Bangunan berbentuk joglo mendominasi bangunan-bangunan di dalam Kampung Jowo Sekatul
Pagi masih belia di Kampoeng Djowo Sekatul, pertengahan Agustus lalu. Kabut tipis berangsur pergi seiring hadirnya Sang Surya. Lamat-lamat, gending Jawa mengalun di tengah perkampungan yang luasnya tak lebih dari 10 hektar itu. Kicau burung bersahutan meningkahi alunan gending yang lamban menyayat. Melodi pagi yang membangkitkan elegi.
Suasana pagi itu makin menarik minat hati untuk lebih masuk lagi menyusuri jalan-jalan setapak berbatu kali di tengah kampung yang didominasi bangunan joglo jawa itu. Dua bangunan utama berdiri megah di bagian tengah depan kampung tersebut. Sebuah rumah joglo tua yang hampir semua bagiannya terbuat dari kayu jati cokelat tua. Aneka ukiran menghiasi dinding dan saka bangunan yang terdiri atas empat pilar.
Berjalan sedikit ke selatan, dua balai berdiri. Menilik dari bentuk bangunan dan tata ruang yang didominasi kursi dan meja, tampaknya itu adalah balai pertemuan. Dari balai yang dinamakan Balai Joyokusuman, terlihat di kejauhan deretan perbukitan di barat. Adapun di timur tampak menjulang tinggi Gunung Ungaran yang diselimuti kabut. Bila pandangan diarahkan ke selatan akan tampak hamparan hijau sawah dan ladang dibelah sungai kecil yang gemericik airnya terdengar harmonis di seantero kampung.
Dua tempat ibadah berbentuk rumah panggung joglo berdiri di sisi barat balai pertemuan itu. Sebuah pancuran kecil tempat menyucikan diri ada di sebelah tempat ibadah yang dipisah untuk pria dan wanita tersebut.
Satu jam berselang, kampung yang semula senyap itu mulai riuh rendah. Pengunjung kampung bernuansa Jawa yang terletak di Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, itu mulai bertambah banyak. Apalagi saat itu bertepatan Sabtu. Saat banyak orang berwisata, salah satunya ke Kampoeng Djowo Sekatul yang letaknya 29 kilometer arah barat daya Kota Semarang.
Pagi itu, pengunjung kampung wisata yang dibangun tahun 2005 didominasi keluarga dan rombongan instansi tertentu. Namun, tak sedikit pula pengunjung perorangan, pasangan muda-mudi, ataupun rombongan keagamaan yang ingin memanfaatkan suasana asri di kampung ini untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Selepas turun dari mobil yang di parkir di area depan kampung, para pengunjung bersama-sama berkeliling kampung. Menyusuri jalan berbatu kali yang ditata rapi. Beberapa di antaranya memilih santai sejenak di bangunan joglo kecil semacam gazebo berhiaskan gebyok yang banyak terhampar di tepi jalan setapak kampung. Semua gazebo di kampung ini memiliki nama, seperti Pondok Menthik, Pondok Pari Gogo, Pondok Pari Lumbu, dan Pondok Pari Utri.
Lelah berjalan-jalan, para pengunjung mengambil tempat di balai, gazebo, maupun payung tenda untuk kemudian memesan makanan di sebuah pondok yang terletak di sebelah bangunan utama bernama Pondok Paricempo. Pondok itu menyediakan paket makanan, baik perorangan maupun rombongan.
Menu yang disediakan umumnya adalah masakan ikan segar yang didapat dari budidaya di kampung itu, seperti gurami, lele, kalper, nila, dan bawal darat, yang disajikan dalam berbagai jenis masakan. Ada pula ayam goreng dan bakar, mi goreng, mi instan, yang harganya bervariasi, mulai dari Rp 3.500 sampai Rp 8.000 per porsi. Sajian-sajian itu dapat dinikmati secara lesehan di pondok ataupun di joglo singgah lainnya.
Menguri-uri budaya
Adalah pengusaha asal Solo, Heri Istiyanto, yang memiliki ide dan mendirikan kampung ini. Kecintaannya pada budaya Jawa mendorong pengusaha ukiran ini mengembangkan sebuah kampung wisata yang sekaligus melestarikan budaya Jawa.
Nanang (28), karyawan di Kampoeng Djowo Sekatul, menuturkan, kampung wisata ini didirikan di Dusun Sekatul. Karena itu, kampung tersebut dinamakan Kampoeng Djowo Sekatul. Persisnya di perbukitan Medini pada areal 10 hektar, yang terletak di kaki Gunung Ungaran. Hawa sejuk sangat terasa di kampung ini.
