Jakarta, VOI Fitur – Tuk Si Bedug merupakan tradisi turun temurun masyarakat di kecamatan Seyegan, kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.  Tradisi ini dilaksanakan sebagai wujud syukur masyarakat Seyegan kepada Tuhan atas rejeki yang telah mereka terima.  Bagi warga Seyegan, tradisi Tuk Si Bedug memiliki arti penting.
Begitu kuatnya kepercayaan mereka terhadap makna tradisi ini, karena itulah setiap tahun Tuk Si Bedug selalu dilaksanakan.   Biasanya, tradisi ini dilaksanakan selama beberapa hari pada pertengahan tahun, pada hari Jum’at Pahing di bulan Jumadil Akhir dalam kalender Jawa.
Tuk merupakan sebutan bagi sumber air yang oleh masyarakat Seyegan diyakini tidak pernah mengalami kekeringan meskipun musim kemarau tiba.  Mereka percaya, Tuk itulah yang juga telah memberikan berkah kehidupan bagi seluruh warga Sleman. Karena, dari Tuk itulah, mereka dapat mengairi sawah dan ladang tempat mereka bercocok tanam.
Konon, sebutan Tuk Si Bedug berawal dari kisah perjalanan Sunan Kalijaga, seorang tokoh agama Islam.  Sunan Kalijaga merupakan satu diantara Sembilan Sunan lain yang diberi amanah oleh Tuhan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.  Dalam perjalanan menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga berhenti di sebuah pohon berukuran besar di desa Seyegan.  Konon, saat itu merupakan hari Jum’at Pahing dalam kalender Jawa.  Sesuai dengan ajaran Islam, setiap hari Jum’at tiba, umat muslim lelaki khususnya termasuk Sunan Kalijaga diwajibkan untuk melaksanakan ibadah sholat Jum’at.
Namun, ketika Sunan ingin mengambil air wudhu untuk membersihkan diri, Sunan tidak menemukan air setitik-pun. Dengan memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Sunan Kalijaga kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah dan tak lama kemudian, sumber mata air langsung keluar dari tanah yang semula tandus.  Sumber mata air itulah yang kemudian dikenal dengan nama Tuk Si Bedug dan sebagai wujud penghormatan masyarakat Seyegan terhadap Sunan Kalijaga, tradisi Tuk Si Bedug dilaksanakan.
Jika awalnya, tradisi ini hanya dirayakan oleh warga desa Seyegan. Namun kini, masyarakat di beberapa desa di Sleman, seperti desa Margomulyo dan Margoagung juga ikut serta meramaikan pelaksanaan tradisi Tuk Si Bedug.  Meskipun tradisi ini dilaksanakan setiap tahun, antusias warga untuk ikut serta dalam tradisi tidak pernah surut. Bagaimana pelaksanaan tradisi Tuk Si Bedug itu? Tetaplah bersama kami Suara Indonesia di Jakarta.
Beberapa hari sebelum tradisi dilaksanakan, masyarakat Sleman dari beberapa desa mulai mempersiapkan segala kebutuhan tradisi.  Salah satu kebutuhan tradisi yang seakan tidak pernah terlewatkan yakni gunungan.
Gunungan merupakan hasil bumi, seperti padi, jagung, aneka sayur serta buah yang ditata rapi hingga menyerupai bentuk piramida.  Bagi warga Sleman, gunungan tradisi Tuk Si Bedug merupakan persembahan kepada Tuhan dan Tuk Si Bedug.  Mereka percaya, semakin banyak hasil bumi yang dipersembahkan, keberkahan hidup yang akan mereka peroleh semakin besar pula.
Ketika hari Jum’at Pahing di bulan Jumadil Akhir dalam kalender Jawa telah tiba, berbagai rangkaian acara mulai dilaksanakan. Seperti pelaksanaan di tahun sebelumnya, tradisi ini diawali dengan acara berdoa bersama.  Setelah berdoa, seluruh peserta tradisi berjalan beriringan menuju Tuk Si Bedug, sumber mata air desa Sleman.
Sambil berdoa kepada Tuhan, seorang tetua adat desa Seyegan kemudian mengisi sebuah periuk tanah lliat dengan air dari sumber mata air tersebut. Air itu kemudian dibawa dan disemayamkan di balai desa Margodadi Seyegan.
Keesokan harinya, rangkaian acara tradisi dilanjutkan dengan menyelenggarakan pertunjukan kesenian tradisional Sleman. Sementara, puncak acara tradisi Tuk Si Bedug mulai dilaksanakan pada hari ketiga.
Pada hari ketiga, puncak acara tradisi dilaksanakan di balai desa Margodadi Seyegan sejak pagi hari.  Seperti tahun sebelumnya, rangkaian acara dimulai dengan membacakan kisah Tuk Si Bedug.
Kisah ini dibacakan oleh sesepuh desa dengan tujuan agar warga Sleman selalu bertaqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengenang jasa Sunan Kalijaga. Tepat pada siang harinya, para peserta tradisi berjalan beriringan dari balai desa menuju lapangan Mranggen yang terletak di pusat kota Sleman,.
Layaknya sebuah pawai kebudayaan, tampak juga iriingan beberapa buah gunungan yang dijadikan sebagai persembahan. Jumlah gunungan itu menunjukkan berapa banyak desa yang ikut serta meramaikan tradisi.  Biasanya, setiap desa akan memberikan sebuah gunungan. Namun, jika hasil panen di desa itu melimpah, jumlah gunungan akan bertambah banyak.
Ketika seluruh peserta tradisi dan gunungan tiba di lapangan Mranggen di kota Sleman, tetua adat desa mulai membacakan doa.  Dalam bahasa Arab dan bahasa Jawa, mereka memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Ketika acara itu dilaksanakan, kesakralan dari sebuah tradisi Tuk Si Bedug begitu terasa.
Namun tak lama kemudian, nuansa sakral berubah menjadi meriah, ketika tetua adat mempersilahkan warga untuk mengambil isi gunungan.  Kemeriahan tampak ketika semua peserta tradisi berusaha bahkan saling berebut untuk mendapatkan isi dari gunungan.  Mereka meyakini, siapa yang berhasil memperoleh satu bagian dari gunungan tradisi, keberkahan hidup akan mereka peroleh.
Begitu kuatnya kepercayaan mereka terhadap makna gunungan itu, ada juga warga yang sengaja menyimpan isi gunungan itu di rumah mereka hingga tradisi Tuk Si Bedug di tahun berikutnya tiba.  Dengan berakhirnya tradisi perebutan isi gunungan itu, usai sudah pelaksanaan inti acara dalam tradisi Tuk Si Bedug.  Sebagai hiburan warga, pada malam harinya mereka seringkali juga menyelenggarakan pertunjukan Ketoprak yakni teater tradisional khas Jawa.