempatkan dalam pergolakan, baik masa pra-Hindu, Hindu-Budha, dan terakhir masa Islam telah mengkondisikan tau Samawa rata-rata bertemperamen keras dan mudah naik darah, terutama mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, khususnya Taliwang yang dahulu pernah menjadi pusat pengaruh Kerajaan Majapahit di Pulau Sumbawa.



Suku Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawabesar akibat ancaman pencaplokkan Kerajaan Gelgel-Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan Timor dengan ibukota di Sumbawabesar.



Sistem pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan beberapa onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah kecamatan yang membawahi beberapa desa.



Pada masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan desa.



Pola perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro atau dukun. Setiap kepala keluarga memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung-kampung di daerah pedesaan.



Sekarang organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).



Sumbawa sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukom pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe, mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu, kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi. Untuk golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa.

Manrundun Banni, Tradisi "Tujuh Bulanan" Padi di Enrekang

Suatu pagi di Kampung Marena, Desa Pekkalobeang, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, 236 kilometer utara Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagian desa masih tertutup kabut. Udara dingin begitu menusuk hingga terasa ke dalam tulang. Begitu dinginnya, kopi yang disajikan pun tak butuh waktu lama, apalagi ditiup, untuk menjadi dingin. Namun, rupanya dingin pagi itu tak membuat warga larut dan berniat berlama-lama dibalik sarung atau selimut.

google.com
Acara ini digelar untuk tanaman padi atau benih (banni) yang berusia sebulan.
Masih pukul 06.00 Wita, sebagian besar warga dari berbagai kampung sudah mulai berkumpul di Desa Pekkalobeang. Tak hanya orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun turut serta. Tergambar jelas keceriaan di wajah mereka. Umumnya setiap keluarga membawa satu atau dua ekor ayam kampung hidup. Sebagian lagi membawa beragam bahan makanan baik yang sudah jadi maupun masih mentah.

Berkumpulnya warga memang sudah disepakati sebelumnya oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan tradisi Manrundun Banni. Ritual ini kurang lebih sama dengan acara tujuh bulanan pada perempuan yang sedang mengandung. Namun, acara ini digelar untuk tanaman padi atau benih (banni) yang berusia sebulan. Memang, bagi warga Enrekang, selama belum berbuah, tanaman padi belum disebut padi, tetapi benih.

Bersamaan dengan mentari yang mulai naik, warga dan tokoh adat berduyun-duyun ke tempat acara, sebuah dataran agak luas yang berada agak di ketinggian dengan sawah di sekelilingnya. Tanpa banyak bicara, setiba di lokasi acara, sebagian lelaki langsung membuat karerang. Karerang adalah pelepah daun enau yang ditancapkan di tanah dan daun-daunnya dianyam sedemikian rupa menjadi semacam wadah yang nantinya akan diisi makanan. Karerang ini berjejer di tanah dan jumlahnya mencapai puluhan.

Sebagian lelaki lainnya memasang tenda dan tikar, sementara sebagian lainnya menyiapkan sesaji serta kemenyan. Saat tenda dan tikar terpasang, tuak manis pun dituang dan diminum beramai-ramai. Adapun kaum perempuan sibuk menyalakan kayu bakar, menyiapkan bumbu, menanak nasi, dan makanan lain. Satu per satu ayam yang jumlahnya hampir mencapai 100 ekor lalu disembelih dan langsung dimasak dalam beberapa kuali besar.

Sembari menunggu makanan matang dan untuk menghibur warga, terutama yang sibuk bekerja dan memasak, sebagian lelaki memainkan atraksi dan kesenian tradisional manggalelung. Kesenian ini adalah bentuk tarian yang berpadu seni olah tubuh dan pencak silat. Sembari atraksi dimainkan, bunyi-bunyian dari alat musik gendang, seruling, kecapi, dan lainnya juga dimainkan disertai tembang dengan syair berisi cerita baik yang lucu maupun petuah.

"Awalnya manggalelung ini dilakukan petani yang lelah bekerja. Lazimnya dilakukan dua orang. Biasanya mereka melakukan gerakan-gerakan tertentu seperti saling membelakangi dengan tangan berpaut dan bergantian saling memanggul. Ada juga gerakan di mana yang satu tengkurap dan satu lainnya melakukan gerakan-gerakan tertentu di bagian belakangnya, yang intinya membuat urat-urat jadi kendur dan menghilangkan rasa lelah. Atraksi yang semula hanya dilakukan petani di pinggir sawah untuk mengusir lelah ini akhirnya menjadi salah satu bentuk seni tradisi di Enrekang," kata Hasanuddin (52), salah seorang pa’galelung, sebutan untuk pemain manggalelung.

Benar saja, tanpa terasa, aktivitas masak-memasak pun selesai dan seluruh warga berkumpul di sekitar tenda utama. Makanan yang sudah matang diatur dalam daun pisang, masing-masing berisi lappa-lappa (nasi ketan berbentuk bulat panjang berujung pipih, berbungkus daun kelapa, ada pula potongan daging ayam, ikan bakar, dan makanan lainnya). Makanan berkuah diatur dalam wadah segi empat terbuat dari daun pisang. Saat seluruh makanan sudah diatur dalam wadah, acara makan bersama pun dimulai. Adapun karerang yang juga berisi makanan dibawa ke sawah.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makanan yang dibawa ke sawah adalah simbol berbagi makanan atau memberi makan pada tikus atau hama lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tikus-tikus dan hama lainnya tak lagi menyerang tanaman padi karena telah diberi makan. Bukan hanya saat melaksanakan Manrundun Banni, bahkan sebelum menanam pun warga sudah memberi makan pada tikus.

"Entah ada hubungannya atau tidak, nyatanya sepanjang kami masih rutin melaksanakan Manrundun Banni, tanaman padi hampir tak pernah diserang tikus atau hama lainnya. Kalau pun pernah ada yang diserang, biasanya hanya sedikit sekali. Karena itu, masyarakat di sini rutin melaksanakan acara ini, terutama setelah umur benih yang ditanam memasuki bulan pertama," ujar Piter Kada, salah seorang tokoh adat.

Ajang musyawarah

Inti acara Manrundun Banni sebenarnya bukan sekadar memotong ayam, makan-makan, dan membawa sesaji ke sawah untuk memberi makan pada tikus, tetapi yang terpenting adalah acara dialog atau musyawarah yang dilaksanakan seusai acara makan dan ritual lainnya. Dalam acara ini, para tokoh adat dan masyarakat berkumpul membicarakan kelangsungan tanaman padi mereka yang masih berusia sebulan.

"Biasanya kalau dalam acara Manrundun Banni sudah ada laporan tentang gejala serangan hama, walaupun sedikit, kami segera berembuk mencari jalan keluarnya. Entah menggunakan pestisida, mencari sumber serangan, termasuk apa-apa yang menyebabkan hama datang. Biasanya mereka memasukkan usulan dan mana yang dianggap terbaik dan menjadi kesepakatan bersama, itulah yang dijalankan," kata Piter.

Menurut Agus Ryadi, Ketua Yayasan Tora Bulan, lembaga yang bergiat dalam kegiatan seni dan budaya di Enrekang, biasanya serangan hama tikus bukan sekadar diartikan sebagai serangan hama semata. Pasalnya, bentuk serangan hama ini biasanya juga menjadi acuan untuk melihat kinerja dan keadilan para tokoh adat dalam menyelesaikan masalah.

"Misalnya kalau serangan merata di satu areal, itu menjadi penggambaran kalau para tokoh adat cukup adil menyelesaikan masalah. Tapi kalau serangannya pada satu areal, hanya pada satu sisi saja, ini biasanya diartikan bahwa tokoh adat berat sebelah atau memihak," jelas Agus.

Hal ini dibenarkan Anwar, salah satu tokoh adat dari Desa Marena. "Makanya setiap apa pun yang terjadi pada tanaman padi akan menjadi masukan maupun pertanda bagi warga, baik mengenai perilaku mereka maupun tokoh adat," katanya.

Bagi masyarakat di Kabupaten Enrekang, kabupaten bertanah subur dengan pemandangan elok, bercocok tanam, terutama padi, memang menjadi salah satu mata pencarian utama. Selain padi, daerah ini juga terkenal dengan produksi beragam hasil tanaman, seperti kopi, cengkeh, kakao, buah-buahan, dan sayuran.

Arti penting padi pula yang membuat masyarakat di daerah berhawa dingin ini senantiasa menjaga tradisi padi. Kalau masyarakat di Kecamatan Anggeraja dan sekitarnya melestarikan tradisi Manrundun Banni, maka di dataran tinggi, yakni di Kecamatan Baraka dan sekitarnya, masyarakat masih meneruskan tradisi lumbung padi yang sudah dimulai lebih dari 100 tahun lalu.

Di daerah dataran tinggi ini boleh dikata seluruh rumah memiliki lumbung, atau bagi masyarakat di daerah ini akrab disebut landa. Tak hanya satu, bahkan bisa saja satu rumah memiliki dua atau tiga landa. Ini belum termasuk landa milik desa yang diisi secara swadaya oleh masyarakat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, seperti bencana alam, kekeringan, dan gagal panen.

Di Anggeraja pula, masyarakat menganut faham, tak menjual tanah warisan, terutama sawah, untuk menjaga agar kepemilikan sawah tak kian berkurang. Adapun pengelolaannya digilir per tahun atau per periode yang disepakati hingga seluruh ahli waris mendapatkan hal yang sama dari sawah warisan.

Begitu terjaganya tradisi padi di Enrekang, sebagian petani masih menanam padi lokal yang masa tanam hingga panen membutuhkan waktu lima bulan.

Mengenali Budaya Setempat Melalui Pasar

Sejumlah alat pertanian hasil kerajinan Desa Pande dijual di pasar-pasar di Aceh. Kerajinan mereka sudah terkenal sejak zaman Sultan Iskandar Muda.
Mengapa pasar-pasar tradisional di daerah Padang banyak menjual cabai, adakah ini terkait dengan kebiasaan masyarakat Minang yang menggemari cabai dalam tiap masakannya. Mengapa di sepanjang jalan Pandanaran menjelang pemakaman Bergota di Semarang banyak berjajar penjual bunga tabur sementara di Aceh tidak tiap kali menjelang bulan puasa dan usai lebaran?

Bagi seorang antropolog atau peminat kebudayaan, pasar adalah tempat terbaik untuk meneliti dan mendapatkan kesimpulan-kesimpulan tentang kebudayaan (kultur) sebuah masyarakat.

Sebuah pasar akan bercerita sendiri tentang bagaimana gaya hidup masyarakat di sekitar pasar itu. Hal ini dimulai dari jenis makanan apa saja yang dikonsumsi masyarakat tersebut sehari-hari, ragam pakaian, perhiasan, peralatan rumah tangga yang digunakan, bahkan sampai dengan cara mereka beribadah lewat alat dan sarana persembahyangan yang dijual di pasar tersebut.

Dengan kata lain: pasar adalah etalase kebudayaan, demikian ditulis Prof. Dr. Meutia F. Swasono dalam sebuah makalah yang dibawakannya pada Lokakarya Pemberdayaan Pasar Tradisional di Era Hypermarket yang berlangsung di Jakarta, 28-30 November 2007.

Lebih jauh Meutia mengungkap, pasar memiliki posisi penting dalam sebuah masyarakat, sama pentingnya seperti sekolah, tempat ibadah, alun-alun dan lain-lain.

"Sulit membayangkan sebuah masyarakat tanpa pasar. Pasar sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Sebagai contoh, sebuah kajian arkeologis dari data prasasti, naskah serta replika-replika menemukan bahwa pasar sudah adfa sejak zaman masa Mataram Kuna abad VIII Masehi," ungkap Meutia menyitir buku Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna karya Titi Surti Nastiti (2003).

Pasar tidak semata-mata berperan sebagai lembaga ekonomi, tapi juga berperan sebagai lembaga sosial kebudayaan. Bahkan pasar dapat juga menjadi sarana dan tempat mendapatkan hiburan (wisata). "Sejak dulu kala, pasar sudah sering menjadi tempat untuk pertunjukan-pertunjukan, seperti musik, rombongan pelawak, penyanyi, dan sirkus," imbuh Meutia.

Reog, Pesona Singa Barong dari Tanah Ponorogo

Boleh jadi, Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang cepat beradaptasi dan cepat pula digemari. Dari sisi penampilan, kesenian ini memang menjanjikan kemegahan. Dua dadak merak yang menjadi ikon kesenian ini, adalah jaminan mutu penonton terpesona. Konon, berat dadak merak ini sekira 50 kg. "Itu kalau dalam keadaan tidak ada angin. Kalau ada angin, bisa mencapai 75 kg atau bahkan lebih," ungkap Sunardi, seniman Reog menjelang Festival Reog di Jakarta, September lalu.

Dari sisi bunyi, kesenian reog jelas menawarkan keriuhan. Para pengiring yang menabuh berbagai alat musik tradisi seperti terompet, gendang, kempul, saron, dan lain-lain ini bisa mencapai 20 orang.

Dua faktor inilah yang mungkin telah menghipnotis masyarakat di mana paguyuban reog itu berada. Sehingga, menurut HT Yulianto yang bertindak sebagai Ketua Paguyuban Reog Ponorogo wilayah Jabodetabek, grup-grup reog di Jakarta dan sekitarnya kini memiliki anggota dari berbagai etnis.

Maka janganlah heran, jika kesenian yang dibawa para "pengembara" dari tanah Jawa ke berbagai belahan dunia ini di negeri Jiran kesenian tersebut juga cepat berkembang. Cuma sayang disayang, entah karena gelap mata atau kepingin "menggoda" sentimen kebangsaan kita, Malaysia secara sepihak mengklaim bahwa reog berasal dari Malaysia.

Kontroversi ini bermula saat tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo.

Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan "Malaysia" dan diaku sebagai warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Buntutnya, sekitar 2.000 warga masyarakat, tokoh dan artis reog Ponorogo menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jakarta Selatan, Kamis (29/11) pagi.

Mereka menggelar spanduk yang mengecam Malaysia, seperti "Malaysia Plagiat Reog Ponorogo" atau "Stop Penjiplakan". Mereka juga menggelar aksi 50 reog Ponorogo yang memenuhi ruas Jalan Rasuna Said atau di depan Kedubes Malaysia, dengan diiringi irama gamelan yang nyaring.

"Aksi ini merupakan bentuk keprihatinan kami atas sikap Malaysia yang telah menjiplak reog Ponorogo," kata Ketua Paguyuban Reog Ponorogo Indonesia, Begug Poernomosidi. Sikap senada juga disuarakan oleh Tritomo, pengurus Paguyuban Reog Indonesia DKI Jakarta, menyesalkan sikap pemerintah Malaysia yang telah menjiplak kesenian Ponorogo.

Dalam acara itu juga, tiga perwakilan pengunjuk rasa diterima oleh Kedubes Malaysia untuk menyampaikan kesenian Reog Ponorogo merupakan kesenian asli Indonesia. "Tapi syukurlah, melalui duta besar Malaysia di Jakarta, pihak Malaysia sudah mafhum tentang asal-usul reog. Mereka telah mengakui bahwa reog berasal dari tanah Jawa," ujar Yulianto.

Keriuhan dan kemegahan itu memang nyata adanya. Ini bisa kita saksikan saban ada festival reog. Seperti pada festival September lalu, grup Gembong Gati pimpinan Suharno S Pd yang beralamat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, itu disambut meriah oleh para pendukungnya yang rata-rata berbadan atletis dan berambut cepak.

Suara terompet terus menjerit-jerit memekakkan gendang telinga, tapi lengkingan terompet itu justru kian membuat para penonton antusias memberikan tepukan yang panjang untuk kelompok Gembong Jati.

Lalu muncul enam warok muda dan dua warok tua. Mereka berdoa sejenak di tengah panggung, dilanjutkan dengan menari ala ksatria yang saling memamerkan kedigdayaan mereka dalam olah kanuragan.

Tak lama kemudian, muncul para penari jathil yang dibawakan oleh enam penari wanita yang menunggang kuda (lumping). Mereka segera menari di panggung turut memeriahkan suasana, disusul selanjutnya oleh pemunculan Bujangganong dan Klono. Pemunculan terakhir ditutup oleh sepasang dadak merak.

* * *

Secara sederhana, ada lima fragmen tarian disajikan dalam penampilan kelompok reog:
1. Tari warok (prajurit sakti).
2. Tari jathil (penggambaran prajurit berkuda)
3. Bujangganong (patih buruk rupa yang jujur).
4. Tari Klana (Raja Klana Sewandono).
5. Dadak Merak (burung mjerak yang naik di atas harimau).

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.

Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari rekan raja yang beretnis Cina dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda, dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuler Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dengan ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ’kerasukan’ saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. Mereka menganut garis keturunan parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Di sini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, di mana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Saatnya Sungkem kepada Roh di Alam Lain

Warga Dusun Kediten,Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melakukan ritual di depan sumber air Tlompak, Rabu (17/10). Ritual ini dimaksudkan sebagai tradisi sungkem dan mohon berkah kepada roh-roh di alam lain.
Hari raya Lebaran memang identik dengan tradisi sungkem. Tidak hanya kepada sanak saudara terdekat yang dituakan, sungkem juga bisa dilakukan kepada mereka, yang tidak terlihat.

Inilah yang dilakukan oleh warga Dusun Keditan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (17/10). Karena yang akan ditemui adalah sosok dari alam lain, tradisi sungkem pun berbeda dengan yang umum dilakukan.

Tradisi ini diawali dengan kirab, berduyun-duyun dari Dusun Keditan. Setelah menemui sesepuh dusun, Purwo Sugito, rombongan kirab yang memakai baju kesenian beserta pernak-perniknya berjalan menuju sumber air Tlompak di Dusun Gejayan.

Sumber air ini dipercaya sebagai tempat sakral yang menjadi rumah para roh yang dihormati itu.

Setelah berjalan sekitar 700 meter, rombongan kirab pun meletakkan sesaji yang sudah dibawa sedari tadi. Purwo Sugito yang bertindak sebagai pemimpin rombongan langsung memulai acara dengan mengucapkan doa-doa. Setelah itu, kemenyan pun dibakar.

Tradisi ini diakhiri dengan acara rebutan makanan yang dijadikan sesaji serta pembagian air dari mata air yang sebelumnya telah dikemas dalam bungkusan plastik. Mereka yang tidak kebagian kemudian mengambil air sendiri dari sumbernya langsung. Setelah mendapatkannya, masing-masing orang kemudian duduk dan menikmati segarnya air itu dengan cara diminum atau dipakai untuk mencuci muka.

"Karena diambil dari tempat yang sakral, air ini pun dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mendatangkan peruntungan, dan nasib baik," terang Purwo.

Sumber air Tlompak yang disucikan ini, menurut Purwo, dihuni oleh tiga roh, yang disebut sebagai yang mbaurekso. Mereka adalah Prabu Singobarong, Nyai Sinem Dalem, dan Gadung Melati.

Tradisi menemui tiga penguasa ini merupakan kegiatan turun-temurun, yang dilakukan sejak 1932. Karena memang diartikan sebagai kegiatan sungkem, tradisi ini pun dilakukan masih dalam suasana hari raya, yaitu tepatnya pada hari keempat setelah Lebaran pertama.

Karena disakralkan, sumber air Tlompak sendiri tidak pernah dipakai masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari. Untuk kebutuhan rumah tangga, warga biasa mengandalkan sumber air pasang.

Bagaimana asal muasal tradisi itu, Purwo sendiri mengaku tidak tahu pasti. "Namun, menurut sejarah, hal ini dilakukan karena adanya perjanjian antara leluhur Dusun Keditan dan yang mbaurekso di sumber air Tlompak," ujarnya.

Selanjutnya, pada masa sekarang, Purwo mengatakan bahwa tradisi ini tidak memiliki tujuan lain kecuali mengharap berkah keselamatan dari roh-roh tersebut. Dalam doa yang diucapkan kemarin, dipanjatkan serangkaian pengharapan agar warga Dusun Keditan hidup lebih sejahtera dan mudah rezeki.

"Selain itu, kami juga berharap agar terhindar dari mara bahaya, dan anak-anak di dusun dapat semakin pintar dan maju pendidikannya," ujarnya.

Pada tahun 2003 hingga 2004, ritual ini sempat berhenti selama dua tahun. Karena banyak bencana yang sepertinya datang bertubi-tubi, akhirnya tradisi desa ini diadakan kembali.

Tradisi di sumber air Tlompak ini dianggap mengakhiri perayaan Lebaran. Setelah ini, warga Dusun Gejayan biasa melanjutkan dengan ritual serupa pada bulan Rejeb.

Adat Manyanggar di ’Negeri Rawa’ Danau Bangkau

Kue dan makanan sebanyak 41 macam menjadi suguhan utama dalam upacara adat manyanggar danau di Desa Bangkau, Kecamatan Kandangan Kota, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Waktu serasa berhenti pada Minggu pekan pertama Maret lalu di Desa Danau Bangkau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tidak ada warga yang menjemur ikan sepat dan gabus di tepian jalan, juga tidak ada yang berperahu untuk menebar jala di rawa luas yang menjadi halaman belakang permukiman.

Pagi itu seluruh warga di Kecamatan Kandangan tersebut berkumpul di beberapa rumah. Mereka "bersembunyi" dari terik mentari untuk menyiapkan aruh atau syukuran besar, manyanggar danau.

Manyanggar atau menebarkan sesaji ke danau adalah tradisi masyarakat Danau Bangkau. Itu adalah bentuk terima kasih warga terhadap alam (danau) yang telah menjadi sumber penghidupan mereka.

Dahulu para leluhur menerjemahkannya dengan memberikan sesaji kepada panggaduh, ruh yang diyakini memelihara rawa Danau Bangkau yang luasnya 19,5 kilometer persegi.

Syukuran diawali dengan pembuatan beragam penganan sebagai sesaji. Penganan itu terdiri atas 41 macam kue, kambing putih dan ayam hitam yang dipanggang, piduduk (semacam ketan), beras kuning, kelapa muda dan tua, pisang, serta kemenyan.

Ragam sesaji itu disiapkan para ibu sehari sebelumnya. Hanya mereka yang tidak dalam masa haid yang boleh membuat sesaji.

"Macam sesaji ini sesuai dengan permintaan panggaduh rawa. Tujuannya, agar warga dijaga keselamatannya dan dilimpahkan banyak ikan," kata Pambakal (Kepala Desa) Danua Bangkau, Badrun.

Prosesi babarasih
Sesaji telah siap dan prosesi babarasih (membersihkan) danau pun kemudian dimulai. Para ibu yang berkain batik tapih bahalai membawa seluruh sesaji dari rumah seorang tetua desa, Haji Subli. Penganan tersebut dibawa ke dalam perahu kelotok (perahu motor).

Atap perahu tersebut juga telah berhias pohon pisang yang berbuah dan pohon beringin dalam pot. Dua tokoh adat, Maisarah dan Uma Atung, telah mengambil tempat di haluan untuk memimpin perjalanan menuju ke tengah rawa.

Perahu kelotok bertolak diiringi 12 perahu kelotok lainnya yang ditumpangi sebagian besar warga Danau Bangkau. Seluruh penumpang-orang dewasa, pararemaja, anak-anak, hingga anak balita-menikmati pengarungan dengan hikmat.

Sepanjang perjalanan Maisarah dan Uma Antung memercikkan air kembang sebagai simbol babarasih. Bersamaan dengan itu, gong, gendang, dan serunai terus dibunyikan. Suaranya mengundang kehadiran beberapa warga kampung lainnya yang berperahu ces.

Bagian rawa yang menjadi lokasi syukuran berbatasan dengan Desa Pahalatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan beberapa desa di Kecamatan Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Meskipun lokasi persembahan hanya sekitar lima kilometer jauhnya dari Desa Danau Bangkau, perjalanan memerlukan waktu hampir satu jam.

Perahu tak bisa dipacu laju karena hampir seluruh permukaan rawa ditutupi rumput dan ilung (eceng gondok). Selain itu, kedua pemimpin perjalanan beberapa kali meminta rombongan perahu berhenti dan di titik-titik perhentian itulah sesaji diletakkan. Tempat perhentian pertama dinamakan Kepala Danau.

Di lokasi tersebut Maisarah menyerahkan satu kelapa kepada seorang pemandu. Kelapa itu telah dibelah batoknya dan diisi telur dan gula merah. Si pemandu kemudian terjun ke air dan menyelam sedalam lima meter untuk meletakkan sesaji itu di dasar rawa.

Kegiatan serupa dilakukan diperhentian kedua, Mungkur Panjang, dan puncak ritual berakhir di perhentian ketiga, Mungkur Kambing.

Di tempat perhentian terakhir ini, kelapa berisi telur dan gula merah ditaruh di dasar danau. Selain itu, di permukaan air dilarungkan daging kambing bakar. Namun, pelarungan hanyaberlangsung sejenak karena daging itu segera diangkat kembali ke atas perahu.

Upacara adat diakhiri dengan pembacaan doa keselamatan dan tolak bala yang dipimpin dua tokoh adat, Alan dan Syahran.

Pada hari itu seluruh warga yang hadir diminta tidak mencari ikan. Sebagai tanda syukur, seluruh makanan yang menjadi sesaji itu kemudian dibagikan. Warga pun berebutan dalam bahagia sehingga beberapa di antaranya tidak kebagian.

Peninggalan leluhur
Pemuka adat, Syahran, mengungkapkan, manyanggar merupakan peninggalan leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun sebelum masuknya agama Islam di daerah tersebut. Setelah Islam masuk, terjadi penyesuaian.

Kue dan penganan sesaji tidak lagi dilarung ke rawa, tetapi dimakan bersama sebagai bagian dari permohonan keselamatan dan bersyukur.

"Tradisi ini termasuk langka karena warga melaksanakannya tiga hingga lima tahun sekali. Itu pun tergantung adanya ’permintaan’. Biasanya, hal itu melalui warga yang mengalami kasarungan atau kesurupan (mengalami keadaan tidak sadar diri) karena kerasukan roh halus dengan menyampaikan agar diadakan aruh di rawa tersebut.
Kepercayaan ini yang membuat tradisi ini masih dilaksanakan hingga sekarang," ungkap Badrun.

Masyarakat Danau Bangkau percaya bahwa tangkapan ikan akan melimpah setelah upacara adat dilaksanakan. Menangkap ikan adalah mata pencarian 80 persen dari 1.641 jiwa penduduk desa.

"Ritual ini membuktikan, semua warga masih patuh menjaga kelestarian habitat ikan untuk kelangsungan hidup mereka sendiri. Sampai kini warga melarang kegiatan yang merusak rawa, seperti menangkap ikan dengan alat yang menggunakan listrik," tutur Badrun.