Untuk mencapai kampung ini, kendaraan pribadi atau sewaan lebih menjadi pilihan sebab transportasi umum ke kampung ini masih sangat jarang. Dari Kota Kendal ke kampung ini, kira-kira membutuhkan waktu tempuh hingga 1,5 jam ke arah tenggara. Dari Kota Semarang, perlu waktu tempuh satu jam ke arah barat daya.
Untuk mewujudkan kampung bernuansa Jawa, pemiliknya mendatangkan sejumlah rumah joglo dari berbagai tempat di Jawa Tengah. Salah satu bangunan yang diusung ke kampung ini adalah bangunan joglo bernama Joglo Dalem Bagan. Bangunan ini konon berusia 300 tahun dan didatangkan dari Pati. "Ini dulu rumah yang didirikan pada masa Adipati Bagan di Pati. Karena itu, dinamakan Dalem Bagan," tutur Nanang.
Di bagian tengah kampung, terdapat sebuah bangunan joglo yang besar pula yang dinamakan Pesanggrahan Joglo Bono Keling. Sebagaimana Dalem Bagan, Bono Keling dirangkai dari kayu jati gunung dan telah berusia tiga abad. Meski di sana-sini warna kayunya sudah kusam, kekokohannya belum berkurang.
"Konon, joglo Bono Keling dan Dalem Bagan ini dibangun hanya dengan pethel (sejenis kapak). Belum ada peralatan bangunan yang canggih (saat itu). Tatah atau pahat pun masih terbatas," ungkap Nanang.
Sedianya, di antara Dalem Bagan dan Joglo Bono Keling akan didatangkan sebuah rumah joglo dari Demak bernama Dalem Saridin, rumah bekas peninggalan keturunan Sunan Kalijaga.
Wisata agro
Selain menawarkan suasana dan bangunan Jawa, Kampoeng Djowo Sekatul juga merupakan tempat wisata agro yang bernuansa pedesaan. Ini seperti terlihat pada hamparan perbukitan yang penuh pesona, persawahan, perkebunan vanili dan strawbery. Juga ada budidaya tanaman obat, buah-buahan, bunga, dan beberapa hewan serta ternak.
Untuk menampung tamu yang datang dari luar daerah atau pengunjung yang ingin menikmati suasana kampung selama beberapa hari, di kampung ini disediakan pula penginapan. Lokasinya di sejumlah bangunan joglo yang difungsikan sebagai rumah. Kamar tidur dibuat los di tengah bangunan. Satu ruangan terdapat empat dipan berjajar tanpa sekat. Tarifnya per orang Rp 50.000 semalam.
Ada pula tempat penginapan lesehan tanpa dipan. Kasur digelar berjejer di atas tikar. Jumlahnya disesuaikan dengan jumlah anggota rombongan.
Kampoeng Djowo Sekatul ini juga dilengkapi fasilitas wisata luar ruangan, seperti tempat outbond, perkemahan, musang terbang, fasilitas pesta kebun, permainan air, dan permainan lumpur yang terletak di dekat area persawahan di sisi selatan kampung. Untuk menikmati wisata luar uang itu, satu rombongan berjumlah lebih dari tiga orang hanya perlu merogoh kocek Rp 150.000 per paket. Satu paket terdiri atas outbond, permainan air, dan high rope.
Nuansa yang lebih alami dan segar dapat diperoleh bila pengunjung menyusuri jalan setapak ke arah timur atau belakang kampung. Di sana ada sebuah belik atau sendang kecil yang airnya tak pernah berhenti mengalir sepanjang tahun. Air itu bersumber dari celah bebatuan di kaki Gunung Ungaran. Di pagi hari, air belik terasa hangat, tetapi siang harinya air menjadi dingin.
Konon, belik ini sudah ada sejak zaman kerajaan Kalingga, sekitar abad ke-8 Masehi. Warga sekitar belik mengungkapkan, pernah ditemukan batu lingga di dekat belik. Namun, bongkahan batu yang diyakini sebagai prasasti peninggalan Kerajaan Kalingga itu sekarang tak diketahui keberadaannya.
Nuansa pedesaan Jawa terasa lebih kental di malam hari. Tak ada gemerlap lampu listrik dan hiburan modern, seperti televisi. Sebagai penerang, di sudut-sudut kampung dinyalakan api di atas tungku dengan bahan bakar minyak tanah.
Terkadang suasana itu ditingkahi suara gamelan yang mengalun lembut dari panggung Madugondo yang terletak di depan Dalem Bagan. Suasana Jawa pun terbangun menembus alam bawah sadar.
Keagungan budaya leluhur memang menawarkan ketenangan dan keseimbangan jiwa. Sesuatu hal yang langka di era yang menjadikan materi sebagai puja-puji ini. Adapun pemandangan alam yang asri, indah dan damai memberikan inspirasi dan pikiran yang segar. Sesuatu yang mungkin bisa disisir di kampung ini.
Selasa, 13 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar