Minggu, 18 April 2010

Tradisi Unik di Masjid Sang Cipta Rasa

Di Masjid sang Cipta Rasa Cirebon yang di bangun oleh wali Allah pada tahun 1480 M ini setiap sholat Jum'at ada yang berbeda dengan masjid-masjid kebanyakan. Setidaknya Portal Cirebon mencatat ada tiga perbedaan yang cukup mencolok dan unik dalam setiap diadakannya sholat Jum'at di masjid ini yang Portal Cirebon tak menemuinya di masjid lain, dan mungkin inilah yang membuat sebagian jemaah selalu kembali dan kembali lagi ke masjid ini setiap mau melaksanakan sholat Jum'at tak peduli seberapa pun jauhnya jarak masjid ini dari tempat tinggal mereka.

Apa saja perbedaan-perbedaan dari masjid ini yang tidak akan di temui di masjid lain di Nusantara, inilah rincian singkatnya...


* Ada jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at
Pada setiap sholat Jum'at yang kebetulan jatuh pada hari pasaran kliwon, banyak jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon ini dengan satu keyakinan bahwa bila mereka ikut sholat Jum'at yang jatuh tepat pada hari Jum'at Kliwon maka yang bersangkutan akan memperoleh berkah. Atas dasar keyakinan itulah, pada Jum'at Kliwon banyak jemaah perempuan yang datang tidak hanya dari daerah Cirebon tapi juga banyak yang datang dari luar kota untuk ikut bersholat Jum'at di Masjid ini.


* Azan Pitu
Berbeda dengan masjid lain yang biasanya hanya menampilkan satu Muadzin, maka di Masjid Sang Cipta Rasa ini setiap sholat Jum'at selalu menampilkan 7 muadzin sekaligus (azan pitu) hingga terdengar seperti koor. Azan pitu ini sendiri menurut legenda yang beredar di masyarakat Cirebon berawal saat Mesjid Sang Cipta Rasa yang masih beratapkan rumbia terbakar hebat. Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan azan. Namun api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon api baru padam setelah azan dikumandangkan oleh tujuh orang muazin. Api yang membakar mesjid konon merupakan ulah Menjangan Wulung -mahluk gaib yang berwatak jahat semacam leak di Bali-. Dalam versi lainnya yang serupa tapi tidak sama menyebutkan, terbakarnya mesjid bukan dalam arti secara fisik tetapi secara filosofis. Versi berbeda menyebutkan bahwa azan pitu merupakan titah Sunan Gunungjati sebagai strategi untuk mengalahkan pendekar jahat berilmu hitam tinggi bernama Menjangan Wulung. Saat itu, Menjangan Wulung bertengger di kubah masjid, dan menyerang setiap orang yang hendak ke masjid baik untuk azan maupun hendak salat. Setiap muazin yang melatunkan azan selalu tewas karena serangan dari Menjangan Wulung yang tidak senang dengan perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu pesat. Kondisi ini tentu saja membuat resah warga yang hendak melantunkan azan maupun hendak sholat. Kemudian Sunan Gunung Jati menitahkan agar dikumandangkan azan oleh tujuh orang sekaligusuntuk mengusir Menjangan Wulung ini. Dan benar saja, begitu azan pitu ini berkumandang, Menjangan Wulung yang sedang bertengger di kubah masjid akhirnya terpental bersama kubah masjid yang didudukinya hingga ke negeri Banten dan tak pernah kembali lagi ke Cirebon. Konon itulah sebabnya sampai sekarang masjid Sang Cipta Rasa tak memiliki kubah masjid.


* Khotbah Berbahasa Arab
Tradisi yang tak kalah uniknya dari masjid ini selain azan pitu dan jemaah perempuan yang ikut bersholat Jum'at adalah sampai saat ini khotbah Jum'at selalu dibawakan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan meski hampir semua jama'ah tak memahami artinyajamaah tetap menyimaknya dengan khusu tanpa mengobrol dengan rekan disebelahnya. Tujuan dari tetap dilestarikannya khotbah berbahasa Arab ini sendiri konon untuk memotivasi jamaahnya agar mau belajar bahasa Arab.



Jadi, bila anda kebetulan sedang melintas di Cirebon ketika hari Jum'at, tidak ada salahnya bila anda mampir sebentar untuk ikut sholat Jum'at di masjid Sang Cipta Rasa ini.

GEBUG ENDE - TRADISI UNIK TURUNKAN HUJAN

GEBUG ENDE - TRADISI UNIK TURUNKAN HUJAN
Attention: open in a new window. PDFPrintE-mail

Written by Rai Parwati Wednesday, 03 March 2010 08:07
gebug endeMusim kemarau kala itu, di Desa Seraya Karangasem belum berakhir. Hujan yang dinanti-nanti belum juga menunjukkan tanda akan turun. Bagi masyarakat Desa Seraya, Karangsem kondisi ini sangat tidak menguntungkan.Mereka juga ingin merasakan tanah mereka diguyur hujan meski berada pada daerah kering. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai petani.
Dari hasil paruman desa, tercetuslah untuk kembali melaksanakan ritual memohon turun hujan di desa mereka yakni Gebug Ende.Istilah Gebug Ende dikenal juga dengan nama Gebus Seraya. Kemungkinan,untuk mengingat desa unik yakni seraya ini.Gebud Ende hanya dimainkan kaum pria baik dewasa maupun anak-anak.
Gebug Ende berasal dari kata gebug dan ende.


Gebug artinya adalah memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 hingga 2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.
Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. Seperti terlihat sore itu sejak pukul 15.00 di lapangan Merajan, Seraya Barat telah memadati areal lapangan desa tersebut untuk menyaksikan dari dekat permainan yang menguji nyali ini. Anak-anak hingga dewasa tampak bersuka ria menanti permaianan ini. Menariknya atraksi ini memberikan membuat penonton pun dari luar desa datang meramaikannya.

gebug endeAreal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan areal ini disesuaikan degan kondisi areal saja.Sementara Untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali.Para juru banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi krama seraya.

Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para pemain dan penonton. Selain ituterselip juga pembekalan bagi pemain utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye) Memimpin pertandingan. Mereka inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.
Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.

gebug ende
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan kelompok anak anak. Tidak tampak rasa ketakutan pada tubuh kecil itu. Ende dan Rotan pun ditarikan. Riuh penonton memberikan semangat kepada mereka untuk memainkannya.
Bisa dibayangkan betapa sakitnya bekas cambukan rotan apabila tergores di badan. Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa. Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan dari tamiang pun semakin kuat. Pukulan dan Tangkisan berlangsung sangat cepat.
gebug ende

Sorak penonton semakin menyemangati nurani tersebut. Disini saye mengawasi permainan harus sigap untuk segera melerai pemain.Nah..selain krama desa Seraya bagi warga lain yang berminat dapat menjadi pemain.

gebug ende
Dipercaya hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai bilamana satu pemain terdesak .Menurut Bendesa Pekraman Seraya, selain melestarikan tradisi turun temurun gebug ende adalah sebuah tarian suka cita penduduk desa seraya bertujuan memohon hujan kepada Pencipta Alam ini. Selain itu unsur olahraga sangat ditekankan dalam permaianan ini yakni kekuatan fisik untuk melakukan pukulan dan tangkisa. Sebagai sebuah permainan tradisonal Gebug ende telah dikenal hingga mancanegara. Pelestariannya pun harus dilakukan secara sinergi.

NGEREBONG - TRADISI UNIK DARI KESIMAN

Hari itu di desa pekraman kesiman-denpasar tampak berbeda. Sepanjang satu kilometer jalan utama ini ditutup untuk memberikan kenyamanan pemedek tangkil di Pura Petilan Pengerebongan. Kesibukan krama desa telah tampak dari hari sebelumnya. Hari ini pemedek di Pura ini tumpah ruah. Maklum saja, hari ini merupakan hari yang sangat sakral bagi penduduk desa tersebut. Tepatnya menurut penanggalan kalender bali yakni redite pon wuku Medangsia atau delapan hari setelah hari raya Kuningan sebuah tradisi sakral akan segera dilaksanakan.
Hari pun beranjak pemedek yang datangpun semakin banyak. Bahkan wantilan desa pun tampak sesak oleh keramaian pemedek.
Para Manca, Sanak, Pengrob di Pura pura sekitar Kesiman hingga ke bukit/ mulai berdatangan. Ratu Betara Barong, Rangda yang disungsung di Pura pura diusung ke Pura Petilan. Keramaian pun semakin tampak, tabuh beleganjur pun memberikan suasana yang berbeda. Nah....setelah Betara Betari dan Penyungsungan Barong telah dirasakan lengkap, maka dimulailah upacara pengerebongan ini. Titik Sentral untuk upacara ngerebong adalah tepat berada di wantilan atau di depan Pemedal Agung. Para pemedekpun menata diri, memberikan ruang jalan kepada para pengayah ngerebong untuk mengitari wantilan Pura ini. Beberapa menit berselang, Pusat Krama pun mengarah ke satu titik yakni di Pemedal Agung. Di Pemedal Agung para pengiring pun telah siap siaga. Berbagai pengider ider, tombak, umbul-umbul pun mulai diusung menuruni tangga Pemdal Agung. Suara baleganjur pun mulai riuh. Alam pikiran langsung tertuju kepada kesakralan tradisi ini.
ngerebong
Satu demi satu para pepatih yang telah dirasuki aura magis pun mulai melewati Pemedal Agung tersebut. Nah...selanjutnya Ratu Berata yang berwujud Rangda dan Barong melewati Pemedal Agung. Aura magis yang telah terasa sejak tadi semakin bertambah kuat. Kekuatan yang tanpa batas ini merasuki tubuh mereka. Perlahan-lahan para rangda dan Patih mengarak diri mengitari wantilan sebanyak tiga kali yang merupakan suatu urutan yang telah ditetapkan secara tradisi.
ngerebong
Di Pura Petilan Kesiman ini kerauhan bisa terjadi pada siapa saja yang terlibat dalam ritual itu. Selama tiga kali mengitari wantilan para pepatih ataupun krama bisa saja dirasuki sehingga Keris tiba tiba saja dihunus dan dihujamkan ke salah satu titik tubuh mereka.Ujung Keris menancap. Namun tak setetes darahpun keluar dari tubuh tubuh ini.
ngerebong
Nah..setelah mengitari wantilan selama tiga kali maka arak-arakan Barong dan Rangda ini kemudian kembali ke Utamaning Mandala. Acara selanjutnya adalah Ngider Buana. Para Betara-betari, Para Manca, Sanak Pengrob sedang menyandang seuntai kain hitam putih atau disebut dengan kain poleng, bergerak mengarak diri selama tiga kali. Para Pedasaran laki–laki membawa alat alat perang kuno sedangkan pajeng, tombak, bandrangan berada di depan menjadi ujung arak-arakan betara betari. Setelah mengelilingi wantilan selama tiga kali mala ida betara betari akan menuju ke dalam pura. Ngerebong akan diakhiri dengan tabuh agung atau kincang kincung.
ngerebong
Bali memang unik., masing masing daerah mempunyai ciri khas tersendirI. Hal yang sama juga terjadi di desa ini. Tradisi turun temurun ini diwariskan oleh para pendahulunya yang hingga kini masih di pegang teguh krama desa pekraman kesiman.