Gesekan antara bambu dan ijuk itu berderit tajam, iramanya menjadi musik pengiring yang khas. Bentuknya hanya berupa pikulan
bambu yang membawa untaian padi, ijuk sebagai pengikat antarbambu.
Seluruh petani di Desa Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat, hari itu keluar rumah. Mereka memulai prosesi
Seren Taun atau Serah Taun dengan mengayun padi yang biasa disebut
rengkong.
ImageSeren Taun kali ini kembali digelar masyarakat Kesatuan Adat
Banten Kidul pada Agustus lalu, yang berlangsung di Ciptagelar, pusat
kendali adat Kasepuhan Banten Kidul, tempat kolot girang (pemangku
adat tertinggi) AE Sucipta atau Abah Anom berada. Arak-arakan diikuti
ratusan pengiring yang terdiri dari para pemikul padi dan para kolot
lebur atau sesepuh dari berbagai kampung, serta bermacam kesenian
tradisional seperti debus, ujungan, jipen, dan dog-dog lojor. Arak-
arakan berakhir di depan imah gede, tempat Abah Anom tinggal.
Ritual diteruskan dengan ngadiukeun, yaitu prosesi memasukkan
padi ke leuit (lumbung) si jimat. Prosesi sakral ini langsung
dipimpin Abah Anom. Seusai ngadiukeun, Abah Anom menyampaikan pidato
di hadapan rakyat dari berbagai penjuru, mulai dari Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bogor, hingga Kabupaten Lebak.
ImageDalam pidatonya yang berbahasa Sunda, Abah Anom menegaskan
perlunya melestarikan adat tradisi. Adat terbukti tak kalah dengan
modernisme. Bahkan, tradisionalisme dalam beberapa bidang telah
melampaui capaian masyarakat modern. Ciptagelar membuktikannya dengan
penerapan teknologi tepat guna. Mereka jago membuat kincir air atau
pembangkit listrik tenaga hidro-mikro.
Dalam arak-arakan itu terlihat simpatisan dari kota, mereka
menamakan diri "baris koboi", senada dengan perangkat adat "baris
kolot". Tujuannya, menjadi public relations dari komunitas adat itu.
Kini, hidup kembali ke alam di desa yang jauh dari "peradaban"
modern justru didambakan.(Amir Sodikin)
Selasa, 13 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar