DESA Limbur hampir tidak tampak dalam peta Provinsi Kalimantan
Selatan. Namun, secara administratif desa seluas 554 kilometer persegi
ini termasuk Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru. Desa ini sangat
terisolir, sarana dan prasarana tidak ada. Demikian juga fasilitas
sosial maupun umum. Rumah-rumah penduduk terpencar satu sama lain.
Sulit melihat rumah-rumah mereka dari kejauhan karena berada di balik
bukit, di tengah rimbunnya hutan Pegunungan Meratus yang angker
itu.Jika menyaksikan kehidupan sosial ekonomi sekitar 884 jiwa
masyarakatnya, tepatlah jika dikatakan hidup melarat. "Ya, beginilah
keadaan alam dan lingkungan kami. Rasa-rasanya keadaan semacam ini
akan terus dilanjutkan anak, cucu, dan cicit kami kelak. Kecuali jika
pemerintah sungguh-sungguh memperhatikan nasib kami," tutur Adung
(65), Kepala Adat Desa Limbur.
Desa Limbur, selain memiliki 8 RT (rukun tetangga), juga terdapat
delapan dusun. Warga di sejumlah dusun itu amat jarang bertemu karena
dari satu dusun ke dusun lainnya harus menaiki beberapa gunung besar
dan kecil berjalan kaki dengan waktu cepat sekitar dua jam. Terdapat
pula enam buah balai adat untuk upacara adat/keagamaan. Bila ada
upacara adat, pemberitahuan ke masyarakat minimal 10 hari sebelumnya
karena memerlukan waktu perjalanan berhari-hari.
Lelah, penat, emosi, dan salah-salah bisa stres untuk bisa sampai ke
Desa Limbur. Dari Simpang Empat (ibu kota Kecamatan Batulicin) bisa
naik angkutan pedesaan ke Gadang (ibu kota Kecamatan Hampang) sejauh
83 km dengan ongkos Rp 20.000 per orang. Maklum angkutan pedesaan,
penat, lelah, dan emosi mulai terasa karena hampir tiga jam perjalanan
dengan muatan penumpang 15-16 orang. Padahal isi normal cuma 10 orang
saja. Belum lagi kondisi jalannya yang berlubang-lubang dan kadang
menanjak bukit.
***
DARI Gadang sudah harus siap mental dan fisik karena satu-satunya
jalan ke Limbur hanya jalan setapak yang di sisi kiri-kanannya penuh
onak dan duri. Lama perjalanan delapan-sembilan jam. Itu ukuran normal
bagi masyarakat setempat yang sudah terbiasa sejak puluhan tahun.
Tetapi, bagi orang luar, apalagi baru pertama kali ke situ memerlukan
waktu 10-11 jam, itu pun puluhan kali beristirahat dengan napas yang
nyaris habis.
Jika kondisi jalannya datar dan lurus barangkali masih bisa tersenyum.
Tetapi, harus meliuk-liuk di balik bukit yang terjal di sela pepohonan
yang besar. Kalau tidak jeli untuk mengayunkan langkah kaki bisa
terinjak akar kayu yang menyembul di tanah atau terantuk batu-batu
gunung sebesar kepala manusia yang berserakan di jalan.
Masih ada rintangan lain menghadang. Harus pula menaiki minimal tiga
buah gunung dengan ketinggian antara 100 hingga 600-an meter. Gunung
paling tinggi dinaiki terakhir adalah Gunung Panginangan Ratu (600
meter). Bila hujan turun sedikit saja kaki tergelincir, fatal
akibatnya, licin. Demikian pula saat menurun. Sedikitnya lima sungai
mesti harus diseberangi (tanpa jembatan) dengan ketinggian air
pegunungan yang jernih antara 50-100 cm sementara lebar sungainya
10-20 meter.
Rumah-rumah penduduk yang ada di sekitar hutan itu berdinding kayu.
Umumnya beratap daun rumbia. Ukurannya besar dan panjang, rata-rata
10x20 meter. Mau besar lagi tak ada larangan karena lahan dan hutan
milik mereka bersama berdasarkan hukum adat. Sayang, tidak ada
perabotan di dalam rumah, kursi/meja tamu, lemari pakaian atau
ranjang, misalnya. Yang ada cuma tikar untuk tidur dan alat dapur
untuk memasak.
Warga juga tidak memiliki pesawat televisi karena memang tak ada
listrik. Untuk malam hari dinyalakan lampu bikinan mereka sendiri yang
terbuat dari kaleng bekas minuman ringan yang diisi minyak tanah lalu
diberi sumbu kain. Itu pun paling lama dua hingga tiga jam saja
sebelum tidur. Setelah tidur, dimatikan. Malam hari Desa Limbur
benar-benar mati.
Hidup mereka berkelompok. Satu kelompok antara delapan-10 buah rumah,
umumnya keluarga mereka sendiri, paman, sepupu, saudara atau anak-anak
mereka yang sudah punya keluarga. Antara satu rumah ke rumah lainnya
berjauhan, 100-200 meter. Tetapi, dari satu kelompok ke kelompok
lainnya justru semakin jauh antara tiga-empat km, bahkan ada yang
lima-enam km.
Pukul 09.00-10.00 pagi waktu setempat Desa Limbur masih samar-samar.
Karena sinar matahari terhalang rimbunnya hutan di bawah dan di atas
pegunungan, kawasan hutan lindung yang kini diincar beberapa pengusaha
untuk mengambil kayunya itu. Embun pagi yang datang bergelombang
menambah dinginnya suasana, antara 10-11 derajat Celsius. Baru
kemudian mulai terlihat tanda-tanda kehidupan sekitar pukul 12.00
manakala matahari berdiri tegak. Itu pun jika hujan tidak turun. Di
kawasan Pegunungan Meratus curah hujan tinggi, sekitar 3.000 milimeter
per tahun.
Akan tetapi, masyarakat Desa Limbur bergeming dengan suasana semacam
itu, karena sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Setiap hari sejak
pagi buta mereka masing-masing sudah menyiapkan diri untuk mencari
nafkah ke tempat usahanya dengan penuh semangat dan percaya diri. Ada
yang menebang satu dua pohon kayu meranti atau keruing dengan gergaji
mesin (chainsaw), ada yang mencari getah damar, rotan, merawat kebun
kayu manis, mendulang emas, membuat tikar, bakul, topi (anyaman dari
bambu). Kegiatan mereka ini dilakukan sebelum hasil padi dari
perladangan mereka panen.
Setiap hari Selasa merupakan hari "bahagia" sekaligus hari "libur"
bagi warga Limbur. Karena hari itu adalah hari pasar, namun sayang
tempatnya di ibu kota Kecamatan Hampang, Gadang. Maklum pasar desa,
tentu tidak seramai pasar di ibu kota kabupaten atau provinsi. Pasar
itu hanya buka antara tiga-empat jam saja.
Pada hari itu hampir seluruh keluarga Desa Limbur turun dari rumah
untuk menjual hasil jerih payahnya ke pasar, sementara hasilnya
dibelikan ke bahan-bahan pokok seperti beras, gula pasir, ikan asin,
dan keperluan dapur lainnya sampai hari pasar seminggu kemudian.
Perjalanan panjang dan melelahkan, delapan-sembilan jam berjalan kaki
tidak menjadi halangan bagi mereka. Apalagi harus turun dari rumah
sekitar pukul 01.00 atau 02.00 dini hari agar pukul 09.00 atau 10.00
pagi mereka sudah sampai di Pasar Gadang. Setelah berbelanja satu-dua
jam mereka kembali lagi dan tiba di rumah malam hari, sekitar pukul
21.00-22.00. "Itu pekerjaan rutin kami sejak turun temurun. Lelah,
haus dan dahaga tak jadi soal. Hampir seluruh badan penuh dengan
pacat. Ya, itulah risiko hidup di sini," tambah Adung.
Warga Desa limbur tak berbeda dengan warga desa-desa lainnya, sangat
mengharapkan sentuhan pembangunan. Namun, pembangunan yang didambakan
tidak mengganggu atau merusak sumber daya hutan (SDH) yang
mengelilingi permukiman mereka. "SDH bagi warga Limbur adalah bagian
dari kehidupan mereka. Mengutak-atik SDH di sini sama saja
membangunkan singa yang tengah tertidur lelap," tegas Adung lagi
ketika ditanyakan bagaimana jika ada pengusaha yang ingin mengapling
areal hutan alam itu lalu membangun desa sebagai kontribusinya.
Tak pernah ada permohonan pembangunan infrastruktur ke pengusaha
swasta apalagi pengusaha HPH. Warga desa hanya memohon ke Pemda
Kabupaten Kotabaru karena secara administratif Desa Limbur berada di
bawah binaan kabupaten itu. Kepala Desa Limbur Arifsyah menyatakan,
yang dimohon agar segera mungkin dibangun jalan (meski cuma satu meter
lebarnya) guna memudahkan pemasaran hasil-hasil hutan. Lalu Puskesmas
dan SD negeri beserta guru-gurunya. "Itu saja dulu sudah cukup untuk
menunjukkan keseriusan pemerintah pada warga kami. Sekarang Bapak
lihat sendiri keadaan warga dan desa kami, seakan belum merdeka,
ha-ha-ha...," kata dia bersemangat.
Permohonan sudah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Saat ada
pertemuan aparat Pemda dengan warga di Kantor Kecamatan Hampang
sekitar dua tahun lalu, salah seorang warga menanyakan tentang
permohonan warga Desa Limbur. Namun, seorang pejabat Pemda Kotabaru
menjawab, habis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kotabaru
tetap belum mampu membangun Desa Limbur. Sebaiknya warga Limbur
bersabarlah dulu. "Jawaban ini sangat menyakitkan hati karena tidak
sepantasnya diucapkan," kata Arifsyah.
Kalau begitu jawabannya, belum jelas kapan warga Limbur menikmati
"kemerdekaan?" Lalu kapan warga Desa Limbur keluar dari kungkungan
isolasi, kemiskinan, kemelaratan, ketidakberdayaan, kebodohan dan
sejenisnya?
***
BERLADANG adalah mata pencaharian pokok seluruh masyarakat di
pedalaman Kalimantan. Khusus bagi mereka yang menganut kepercayaan
kaharingan, termasuk warga Desa Limbur sebelum melakukan penanaman
padinya mereka memohon doa dahulu agar tidak diganggu roh-roh jahat
yang berakibat rusaknya tanaman padi. Maka dilakukanlah upacara adat
di balai adat dengan berbagai macam sesajian.
Setidaknya ada tiga kali upacara adat itu dilakukan. Pertama saat
memulai penanaman padi, yang populer disebut upacara manulak bala
(menghindari malapetaka seperti serangan hama penyakit). Kedua
manakala padi berumur enam-tujuh bulan. Biasanya padi sudah mulai
menguning. Kedua upacara ini dihadiri seluruh warga desa yang diakhiri
dengan makan bersama.
Terakhir adalah upacara panen perdana yang disebut upacara mahanyari
banih. Upacara ini dilakukan besar-besaran selama tujuh hari tujuh
malam di balai adat. Selain makanan nasi beserta lauk pauknya
terhidang pula berbagai jenis kue.
Yang unik pada upacara itu adalah kegiatan judi yang merupakan tradisi
warga sejak nenek moyang mereka. Kegiatan ini dilakukan warga desa
lain yang sengaja diundang oleh panitia penyelenggara upacara adat.
Misalnya, warga Desa Limbur melakukan upacara, maka otomatis menjadi
panitia lalu mengundang warga desa lain yang masih dalam satu
kecamatan. Tamu-tamu inilah yang menyantap makanan dan minuman yang
terhidang.
Bermacam-macam jenis judinya, dadu kelotok, kartu remi, kartu domino,
dan lainnya. Taruhannya, untuk saat ini antara Rp 100.000 hingga Rp
500.000 per orang. Kegiatannya dilakukan berkelompok. Satu kelompok
(istilah warga setempat lapak) antara tujuh-10 orang. Bila balai adat
penuh karena banyaknya peserta bisa digelar di halaman atau di
pinggir-pinggir jalan secara terbuka.
Panitia memungut uang jasa untuk setiap lapak Rp 50.000 per hari (lama
perjudian tujuh hari). Uang ini digunakan untuk pemeliharaan balai
adat. Untuk setiap kali upacara sedikitnya 60 kelompok perjudian
bahkan bisa mencapai ratusan kelompok.
Tidak sembarangan melaksanakan judi massal itu. Panitia sebelumnya
minta izin dulu ke polisi setempat. Setelah izin keluar baru
dilaksanakan. "Judi ini merupakan hiburan bagi warga selama pesta
adat. Bukan hanya sekarang tapi sudah berlangsung sejak nenek moyang,"
tutur Kepala Desa Limbur Arifsyah.
Bagaimana jika polisi datang lalu menangkap. "Polisi sudah tahu karena
ada izin. Datang, paling melihat sebentar, makan atau minum setelah
itu pergi, he-he-he...."
Sabtu, 10 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar