Selasa, 13 Oktober 2009

Mengenal Tradisi Lisan Dayak Desa

Ketika sebuah masyarakat belum mengenal budaya tulis, maka cara untuk mengkomunikasikan berbagai kearifan local masyarakat, menurunkannya kepada generasi yang berikut adalah dengan system tanda. Lazim juga disebut bahasa sebagaimana dimaksud pramagtik smiotik yang akhirnya memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Di antaranya adalah dengan satu kesatuan konvensi, peraturan yang dipersempit pada ikon, lambang, signal dan juga cara oral (oral tradition).

Dengan tradisi lisan, memberikan ruang bagi ilmu pengetahuan, kearifan local, sejarah, mitologi, kepercayaan, tradisi dan semua gejala alam yang diserap oleh panca indera maupun kotak fakir manusia dapat diwariskan.

Sesuai dengan judul kertas kerja ini, penulis ingin menyampaikan betapa kekayaan yang tersimpan dalam lumbung budaya masyarakat Dayak Desa ini akan menuju kemusnahan bila tidak segera didokumentasikan. Karena paralon tradisi lisan yang selama ini dijadikan salah satu saluran pewarisannya telah terancam punah oleh berbagai factor internal maupun eksternal yang terdapat di lingkungannya. Bahkan perubahan social yang sangat cepat di Indonesia pada beberapa dasawarsa terakhir dapat menghapus secara drastis kelompok etnik beserta tradisi lisan yang dimilikinya.

Ini diperparah dengan minimnya penelitian maupun usaha untuk mendokumentasikannya. Setakat ini, dokumentasinya sangat bergantung pada pelaku hidup yaitu tetua-tetua adat, atau penyaji ritual. Akibatnya banyak sekali pengetahuan dan kearifan berharga yang pernah dilahirkan masyarakat ini menjadi hilang tanpa bekas.

Sepintas akan sulit membuat batasan antara kelompok Dayak Desa yang hidup di beberapa Kecamatan di Kabupaten Sintang maupun Sekadau ini dengan suku Dayak Ketungau, Bugau dan Mualang yang juga memiliki kemiripan dengan kelompok Dayak Iban dan Kantuk di Kapuas Hulu.

Karena bila dilihat dari system kekerabatan dan system komunikasi serta system konsep tentang alam dan pekerjaan keduanya memiliki kemiripan (Bentuk, fungsi aplikasi, Mitologi Tentun Ikat Dayak di Kabupaten Sintang, Albert Rufinus dan Asriyadi Alexander, 2000-2001)

Namun menurut hasil penelitian Sujarni Alloy, peneliti pada Institut Dayakologi Pontianak, di Kabupaten Sintang Bahasa Desa adalah bahasa yang terbanyak penuturnya dan mereka tersebar di dalam tujuh daerah kecamatan. Kelompok masyarakat Dayak inilah yang menamakan dirinya sebagai suku Dayak Desa.

Bahasa Desa mempunyai banyak persamaan dengan bahasa Lebang, Mualang, Ketungau dan Bugau. Persamaannya adalah terutama karena ke lima bahasa ini banyak sekali memakai “ai” untuk kata-katanya, seperti untuk mengatakan makan mereka mengatakannya dengan “makai”, untuk berjalan mereka mengatakannya dengan “bejalai”, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, mereka juga memiliki perbedaan, yaitu pada tekanan dan logatnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan antara 1997-2000 itu diketahui bahwa Bahasa Desa di pakai oleh sekitar 41,376 jiwa atau merupakan 9,73% dari keseluruhan penduduk kabupaten Sintang. Jumlah sebanyak ini menempatkan bahasa Desa menduduki peringkat teratas dalam jumlah penuturnya di dalam kabupaten Sintang. Jumlah penutur bahasa Desa dan prosentasenya di kecamatan bisa di lihat pada tabel di bawah ini: Jumlah Penutur Bahasa Desa

Dan Prosentasenya Di Kecamatan*)

NO TEMPAT TINGGAL PENUTUR % KETERANGAN
Kecamatan Kampung
Sintang 415 9.67
Sei. Tebelian 13,343 62.27
Kelam Permai 8,616 65.03
Binjai Hulu 2,244 25.01
Dedai 10,535 47.50
Tempunak 3,980 17.47
Sepauk 2,243 5.97
Sub. Total 41.376

Sekadau Hilir
Tapang Sambas Tapang Kemayau Perupuk Mentah Terentang Kampung Baru 4.375
Total 45.751

*) Sumber: Tabel 48, Penelitian etnolinguistik di Kalimantan Barat. Laporan Penelitian Sujarni Alloy, et al., Institut Dayakologi: Pontianak,1997, 2001

Pada umumnya Suku Desa mendiami tujuh buah kecamatan, yaitu kecamatan Sintang, kecamatan Kelam Permai, kecamatan Binjai Hulu, kecamatan Dedai, kecamatan Sungai Tebelian, kecamatan Tempunak dan kecamatan Sepauk.

Untuk mencapai tempat kediaman masyarakat Desa ini sangat gampang karena berada di tujuh kecamatan yang berada di sekitar kota Sintang dan semua tempat pemukiman mereka itu bisa di capai dengan jalan darat dan beberapa di antaranya bahkan bisa di capai dengan melalui sungai. Sementara di kabupaten Sekadau, kelompok masyarakat ini bermukim di 5 kampung saja yang hakikatnya merupakan penyebaran dari kabupaten Sintang sebagai tanah asal-usul penyebarannya.

Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi suku dayak ini kini. Hal ini lebih dipersulit lagi dengan akulturasi maupun inkulturasi yang terjadi antara suku ini dengan berbagai suku lainnya yang ada di kabupaten itu sekarang.

1. Kana

Kana adalah suatu bagian dari tradisi lisan Dayak desa berbentuk cerita lirik, semacam syair panjang yang dituturkan oleh orang-orang tertentu , yang telah memiliki syarat-syarat tertentu (misalnya; usia, Keturunan, dan tentu juga keahlian). Menurut pak Bangu seorang ahli Kana, yang berusia sekitar 58 tahun, di desa Terumbu’, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Menurut beliau misalnya Kana Bilang Temawai/Menghitung Tembawang, walaupun seseorang cukup pandai menuturkannya tetapi apa bila ia belum pernah duda/janda karena salah satu pasangannya meninggal, maka ia belum boleh menuturkan Kana tersebut. Selain itu, jika seseorang yang ber-kana tengah ber-kana maka ia tidak boleh menghentikan ceritanya secara sesuka hatinya karena cerita ini dianggap sakral, dan tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita tersebut dipercayai akan merasa tersinggung dan marah. Ia harus memilih bagian-bagian yang tepat apabila dengan terpaksa harus menghentikan ceritanya. Misalnya jika Kana tersebut tengah menceritakan babak peperangan maka cerita itu tak boleh dihentikan sebelum para tokoh cerita tersebut mencapai kemenangan, dan seterusnya.

“Temawai pepah lempa’ ubah, alai raja Segugah nempa’ tanah baru mesai buah mawang. Angkat reia’ nguai temawai Kecit Iring Larit alai Raja Segugit nempa’ langit mesa’ lamar para’, angkat reria’ nguai temawai riran ulu tayan dia’ pengadai tuan Selutan, alai ia nempa’ bulan ngeluar pingan pelangka. Angkat reia’ nguai temawai jenenyang ulu jentawang, dia’ pengadai lemamang bintang tiga, bintang randok baka dura, bintang tiga bilang uma. Angkat reia’ nguai temawai trapaeh ulu kapuaeh tumaeh seperapaeh mata. Angkat retemawai titi ulu melawi dia’ upa’ malui krangan manti titi sari napan ….. Angkat reia’ nguai temawai tuai ulu merakai, dia’ pengadai cinta muga. Angkat reia’ nguai temawai belenyut tebing laut, dia’ tanah mansut baru mesai tutup celepa’, baru ai’ bisik nanga, baru bisi’ riran nanyan kebanandan pala, munti’ baru bisi’ suti’ dua, baru bisi’ pantai alai nuba. Dia’ ikan keli’ baru senini’ ngau ikan juara. Angkat reia’ ngui temawai upam ribang capan, alai jugam agi’ ngesan tandan pisang. Reia’ angkat ketemawai ribang mungu’ sengang, dia’ munsang agi’ tauk nginang kandang manuok dara…”

2. Kanduok

Kanduok (desa) adalah suatu cerita berstruktur yang setengah dilagukan, biasanya mengenai riwayat-riwayat para tokoh-tokoh mitologi, seperti Kelieng, Kumang, dll., Kanduok ini secara umum dapat dibagi menjadi 2, yaitu :

a. Yang bersifat lebih serius dan mendalam

Seperti Kana diatas, Kanduok serius apa bila yang bersifat khusus, misalnya tentang kehidupan tokoh-tokoh seperti Kelieng, Kumang dll. atau Kana yang di tuturkan menjadi Kanduok, juga tetap harus memenuhi prasyarat tertentu seperti pada Kana, tetapi Kanduok atau ensera ini umumnya lebih pendek. Misalnya pada Kandok Raja Bediri yang dituturkan informan Bangu, 58, dari Dusun Terumbuk, Desa Pelimping, Kecamtan Kelam permai.

“…belengai babi tali landai dedinga Inaei rekumpai berendam , tepitu’ kema asasi Inaei retanah tabai tu’ pampai bedesai uran…, ari mpai tengari ulantang siri kema Inaei bagi retanah betawi ka’ lesi maa….ti danyam, kema tepesan Inaei duan retanah taaa…yaa…an, putap repemangkap ikan keba repuntianak Inaei babi udak tali tengak maka sintak sabak lasedan, babi tali nyenyua lai ngemela ai’ mata mata dua tiga bereta bebinsan…, tapi dipuntan mentawan aku dibatu….rawan kema tepesan Inaei ngeruan retanah….tayan, ngerinsa mesepa Laja besendam detan keda’lawi’ pendan degengam tuan sa…pi…u…mpan, dekedang aja besapar lengan, baka sapar memuli tungal…., tungal detan kejelayan kelawi’ bemban pemeran ngebau ketanah babi tali sawah sebelah u….ma…laya’ tebelengka’ mangka’ nguman rian telabuoh pusuoh nyur detandan…., dipi’ jaran betanduok tungal derinsa sepa laja besendam, detan kelandai menyalai mentan nadai tegisier kaki jempuli ni…pa..an, nipan…nyuruoh kitai kakat da….ya…ap, nangan ka’ nambung sida’ dekebung ujan, pengitau Ijau duan ka’ ngesah detampah….bemban, meda’ uwie sega’ tebeluma’ lima’ enam, bedapan tujuh lapan baka detipan ngau besi tajam putuoeh detangan sedal belawie’ leman, celaka kema derinya namban..”

b. Yang bersifat lebih ringan

Kanduok ini mungkin lebih dekat dengan istilah dongeng dan tidak memiliki persyaratan-persyaratan khusus seperti pada Kana. Kanduok yang ringan-ringan dan pendek-pendek, biasanya cerita-ceritanya bersifat bebas, sering dijadikan pengantar tidur bagi anak-anak, seperti fabel, dan sebagainya. Misalnya kisah Inaei Kera’ ngau Inaei ukuoi (induk kera dan Induk anjing). Apai Aloi (pak Ali-Ali).

Untuk satu buah Kanduok atau ensera biasanya cukup dituturkan oleh satu orang saja. Kanduok biasanya dituturkan terutama pada saat-saat para wanita-wanita, saat sedang membersihkan rumput atau saat-saat bergotong-royong memanen padi di ladang. Oleh sebab itu penutur Kanduok ini cendrung seorang ibu/wanita. Tetapi boleh juga dilakukan oleh pria. Misalnya yang dituturkan seorang informan Riri, umur 72 tahun, Desa Baning Panjang, kecamatan Kelam Permai. Ia menuturkan lewat kanduoknya tentang rumah Inaei Kelieng yang diserang musuh dan akhirnya mereka berhasil meloloskan diri atas bantuan selampai, kepua’ kumbu’ (jenis-jenis Kain tenun ikat) yang membawa mereka sekeluarga terbang jauh.

3. Mantra

A. Enselan

Enselan adalah bagian dari sebuah kegiatan upacara adat yang biasa dilakukan dalam kelompok masyarakat ini. Semacam mantra yang telah baku untuk memohon berkat kepada Sang Pemilik Kekuasaan mutlak. Misalnya saja pada upacara Enselan Indu’ (enselan anak perempuan), yang antara lain memohon kepada beberapa orang-orang sakti maupun nenek moyang yang pernah hidup sebagai seorang yang bijaksana, Sakti, pandai menenun dan lain sebagainya untuk memberkati kehidupan sang anak supaya kelak ia mengikuti jejak kebijaksanaan dan kepandaian mereka.

Ada juga upacara enselan anak lelaki yang prosesnya hampir sama. Saat enselan, sang anak didudukan di atas gong dengan dipangku seseorang yang pantas menurut adat dengan beralaskan kepuak kumbuk tersebut. Sang anak diolesi darah ayam yang dicampur dengan darah babi, sebagai tanda pemberkatan.

Demikian juga halnya dengan enselan uma (enselan Ladang) supaya kegiatan berladang itu berkenan kepada Sang Penguasa Alam dan terhindar dari gangguan hama maupun bencana lainnya.

B. Timang Muanyik.

Mantra ini biasanya hanya dibacakan ketika akan mengambil lebah madu. Dengan mantra ini, mereka yang ditugaskan mengambil madu di pucuk pohon akan dapat terhindar dari sengatan lebah. Mantra ini semacam dialog kosmologi antara pembaca mantra dengan penguasa alam. Intinya pemantra meminta izin kepada penguasa alam semesta agar diperkenankan mengambil madu lebah itu. Dalam beberapa kalimat mantra itu juga terkandung bujukan kepada raja lebah. Selain ditujukan supaya lebah tidak menyengat, juga supaya madu yang dihasilkan itu berkualitas baik dan tidak kosong. “Ti muanyik nisik madu pecal ke tusu nyai ratu baka catu depajak kenyang.

Ti muanyik kak minteh tepeh ngau tapeh bidang betulang. Penguasa lalau adalah Penguasa Lalau, Dara Remiya . Bila keliru membaca mantra maka pemanjat akan jatuh.



4. Ngerenung

Ngerenung adalah bagian dari upacara-upacara adat dalam masyarakat dayak desa namun hampir tak pernah dilakukan lagi karena sudah langka dan sangat sulit untuk menemukan penutur atau penyaji ritualnya, kecuali ritual serupa yang disebut Bebasouk Arang, saat berladang. Namun menurut sejumlah responden di Kecamatan Kelam Permai mereka masih ingat bahwa ketika masih hidup dan berkumpul di rumah betang dahulu dikenal beberapa buah renung dalam masyarakat ini yaitu:

a. Renung enselan ladang (dilakukan diladang dan merupakan kelanjutan dari enselan ladang)

b. Renung turun ngemak (renung ini hanya dilakukan saat upacara memandikan anak kecil disungai),

c. Renung ngapeh pentiek (dilakukan saat menanam pentiek/semacam patung dari kayu).

d. Renung tusut (silsilah asal mula terciptanya manusia sampai ke keturunan atau sang anak yang sedang dipestakan), Renung ini biasanya dilakukan saat upacara pemasahan gigi sang anak, atau upacara saat menggunting rambut, atau menitik (melobangi) daun telinga sang anak baik laki-laki atau perempuan. Renung ini sebenarnya kelanjutan dari enselan. Setelah seorang anak dienselan maka kemudian dilanjutkan dengan renung ini tadi, tujuannya untuk menggemakan suara pesta/upacara tersebut dengan mengundang tokoh-tokoh mitologi maupun nenek moyang yang pernah hidup bertuah dan sakti dan pandai. Tujuannya meminta berkat dan tuah mulai dari obat-obat atau pun ajimat-ajimat yang akan menjadi bekal membantu sang anak dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Supaya kelak ia menjadi orang yang bijak, pandai menganyam-menenun dan memperoleh suami yang baik (bagi anak perempuan), dan seterus, dan seterusnya. Semua yang terlibat langsung dalam gawai tersebut biasanya dari adalah mereka yang memiliki keahlian tertentu biasanya mengenakan pakaian adat dari kain tenun ikat sehingga melahirkan suasana yang sakral

Masih banyak lagi tradisi lisan dayak desa yang menyimpan catatan tersendiri mengenai budaya kelompok masyarakat ini, terutama legenda maupun mitos-mitos yang diantaranya telah telah menjadi bayangan purba (archetype) ( bandingkan dengan ulasan Seno Gumira Adjidarma, tentang Indonesia sebagai pasien Jung, Sejarah Tak terkuburkan, Kompas, Sabtu, 6 Mei 2000) dan sisanya masih bisa kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak Desa, misalnya kehidupan rumah betang di Ensaid, atau Baning Panjang, Kecamatan Kelam Permai.

Inilah contoh yang paling dekat dan yang masih dapat kita saksikan dan kita rasakan secara konkrit. Baik yang berupa atrifak kebudayaan, seperti tenun ikan, patung, dan benda atau ikon lainnya sebagai penanda bahwa kelompok masyarakat ini pernah dan masih ada

Lebih dari itu, tradisi lisan ini terus menerus dituturkan dan masih dilakukan dalam bentuk ritual kehidupan untuk menjaga tatanan keseimbangan jagat, atau apa yang oleh F. H. L. Hsu ( Psychological Homeostatis and jen” American Anthropologist, 1971), yaitu suatu lingkaran karib atau manusia berjiwa yang selaras dan berkepentingan (YB. Mangun Wijaya, 1999). Namun tak dapat dipungkiri bahwa masuknya agama Kristen maupun agama lainnya maupun pengaruh teknologi dalam ranah kepercayaan kelompok masyarakat ini telah menyebabkan tradisi lisan masyarakat Desa semakin hari terdegradasi dan erosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar