Warga Dusun Kediten,Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melakukan ritual di depan sumber air Tlompak, Rabu (17/10). Ritual ini dimaksudkan sebagai tradisi sungkem dan mohon berkah kepada roh-roh di alam lain.
Hari raya Lebaran memang identik dengan tradisi sungkem. Tidak hanya kepada sanak saudara terdekat yang dituakan, sungkem juga bisa dilakukan kepada mereka, yang tidak terlihat.
Inilah yang dilakukan oleh warga Dusun Keditan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (17/10). Karena yang akan ditemui adalah sosok dari alam lain, tradisi sungkem pun berbeda dengan yang umum dilakukan.
Tradisi ini diawali dengan kirab, berduyun-duyun dari Dusun Keditan. Setelah menemui sesepuh dusun, Purwo Sugito, rombongan kirab yang memakai baju kesenian beserta pernak-perniknya berjalan menuju sumber air Tlompak di Dusun Gejayan.
Sumber air ini dipercaya sebagai tempat sakral yang menjadi rumah para roh yang dihormati itu.
Setelah berjalan sekitar 700 meter, rombongan kirab pun meletakkan sesaji yang sudah dibawa sedari tadi. Purwo Sugito yang bertindak sebagai pemimpin rombongan langsung memulai acara dengan mengucapkan doa-doa. Setelah itu, kemenyan pun dibakar.
Tradisi ini diakhiri dengan acara rebutan makanan yang dijadikan sesaji serta pembagian air dari mata air yang sebelumnya telah dikemas dalam bungkusan plastik. Mereka yang tidak kebagian kemudian mengambil air sendiri dari sumbernya langsung. Setelah mendapatkannya, masing-masing orang kemudian duduk dan menikmati segarnya air itu dengan cara diminum atau dipakai untuk mencuci muka.
"Karena diambil dari tempat yang sakral, air ini pun dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mendatangkan peruntungan, dan nasib baik," terang Purwo.
Sumber air Tlompak yang disucikan ini, menurut Purwo, dihuni oleh tiga roh, yang disebut sebagai yang mbaurekso. Mereka adalah Prabu Singobarong, Nyai Sinem Dalem, dan Gadung Melati.
Tradisi menemui tiga penguasa ini merupakan kegiatan turun-temurun, yang dilakukan sejak 1932. Karena memang diartikan sebagai kegiatan sungkem, tradisi ini pun dilakukan masih dalam suasana hari raya, yaitu tepatnya pada hari keempat setelah Lebaran pertama.
Karena disakralkan, sumber air Tlompak sendiri tidak pernah dipakai masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari. Untuk kebutuhan rumah tangga, warga biasa mengandalkan sumber air pasang.
Bagaimana asal muasal tradisi itu, Purwo sendiri mengaku tidak tahu pasti. "Namun, menurut sejarah, hal ini dilakukan karena adanya perjanjian antara leluhur Dusun Keditan dan yang mbaurekso di sumber air Tlompak," ujarnya.
Selanjutnya, pada masa sekarang, Purwo mengatakan bahwa tradisi ini tidak memiliki tujuan lain kecuali mengharap berkah keselamatan dari roh-roh tersebut. Dalam doa yang diucapkan kemarin, dipanjatkan serangkaian pengharapan agar warga Dusun Keditan hidup lebih sejahtera dan mudah rezeki.
"Selain itu, kami juga berharap agar terhindar dari mara bahaya, dan anak-anak di dusun dapat semakin pintar dan maju pendidikannya," ujarnya.
Pada tahun 2003 hingga 2004, ritual ini sempat berhenti selama dua tahun. Karena banyak bencana yang sepertinya datang bertubi-tubi, akhirnya tradisi desa ini diadakan kembali.
Tradisi di sumber air Tlompak ini dianggap mengakhiri perayaan Lebaran. Setelah ini, warga Dusun Gejayan biasa melanjutkan dengan ritual serupa pada bulan Rejeb.
Selasa, 13 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar