Senin, 21 Desember 2009

Tradisi Perang Ketupat di Tempilang

Tradisi Perang Ketupat di Tempilang

A. Selayang Pandang

Perang Ketupat merupakan salah satu ritual upacara masyarakat Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat. Upacara ini dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal di daratan. Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari roh-roh jahat. Oleh karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan tradisi ini dimulai. Namun, berdasarkan cerita rakyat, tradisi ini sudah ada ketika Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Ada juga yang menyatakan, kegiatan ini telah dilaksanakan sejak zaman penjajahan Portugis. Yang jelas upacara ini terus digelar secara turun-temurun hingga kini.

Upacara ini memakan waktu selama dua hari. Hari pertama, upacara dimulai pada malam hari dengan menampilkan beberapa tarian tradisional mengiringi sesaji untuk makhluk halus yang diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumahan dari kayu menangor. Para dukun kemudian memulai upacara. Hari kedua, upacara Perang Ketupat yang dimulai dengan terlebih dahulu menampilkan tari Serimbang. Dukun laut dan dukun darat bersanding membacakan mantra-mantra di depan ketupat yang berjumlah 40 buah. Setelah itu, ketupat disusun rapi di atas tikar pandan. Pemuda berjumlah 20 pun diatur berdiri berhadap-hadapan. Mereka saling berebut dan saling lempar ketupat. Setelah suasana kacau, salah seorang dukun meniup peluit tanda perang ketupat tahap pertama selesai. Setelah itu dilanjutkan perang ketupat tahap kedua dengan proses yang sama. Upacara Perang Ketupat itu kemudian diakhiri dengan upacara Nganyot Perae (upacara menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut sebagai tanda mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat Tempilang.

B. Keistimewaan

Keistimewaan upacara ini tampak pada kemasan acara yang penuh dengan tarian tradisional (tari Campak, tari Serimpang, tari Kedidi, tari Seramo, dan tari Kamei) dan upacara tambahan seperti upacara Penimbongan, Ngancak, dan Nganyot Perae. Dalam upacara ini pengunjung seakan diajak masuk ke alam mistis ketika secara tiba-tiba empat dukun secara bergantian tidak sadar (trance). Dukun yang satu “disadarkan”, dukun satunya lagi tidak sadar hingga semua dukun mengalami trance.
C. Lokasi dan waktu pelaksanaan

Pelaksanaan Upacara Perang Ketupat ini dipusatkan di Pantai Pasir Kuning, Desa Tempilang, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Upacara ini dilaksanakan menjelang bulan puasa (Ramadhan).
D. Akses

Jarak dari ibukota Kabupaten Bangka Barat (Mentok) ke lokasi sekitar 36 km. Pengunjung disarankan menggunakan kendaraan pribadi karena kendaraan umum yang menuju desa dan lokasi upacara sangat jarang. Pengunjung juga harus berhati-hati karena banyak sekali jalan berlobang dengan debu-debu yang beterbangan di pinggir jalan jika cuaca panas. Oleh karena jalan yang kurang baik, akses ke lokasi membutuhkan waktu tempuh sekitar 25 menit.
E. Harga tiket

Pengunjung tidak ditarik biaya.
F. Fasilitas dan Akomodasi

Di desa dan sekitar pantai ini, pengunjung juga bisa dengan mudah menemukan penginapan, restoran, dan rumah makan.

Tradisi Tumbilotohe

A. Selayang Pandang

Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo terdiri dua suku kata, yaitu tumbilo berarti pasang, dan tohe berarti lampu. Jadi, Tumbilotohe berarti acara pasang lampu. Menurut sejarah, Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat Gorontalo masa lampau yang sudah berlangsung sejak abad ke-15 M. Tradisi ini dilaksanakan pada 3 malam terakhir menjelang hari Raya Idul Fitri, yaitu pada tanggal 27 hingga 30 Ramadhan, mulai magrib hingga pagi hari.

Di masa lampau, pelaksanaan Tumbilotohe dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam memberikan zakat fitrah pada malam hari. Pada masa itu, lampu penerangan masih terbuat dari damar dan getah pohon yang mampu menyala dalam waktu lama. Oleh karena semakin berkurangnya damar, maka bahan lampu penerangan diganti dengan minyak kelapa (padalama) dan kemudian diganti dengan minyak tanah.

Seiring dengan perkembangan zaman, banyak warga Gorontalo mengganti lampu penerangannya dengan lampu kelap-kelip dalam berbagai warna. Namun, sebagian warga masih tetap menggunakan lampu minyak tanah sebagai penerangan. Lampu-lampu minyak tersebut digantung pada sebuah kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning. Di atas kerangka itu juga digantung buah pisang sebagai lambang kesejahteraan, dan tebu sebagai lambang kemanisan, keramahan, serta kemuliaan menyambut hari raya Idul Fitri. Tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga pendatang, terutama warga kota tetangga, seperti Manado, Palu, dan Makassar. Mereka sengaja berkunjung ke Gorontalo untuk menyaksikan tradisi Tumbilotohe.
B. Keistimewaan

Pada saat ritual Tumbilotohe dilaksanakan, Kota Gorontalo berubah menjadi semarak, karena lampu-lampu penerangan dari berbagai jenis dan bentuk tidak hanya menerangi halaman rumah warga, tetapi juga menerangi halaman kantor, masjid, dan lapangan sepak bola. Bahkan, petakan sawah dan lahan-lahan kosong yang luas pun dipenuhi dengan lampu botol dalam berbagai bentuk, seperti gambar masjid, kitab suci Alquran, dan tulisan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Selain itu, hampir semua alikusu atau kerangka pintu gerbang, baik rumah, masjid, kantor, maupun perbatasan suatu daerah, juga dihiasi dengan janur, pohon pisang, tebu, dan lampu-lampu minyak.

Ritual yang diselenggarakan selama tiga malam tersebut menjadi semakin ramai dan semarak dengan adanya atraksi bunggo (meriam bambu) yang dimainkan oleh anak-anak muda Kota Gorontalo. Para pemain bunggo tersebut saling balas dan saling adu kerasnya bunyi. Menjelang sahur, mereka mengarahkan bunggo tersebut ke kampung-kampung untuk membangunkan warga yang masih terlelap tidur agar bangun untuk makan sahur. Dengan suasana demikian, para pengunjung dapat merasakan nuansa religiusitas dan solidaritas bersama masyarakat setempat.
C. Lokasi

Tradisi Tumbilotohe terdapat di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Indonesia.
D. Akses

Untuk mencapai Kota Gorontalo, perjalanan dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu: jalur darat, laut, dan udara. Jika pengunjung berada di Pulau Sulawesi, perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan bis antar provinsi. Tapi jika pengunjung berada di luar Pulau Sulawesi, perjalanan dapat ditempuh melalui jalur laut dan jalur udara. Di Provinsi Gorontalo terdapat 2 pelabuhan, yakni Pelabuhan Gorontalo dan Pelabuhan Anggrek Kwandang di Kabupaten Gorontalo, dan sebuah bandar udara di Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Bandara ini terletak kira-kira 35 km dari Kota Gorontalo.
E. Harga Tiket Masuk

Pengunjung tidak dikenai biaya tiket masuk.
F. Akomodasi dan Fasilitas

Di Kota Gorontalo tersedia banyak fasilitas pendukung, seperti: hotel, restoran, tempat ibadah, jasa sewa kendaraan, pusat oleh-oleh, ATM dan sarana komunikasi.

Hombo Batu

A. Selayang Pandang

Hombo (lompat) batu merupakan tradisi yang sangat populer pada masyarakat Nias di Kabupaten Nias Selatan. Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari). Desa Bawo Mataluo adalah desa yang kaya dengan situs megalitik (batu besar) berukir dan di dalamnya terdapat perumahan tradisional khas Nias (omo hada).

Setelah otonomi daerah pada tahun 2003, Desa Bawo Mataluo menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Nias Selatan. Sebelumnya, desa ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Nias. Ibu kota kabupaten Nias Selatan ialah Teluk Dalam. Kabupaten ini memiliki keindahan alam dan keunikan budaya yang luar biasa.
B. Keistimewaan

Tradisi lompat batu adalah ritus budaya untuk menentukan apakah seorang pemuda di Desa Bawo Mataluo dapat diakui sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui sebagai lelaki pemberani dan memenuhi syarat untuk menikah apabila dapat melompati sebuah tumpukan batu yang dibuat sedemikian rupa yang tingginya lebih dari dua meter. Ada upacara ritual khusus sebelum para pemuda melompatinya. Sambil mengenakan pakaian adat, mereka berlari dengan menginjak batu penopang kecil terlebih dahulu untuk dapat melewati bangunan batu yang tinggi tersebut. Banyak pemuda yang begitu bersemangat untuk dapat melompatinya.
C. Lokasi

Desa Bawo Mataluo berada di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
D. Akses

Untuk mencapai lokasi wisata, pelancong dapat melalui perjalanan udara dari Medan ke Pulau Nias (Gunung Sitoli) dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam. Selain perjalanan udara, untuk mencapai Pulau Nias dapat juga ditempuh melalui perjalanan laut dengan menggunakan kapal ferry dari Sibolga ke Pulau Nias dengan waktu tempuh lebih kurang 10 jam. Dari Gunung Sitoli, wisatawan masih membutuhkan sekitar 3 jam perjalanan menuju Teluk Dalam dengan kendaraan roda dua atau empat.
E. Harga tiket

Wisatawan yang berkunjung ke Desa Bawo Mataluo tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Oleh karena Teluk Dalam adalah ibukota kabupaten, maka wisatawan tidak sulit mencari penginapan dari tingkat bungalow, penginapan kelas melati, ataupun hotel. Restoran dan kedai makanan juga ada di sekitar lokasi.
Upacara Posuo

A. Selayang Pandang

Tradisi Upacara Posuo yang berkembang di Sulawesi Tenggara (Buton) sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan mentalnya.

Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.

Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.
B. Keistimewaan

Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang mesti dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa. Pertama, sesi pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa senior (parika). Acara tersebut dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa (pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para peserta upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga bahwa selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat.

Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini dilaksanakan setelah upacara berjalan selama lima hari. Pada tahap ini para peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.

Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah bhosu (berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah, airnya dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh peserta didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya peresmian tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton).

Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh oleh para bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang sudah tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini masih perawan.
C. Lokasi

Upacara Posuo diadakan di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia.
D. Akses

Untuk mencapai lokasi, perjalanan dimulai dari Kota Kendari ke Bau-Bau dengan menggunakan pesawat perintis atau kapal laut. Jika menggunakan pesawat perintis, perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dan jika menggunakan kapal laut, waktu tempuh sekitar 4 jam.
E. Harga Tiket

Pengunjung yang datang tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya.

Di kota tempat diadakan Upacara Posuo, banyak tersedia hotel yang nyaman untuk menginap mulai dari hotel berbintang sampai hotel kelas melati. Begitu juga dengan tempat makanan dan minuman, karena di sepanjang jalan di kota ini banyak berjejeran rumah makan dan restoran yang menyajikan berbagai menu, sehingga para wisatawan dapat memilih tempat yang sesuai dengan selera guna bersantap ria.

Upacara Balimau Kasai

A. Selayang Pandang

Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Propinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas. Sedangkan kasai adalah wangi-wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.

Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan Ramadhan tidak hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering dikenal dengan nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai Potang Mamogang. Di Sumatra Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip, yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut.

Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon, telah berlangsung berabad-abad lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat. Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai dianggap sebagai tradisi campuran Hindu-Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus berkuasa.
B. Keistimewaan

Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan sekitarnya berbondong-bondong menuju pinggir sungai (Sungai Kampar) untuk melakukan ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama, yang oleh masyarakat sering disebut makan majamba. Pesta makan ini dihadiri oleh para pemuka masyarakat, pemuka agama, pejabat pemerintah, masyarakat umum, serta diramaikan oleh para tetua adat (kepala batin) yang menggunakan atribut kesukuan (tonggak tonggol) yang telah berumur puluhan tahun.

Setelah itu, menjelang petang, upacara dimulai dengan cara memandikan tokoh masyarakat, tokoh adat, pejabat pemerintah, serta pemuka agama di pinggir Sungai Kampar. Proses memandikan para tokoh ini kemudian diikuti oleh masyarakat umum dengan cara menceburkan diri ke dalam sungai secara beramai-ramai. Setelah itu para pemimpin berjabat tangan dengan masyarakat sebagai ungkapan permohonan saling memaafkan. Selain itu, di dalam ritual ini wisatawan juga dapat menyaksikan rangkaian acara Balimau Kasai, seperti lomba sampan hias, pementasan orgent tunggal, festival kesenian tradisional, dan pementasan musik dangdut.
C. Lokasi

Acara Balimau Kasai biasanya dipusatkan di Desa Batubelah, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau, Indonesia.
D. Akses

Desa Batu Belah sebagai tempat yang sering dijadikan pusat perayaan Balimau Kasai berjarak sekitar 58 km dari Kota Pekanbaru. Pengunjung dapat mengunjungi desa ini dengan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi dari Kota Pekanbaru menuju lokasi perayaan.
E. Harga Tiket

Para wisatawan yang menyaksikan acara ini tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Pesta Adat Sayyang Pattudu

A. Selayang Pandang

Sayyang Pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat menyebut acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Al-Qur‘an. Bagi warga suku Mandar, tamatnya anak-anak mereka membaca 30 juz Al-Quran merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat Sayyang Pattudu. Pesta ini biasanya digelar sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabi‘ul Awwal (kalender Hijriyah). Pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang mengikuti acara tersebut.

Bagi masyarakat Mandar, khatam Al-Qur‘an dan acara adat Sayyang Pattudu memiliki pertalian erat antara satu dengan lainnya. Acara ini tetap mereka lestarikan dengan baik, bahkan masyarakat suku Mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat dengan sukarela akan kembali ke kampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaran pesta adat ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali dilaksanakan. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan kegiatan sampai sekarang juga belum terdeteksi oleh para sejarawan dan tokoh masyarakat.
B. Keistimewaan

Puncak acara khatam Al-Qur‘an dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu memiliki daya tarik tersendiri. Acara ini diramaikan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang telah menyelesaikan khatam Al Quran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias sedemikian rupa. Kuda-kuda tersebut juga sudah terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik, tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar yang mengiringi arak-arakan tersebut.

Ketika duduk di atas kuda, para peserta yang ikut Sayyang Pattudu akan mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari. Peserta Sayyang Pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya ke atas sembari menggoyang-goyangkan kaki dan menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang harmonis dan menawan.

Ketika acara sedang berjalan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue untuk dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji di atas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.

Rangkaian acara tahunan ini, biasanya diikuti lebih dari 50 peserta tiap tahunnya. Biasanya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada di desa tersebut. Diantara para peserta ada yang datang khusus dari desa sebelah, bahkan ada juga yang datang dari luar kabupaten, maupun luar Provinsi Sulawesi Barat.
C. Lokasi

Pesta adat Sayyang Pattudu biasanya diadakan di Desa Karama, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia.
D. Akses

Untuk mencapai lokasi, para wisatawan dapat menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Untuk menuju lokasi, perjalanan dapat dimulai dari Bandara Tampa Padang yang terletak di Kota Mamuju. Dari bandara tersebut perjalanan kemudian dilanjutkan ke Kota Polewali Ibu Kota Kabupaten Poleweli Mandar, Sulawesi Barat dengan waktu tempuh 1 jam 30 menit. Setelah sampai di Kota Poleweli, kemudian perjalanan dilanjutkan ke lokasi yang berjarak sekitar 52 km dengan waktu tempuh sekitar 45 menit.
E. Harga Tiket

Tidak di pungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di Desa Karama, tempat pesta adat ini dilaksanakan, belum ada hotel untuk menginap bagi para wisatawan yang datang dari luar daerah. Tapi tidak usah gundah, sebab masyarakat setempat membuka pintu rumah mereka bagi tamu yang datang ke daerah tersebut untuk menyaksikan pesta adat Sayyang Pattudu. Begitu juga untuk makanan, para wisatawan akan mendapatkan suguhan yang memuaskan dengan beraneka makanan yang disediakan oleh tuan rumah untuk menyambut tamu.

(Noor Fadlli/wm/54/07-08)
__________

Sumber Foto: www.panyingkul.com
Dibaca 3.133 kali
^^ Kembali ke atas
Rating :
Jika Anda pernah mengujungi objek wisata ini, berikan rating dan
komentar untuk menjadi perhatian Dinas Pariwisata atau pengelola
obyek wisata setempat.
Komentar - komentar
amin 22/01/09 03:57
makassar

Kuda Pattudu sayyyang ini telah menjuarai festival budaya nusantara pada Tahun 2008. Salut buat kepala dinas kebudayaan provinsi sulawesi barat. Semoga bapak Gubernur memperhatikan Kebudayaan yang ada di Sulawesi Barat.
dema 07/04/09 02:53
jl.stonen utara I no 11,semarang

aku dah liat sendiri. seru bgt lho. katanya kudanya ini sampe pernah dipanggil ke istana negara lho.
maswad 26/04/09 12:17
Pamboang, majene

harus dilestarikan, tp jangan hanya pemerintah sulbar yang melestarikan donk masyarakat pun harus membantu melestarikan karena sayyang pattu’du merupakan aset budaya yang hanya ada di mandar (Sulbar).
vita 06/07/09 08:36
jakarta timur

saya adalah salah satu siswa dari sulawesi barat yang sedang bersekolah di sekolah tinggi ilmu statistik... saat ini saya dan teman2 dari seluruh sulawesi sedang kebingungan mencari sebuah penampilan yang akan dipersembahkan pada acara ulang tahun kampus, di mana dalam acara itu seluruh kebudayaan dari masing2 daerah asal mahasiswa akan ditampilkan. kebetulan tahun lalu sulbar menang dalam acara pameran kebudayaan senasional. tapi sayangnya kami tdk bisa mempraktekkannya karena keterbatasan dalam informasi padahal kebudayaan ini sangat menarik.
ehmmm bisa ga’ yah kira2 ada video tentang acara ini??? tks.
ocha 15/10/09 08:42
jln. toddopuli raya timur

mau cari tau tentang upacara sayyang pattudu...
Komentar Anda tentang obyek wisata di atas :
Nama : *
Alamat : *
Email : *
URL / Website :
Misal : http://www.wisatamelayu.com/
Komentar - komentar : *
Komentar anda akan dimoderasi oleh administrator terlebih dahulu.
your browser doesn't support image
Masukkan text diatas
*

* = Harus diisi
^^ Kembali ke atas

Fasilitas

* Hotel
* Bank
* ATM dan Penukaran Uang
* Pusat Informasi Wisata
* Restoran dan Cafe
* Biro Perjalanan
* Souvenir / Cindera Hati
* Imigrasi
* Konsulat
* Terminal Bus
* Stasiun Kereta Api
* Pelabuhan Laut / Dermaga
* Pelabuhan Udara / Bandara
* Maskapai Penerbangan
* Kantor Pos
* Telekomunikasi
* Rumah Sakit
* Fotografi & Studio
* Catering
* Fasilitas Lainnya

Agenda

* 19 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Bangka Belitung Day
* 22 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Konser Musik, Tari, dan Teater `Semalam di Bangka Belitung`
* 22 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Teater Etalase Boneka-Boneka Kaca
* 24 Desember 2009 - 30 Desember 2009
Bazar Akhir Tahun Ocarina
* 29 Desember 2009 - 31 Desember 2009
Festival Sumpit Tradisional 2009

Agenda lain ... »
Ads

Beranda | Peta Wisata Melayu | Forum | Donasi | Komentar Tamu | Tentang Kami | Hubungi Kami | Bantuan | Info Iklan | Peta Situs

Ritual Robo-robo

A. Selayang Pandang

Bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia, bulan Safar diyakini sebagai bulan naas dan sial. Sang Pencipta dipercayai menurunkan berbagai malapetaka pada bulan Safar. Oleh sebab itu, masyarakat yang meyakininya akan menggelar ritual khusus agar terhindar dari “kemurkaan” bulan Safar. Ritual tersebut juga dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur.

Namun pandangan di atas berbeda dengan pandangan masyarakat Kota Mempawah yang menganggap bulan Safar sebagai “bulan keberkahan” dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan. Karena pada bulan Safar terjadi peristiwa penting yang sangat besar artinya bagi masyarakat Kota Mempawah hingga saat ini. Peristiwa penting tersebut kemudian diperingati dengan menggelar Ritual Robo-robo.

Dinamakan Robo-robo karena ritual ini digelar setiap hari Rabu terakhir bulan Safar menurut penanggalan Hijriah. Tujuan digelarnya ritual ini adalah untuk memperingati kedatangan dan/atau napak tilas perjalanan Opu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara dari Kerajaan Matan, Martapura, Kabupaten Ketapang, ke Kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, pada tahun 1737 M/1448 H.

Opu Daeng Menambon adalah putra ketiga Opu Daeng Rilekke yang terkenal sebagai pelaut handal dan gemar sekali melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Nusantara bersama dengan anak-anaknya. Opu Daeng Rilekke sendiri adalah putra ketiga Sultan La Madusalat dari Kesultanan Luwuk, Bone, Sulawesi Selatan, yang telah menjadi Kesultanan Islam sejak tahun 1398 M. Opu Daeng Menambon beserta keluarganya pindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah atas permintaan Panembahan Senggauk, Raja Mempawah waktu itu. Setelah Panembahan Senggauk mangkat, Opu Daeng Menambon naik tahta. Beliau berkuasa di sana sekitar 26 tahun, yakni dari tahun 1740 M sampai beliau wafat pada tahun 1766 M.
B. Keistimewaan

Sebagai sebuah peristiwa budaya, Ritual Robo-robo sarat dengan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai historis dan kultural. Ritual Robo-robo merupakan napak tilas kedatangan Opu Daeng Menambon beserta pengikutnya dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah yang konon menggunakan 40 Perahu Bidar. Kedatangan Opu Daeng Menambon beserta pengikutnya ini menjadi cikal-bakal masuk dan berkembangnya agama Islam ke Kota Mempawah. Perlahan-lahan, proses islamisasi pun terjadi dan puncaknya adalah beralihnya Kerajaan Mempawah yang semula beragama Hindu menjadi kerajaan bercorak Islam.

Pengumandangan azan dan pembacaan doa yang dilakukan oleh Pemangku Adat Istana Amantubillah sebelum dimulainya Ritual Buang-buang menandakan bahwa dalam prosesi Ritual Robo-robo juga terdapat nilai-nilai religius. Sesajennya yang terdiri dari beras kuning, bertih, dan setanggi pun sarat dengan makna-makna tertentu. Nasi kuning dan bertih melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan setanggi mengandung makna keberkahan. Dalam Ritual Buang-buang tidak semata-mata penghormatan dan pengakuan terhadap keberadaan sungai dan laut sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat, tapi juga tersirat keinginan untuk hidup selaras dengan alam sekitar.

Ritual ini biasanya dimulai selepas shalat Zuhur, di mana raja Istana Amantubillah beserta para petinggi istana bertolak dari Desa Benteng menggunakan Perahu Lancang Kuning dan Perahu Bidar. Perahu Lancang Kuning khusus digunakan oleh raja, sedangkan Perahu Bidar diperuntukan bagi petinggi istana. Mereka akan berlayar selama satu jam menuju muara Kuala/Sungai Mempawah yang terletak di Desa Kuala Mempawah, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sesampainya di muara Sungai Mempawah, seorang kerabat istana yang menjabat Pemangku Adat mengumandangkan azan dan membaca doa talak bala (talak balak). Kemudian dilanjutkan dengan Ritual Buang-buang, yaitu melempar sesajen ke Sungai Mempawah. Setelah itu, raja beserta para petinggi istana merapat ke tepi Sungai Mempawah untuk bersiap-siap melaksanakan Makan Saprahan di halaman depan Istana Amantubillah. Gambaran di atas merupakan sebagian dari rangkaian prosesi Ritual Robo-robo.

Kebersamaan dan silaturahmi antarberbagai elemen masyarakat adalah nilai-nilai lain yang terkandung dalam prosesi Ritual Robo-robo. Hal ini, misalnya, terlihat pada kegiatan Makan Saprahan. Makan Saprahan adalah makan bersama-sama di halaman depan Istana Amantubillah menggunakan baki atau talam. Setiap baki/talam (saprah) yang berisi nasi dan lauk biasanya diperuntukan bagi empat atau lima orang. Dalam Makan Saprahan keakraban terjalin, suasana mencair, dan sekat-sekat melebur jadi satu. Pada saat makan, tidak lagi dipersoalkan status, agama, dan asal-usul seseorang.

Hal lain yang tak kalah menariknya dalam Ritual Robo-robo adalah dihidangkannya berbagai masakan khas istana dan daerah setempat yang mungkin tidak lagi populer di tengah-tengah masyarakat, seperti lauk opor ayam putih, sambal serai udang, selada timun, ikan masak asam pedas, dan sop ayam putih. Sebagai penganan pencuci mulut disuguhkan kue sangon, kue jorong, bingke ubi, putuh buloh, dan pisang raja. Sementara untuk minumnya, disediakan air serbat yang berkhasiat memulihkan stamina.

Untuk memeriahkan Ritual Robo-robo, biasanya ditampilkan aneka hiburan tradisional masyarakat setempat, seperti tundang (pantun berdendang), japin, dan lomba perahu bidar.
C. Lokasi

Lokasi prosesi Ritual Robo-robo tersebar di beberapa tempat di Kota Mempawah, seperti di muara Sungai Mempawah di Desa Kuala Mempawah, Istana Amantubillah dan Kompleks Pemakaman Sultan-sultan Mempawah di Kelurahan Pulau Pedalaman, serta Makam Opu Daeng Menambon di Sebukit Rama, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
D. Akses

Kota Mempawah berjarak sekitar 67 kilometer di sebelah utara Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Dari Bandara Supadio atau Terminal Bus Pontianak, turis dapat naik taksi, travel, dan bus sampai Kota Mempawah, ibukota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Mempawah, Muara Sungai Mempawah berjarak sekitar 10 kilometer. Turis dapat mengaksesnya dengan menggunakan bus atau minibus.
E. Harga Tiket

Pelancong yang ingin menyaksikan Ritual Robo-robo tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Bagi wisatawan dari luar kota dan ingin menyaksikan prosesi Ritual Robo-robo secara keseluruhan, dapat menginap di hotel dan wisma yang banyak terdapat di sekitar lokasi Ritual Robo-robo.

Di kawasan tersebut juga terdapat toko, rumah makan, dan warung yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan, minuman, dan isi ulang pulsa.

Berbagai fasilitas lainnya, seperti masjid, kios wartel, bank, dan ATM, juga tersedia di sini.

Ritual Petang Megang

A. Selayang Pandang

Hampir setiap masyarakat memiliki hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang dimuliakan dan disucikan. Sebagai bentuk penghormatan terhadap hari-hari atau bulan-bulan tersebut, masyarakat biasanya menggelar ritual atau upacara khusus untuk menyambut kedatangannya. Pada umumnya ritual tersebut digelar di masjid, kuil, makam, gunung, sungai, laut, dan lain sebagainya.

Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan salah satu bulan yang dimuliakan. Oleh sebab itu, kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan dan disambut dengan penuh sukacita. Masyarakat Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, misalnya, menyambut kedatangan bulan suci ini dengan menggelar ritual Petang Megang yang dipusatkan di tepian Sungai Siak sehari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Masyarakat yang bermukim di Riau Daratan menyebut ritual ini dengan nama Balimau Kasai, sedangkan masyarakat Riau Kepulauan mengenalnya dengan nama Mandi Balimau.

Istilah Petang Megang terdiri dari dua kata, yaitu “petang” dan “megang”. “Petang” artinya sore, merujuk pada pelaksanaan ritual tersebut yang digelar pada sore hari. Sedangkan “megang” berarti memegang sesuatu atau ungkapan untuk memulai sesuatu. Biasanya, seseorang akan memegang sesuatu atau benda tertentu sebagai tanda dimulainya ritual dan upacara.

Meskipun telah berurat-berakar dan senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, ritual ini pernah vakum digelar beberapa waktu. Namun pada tahun 1997, Pemerintah Kota Pekanbaru bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Kota Pekanbaru, berinisiatif menggelar kembali ritual ini. Bahkan belakangan ini, Pemerintah Kota Pekanbaru berupaya sekuat tenaga agar ritual ini masuk sebagai salah satu event pariwisata tingkat nasional.
B. Keistimewaan

Prosesi ritual Petang Megang diawali dengan melaksanakan shalat Ashar berjamaah di Masjid Raya Senapelan (Masjid Raya Pekanbaru). Acara kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam pendiri Kota Pekanbaru, Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah atau yang lebih populer dengan sebutan Marhum Pekan. Makam sultan kelima Kerajaan Siak Sri Inderapura (1780-1782 M) ini terletak di sebelah kanan Masjid Raya Senapelan.

Selesai berziarah, masyarakat Kota Pekanbaru dan sekitarnya yang dipimpin oleh Gubernur Riau dan Walikota Pekanbaru, lalu berbondong-bondong menuju tepian Sungai Siak dengan berjalan kaki sekitar 1,6 kilometer. Di antara arak-arakan yang dimeriahkan dengan iringan musik kompang (salah satu alat kesenian Melayu Riau) itu, terdapat barisan ibu-ibu yang menjunjung pulut (kepok) yang diletakkan di atas talam atau baki. Pulut adalah sejenis penganan yang terbuat dari beras ketan yang terdiri dari warna putih, kuning, dan hitam. Dalam ritual ini, penganan tersebut dibuat empat tingkat dengan ketinggian mencapai tiga meter. Biasanya, penganan ini juga dilengkapi dengan hiasan 1.000 butir telur.

Sesampainya di Sungai Siak, persisnya di bawah Jembatan Siak I (Jembatan Leighton) yang berada di Jalan Yos Sudarso, Kota Pekanbaru, diadakan berbagai kegiatan dan perlombaan. Acara berikutnya adalah mendengarkan kata sambutan Gubernur Riau dan ceramah agama dari seorang ulama. Setelah itu, Gubernur Riau mengambil ramuan “air limau” yang terdiri dari tujuh jenis tumbuh-tumbuhan, yakni serai wangi (cymbopogon nardus), daun pandan (pandanaceae), daun limau timun/limau pagar (fortunella polyandra), akar siak-siak (daniella ensifolia), daun nilam (pogostemon cablin benth), daun seman, dan mayang pinang. Ramuan tersebut kemudian disiramkan kepada beberapa orang sebagai perwakilan warga. Mandi bersama di tepian Sungai Siak merupakan acara puncak dan sekaligus akhir dari rangkaian prosesi ritual Petang Megang.

Sebagai sebuah peristiwa budaya Melayu, ritual Petang Megang sarat dengan kandungan nilai-nilai agama dan kultural karena ritual Petang Megang merupakan ekspresi rasa syukur masyarakat Kota Pekanbaru dan sekitarnya kepada Allah SWT atas kedatangan bulan suci Ramadhan. Yang menarik dalam ritual ini adalah digelarnya kegiatan keagamaan dalam nuansa kebersamaan, seperti shalat bersama di Masjid Raya Senapelan, berziarah ke makam pendiri Kota Pekanbaru, berjalan beriringan menuju Sungai Siak, dan mandi bersama di tepian Sungai Siak. Dalam rangkaian prosesi ritual Petang Megang, tidak saja terlihat meleburnya masyarakat Kota Pekanbaru yang heterogen, antara orang kaya dengan orang miskin dan antara pemimpin dengan rakyat biasa, tapi juga menyatunya nilai-nilai agama dan kultural dalam satu event.

Hal lain yang menarik adalah arak-arakan masyarakat memakai pakaian adat Melayu Riau dan barisan ibu-ibu yang membawa makanan tradisional setempat sepanjang jalan menuju tepian Sungai Siak. Hal ini mengindikasikan, meskipun hidup di era globalisasi, masyarakat Kota Pekanbaru dan sekitarnya tetap punya keinginan yang kuat untuk senantiasa melestarikan khazanah tradisi nenek moyangnya.


Peserta lomba perahu sedang bersiap-siap mengikuti perlombaan
dalam acara Petang Megang

Berbagai kegiatan dan perlombaan yang digelar dalam rangka untuk memeriahkan ritual Petang Megang, seperti penampilan tari-tarian dan lagu-lagu Melayu di atas panggung terbuka, perlombaan perahu hias, dan menangkap itik dari atas perahu, juga menjadi daya tarik pelancong ketika mengikuti prosesi ritual ini.


Warga menyaksikan acara ini sampai ke bibir sungai
C. Lokasi

Ritual Petang Megang dipusatkan di tepian Sungai Siak, Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Indonesia.
D. Akses

Dari Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, wisatawan dapat mencapai lokasi ritual Petang Megang di tepian Sungai Siak dengan naik oplet, ojek, atau taksi.
E. Harga Tiket

Masyarakat ataupun wisatawan yang ingin menyaksikan ritual Petang Megang tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Bagi wisatawan dari luar kota dan ingin menyaksikan prosesi ritual Petang Megang secara keseluruhan, dapat menginap di hotel dan wisma yang banyak terdapat di sekitar lokasi ritual Petang Megang.

Di kawasan tersebut juga terdapat pasar, toko, rumah makan, dan warung yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan, minuman, dan isi ulang pulsa.

Berbagai fasilitas lainnya, seperti masjid, kios wartel, warnet, bank, ATM, shelter-sherter, pusat oleh-oleh dan cenderamata, serta persewaan perahu dan speed boat, juga tersedia di sini.

Upacara Begalan

A. Selayang Pandang

Begalan ialah ritual yang merupakan bagian dari rangkaian upacara pernikahan yang terdapat di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kata “begalan” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perampokan. Upacara ini disebut Begalan karena prosesinya hampir sama dengan peristiwa perampokan. Begalan merupakan simbol bergantinya status keperjakaan seorang laki-laki menjadi suami. Namun, tidak semua calon pengantin menyelenggarakan upacara seperti ini, sebab upacara ini hanya diperuntukkan bagi calon pengantin laki-laki yang merupakan anak sulung (mbarep) dan anak bungsu (ragil).

Jumlah pemain dalam upacara ini terdiri dari dua orang, satu orang mewakili calon pengantin laki-laki yang disebut Jurutani, dan satu orang lagi mewakili calon pengantin perempuan yang disebut Suradenta. Peralatan yang digunakan dalam Upacara Begalan disebut brenong kepang dan wlira. Brenong kepang ialah barang bawaan berupa peralatan dapur dan aneka barang bawaan lainnya yang dipikul oleh Jurutani. Berbagai jenis peralatan dapur itu di antaranya ilir, cething, kukusan, saringan ampas, tampah, serokan, enthong, siwur, irus, kendhil, dan wangkring. Selain itu, dibawa juga berbagai macam ubi-ubian, buah-buahan, pala kesimpar, kembang tujuh rupa, beras kuning, pisang raja, pisang emas, dan telur ayam kampung. Peralatan dapur tersebut merupakan simbol piwulang (pelajaran) bagi calon pengantin, yaitu sebagai bekal dalam mengarungi hidup berumah tangga, baik sebagai keluarga, anggota masyarakat, maupun hamba Tuhan. Sedangkan Suradenta membawa barang yang disebut wlira, yaitu pedang mainan yang terbuat dari belahan pohon pinang yang digunakan sebagai sarana (senjata) untuk membegal.

Upacara ini diselenggarakan sebelum ijab kabul dilaksanakan, tepatnya ketika pengantin laki-laki memasuki halaman rumah calon pengantin perempuan. Walaupun diselenggarakan dalam tempo yang cukup singkat, tapi upacara ini bukanlah sekedar pelengkap dari upacara perkawinan saja, karena di dalamnya mengandung hikmah, yaitu sebagai piwulang, nasehat, dan bekal bagi calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga.
B. Keistimewaan

Keistimewaan Upacara Begalan tampak pada adanya kombinasi seni tari, seni suara, dan seni lawak yang dimainkan secara bersamaan dalam bentuk dialog antarpemainnya dan diikuti juga dengan gerak tari. Upacara ini diiringi dengan alunan musik yang disebut gending. Adapun irama gending yang mengiringi upacara itu di antaranya irama ricik-ricik, cirebonan, gunung sari, gudril, dan eling-eling. Sedangkan busana yang dipakai Jurutani dan Suradenta berupa pakaian adat Jawa berwarna hitam, dengan memakai iket wulung jeblakkan, dan tidak memakai alas kaki. Busana para pemain Begalan itu merupakan simbol dari sifat kesederhanaan.

Dialog yang disampaikan dalam upacara itu hanya sebatas pada pemaknaan terhadap brenong kepang (peralatan dapur). Prosesi dialognya dimulai dengan penyebutan salah satu nama dari brenong kepang oleh Jurutani, kemudian Suradenta mengartikannya dan juga berlaku sebaliknya sembari diiringi dengan lawakan yang dapat mengundang tawa. Penyebutan barang bawaan tersebut di antaranya ilir (kipas yang terbuat dari anyaman bambu) dan cething (tempat untuk menaruh nasi). Ilir mengandung nasehat: dalam mengarungi rumah tangganya yang baru, sepasang suami istri harus mampu membedakan antara pergaulan yang baik dan yang buruk dalam bermasyarakat. sementara cething mengandung nasehat: dalam hidup bermasyarakat sepasang suami istri harus mempunyai tatanan, sehingga tidak berbuat semaunya sendiri. Dan masih banyak lagi penyebutan barang-barang lainnya yang terdapat dalam upacara ini.

Biasanya, upacara ini banyak dihadiri masyarakat dan wisatawan karena mengandung pesan-pesan luhur, dan terdapat juga unsur lawakan di dalamnya. Di akhir upacara, pengunjung juga dapat menyaksikan masyarakat yang berebut brenong kepang.
C. Lokasi

Upacara Begalan berkembang di wilayah Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses

Untuk menuju Kota Banyumas cukup mudah karena dapat dijangkau dari berbagai kota di sekitarnya dengan menggunakan angkutan umum seperti bus. Jika memulai perjalanan dari Kota Purwokerto, pengunjung bisa naik bus jurusan Purwokerto—Banyumas. Perjalanan Purwokerto sampai ke Banyumas biasanya ditempuh dengan waktu kurang lebih 45 menit dengan jarak sekitar 24 km.
E. Harga Tiket

Pengunjung yang ingin menyaksikan upacara ini tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di Kota Banyumas terdapat berbagai macam fasilitas seperti hotel, restauran, Mall, ATM, warung telekomunikasi, Cafe, diskotik, dan lain-lain.

(Junardi/wm/16/09-08)

__________

Sumber Foto: panginyongan.blogspot.com
Dibaca 4.196 kali
^^ Kembali ke atas
Rating :
Jika Anda pernah mengujungi objek wisata ini, berikan rating dan
komentar untuk menjadi perhatian Dinas Pariwisata atau pengelola
obyek wisata setempat.
Komentar - komentar
ItInG 12/08/09 03:09
Purwokerto

bagus sich... tapi mana sejarah or asal usul dari begalan itu???
calvin 12/11/09 05:37
puspit g4 no 31

web ini sangat bermanfaat yah! bagus!
Komentar Anda tentang obyek wisata di atas :
Nama : *
Alamat : *
Email : *
URL / Website :
Misal : http://www.wisatamelayu.com/
Komentar - komentar : *
Komentar anda akan dimoderasi oleh administrator terlebih dahulu.
your browser doesn't support image
Masukkan text diatas
*

* = Harus diisi
^^ Kembali ke atas

Fasilitas

* Hotel
* Bank
* ATM dan Penukaran Uang
* Pusat Informasi Wisata
* Restoran dan Cafe
* Biro Perjalanan
* Souvenir / Cindera Hati
* Imigrasi
* Konsulat
* Terminal Bus
* Stasiun Kereta Api
* Pelabuhan Laut / Dermaga
* Pelabuhan Udara / Bandara
* Maskapai Penerbangan
* Kantor Pos
* Telekomunikasi
* Rumah Sakit
* Fotografi & Studio
* Catering
* Fasilitas Lainnya

Agenda

* 19 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Bangka Belitung Day
* 22 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Konser Musik, Tari, dan Teater `Semalam di Bangka Belitung`
* 22 Desember 2009 - 22 Desember 2009
Teater Etalase Boneka-Boneka Kaca
* 24 Desember 2009 - 30 Desember 2009
Bazar Akhir Tahun Ocarina
* 29 Desember 2009 - 31 Desember 2009
Festival Sumpit Tradisional 2009

Agenda lain ... »
Ads

Beranda | Peta Wisata Melayu | Forum | Donasi | Komentar Tamu | Tentang Kami | Hubungi Kami | Bantuan | Info Iklan | Peta Situs

Pesta Rakyat Maras Taun

A. Selayang Pandang

Maras Taun pada awalnya merupakan acara peringatan hari panen bagi para petani padi ladang di Desa Selat Nasik, Pulau Mendanau. Padi ladang hanya dapat dipanen setelah masa tanam sembilan bulan, oleh karena itulah perayaan panen ini hanya dilaksanakan satu tahun sekali. Pada perkembangannya, pesta rakyat ini berubah, tidak sekadar untuk memperingati panen padi, melainkan juga sebagai ungkapan syukur semua penduduk pulau, baik petani maupun nelayan. Jika petani merayakan hasil panen padi, maka para nelayan merayakan musim penangkapan ikan tenggiri serta keadaan laut yang tenang.

Maras sendiri berarti memotong, dan taun berarti tahun. Makna dari nama ini adalah semua penduduk meninggalkan tahun yang lampau dengan ucapan syukur dan memohon untuk semua yang baik di tahun selanjutnya. Peristiwa Maras Taun ini, sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Selat Nasik saja, namun juga oleh beberapa desa di Pulau Belitung, Pulau Mendanau, dan pulau-pulau kecil lain yang termasuk dalam Kabupaten Belitung. Kendati demikian, perayaan Maras Taun di Selat Nasik merupakan perayaan pertama yang dijadikan agenda wisata dan telah didukung oleh pemerintah Provinsi Bangka Belitung.
B. Keistimewaan

Rangkaian perayaan Maras Taun dapat berlangsung selama tiga hari, dengan hari terakhir sebagai puncak perayaan. Sebelum puncak perayaan, masyarakat yang hadir disuguhi beragam pertunjukan kesenian dari Desa Selat Nasik maupun dari daerah-daerah lainnya. Beragam kesenian seperti Stambul Fajar khas Belitung, Tari Piring khas Minang, dan Teater Dulmuluk dari Sumatra Selatan dipertontonkan. Selain kesenian tradisional, pentas musik organ tunggal juga turut menambah kemeriahan pesta rakyat ini.

Pada puncak perayaan, acara dibuka dengan lagu dan tari Maras Taun yang dibawakan oleh dua belas gadis remaja, yang menggunakan kebaya khas petani perempuan, lengkap dengan topi capingnya. Lagu yang dinyanyikan oleh para remaja ini merupakan lantunan ucapan syukur atas hasil bumi yang mereka dapatkan. Sementara itu, gerak dalam tarian ini menyimbolkan para petani yang bekerja sama saat memanen padi ladang.

Usai tarian dipentaskan, acara dilanjutkan dengan Kesalan. Kesalan sendiri merupakan haturan doa syukur atas panen yang telah dilewati dan permohonan berkah untuk masa depan, yang dipimpin oleh dua orang tetua adat Selat Nasik. Usai doa dipanjatkan, kedua tetua adat ini menyiramkan air yang telah dicampur dengan daun Nereuse dan Ati-ati. Penyiraman air ini merupakan simbol untuk membuang kesialan bagi warga desa.


Prosesi Kesalan

Suasana perayaan Maras Taun akan semakin meriah ketika lepat (makanan dari beras ladang berwarna merah, yang diisi potongan ikan atau daging), diperebutkan oleh masyarakat. Dalam upacara Maras Taun, akan disajikan dua macam lepat, yakni sebuah lepat berukuran besar dengan berat sekitar 25 kilogram, dan lepat berukuran kecil berjumlah 5.000 buah. Lepat besar akan dipotong oleh pemimpin setempat ataupun tamu kehormatan, yang kemudian dibagi-bagikan kepada warga setempat. Pemotongan dan pembagian lepat ini merupakan simbol dari seorang pemimpin yang harus melayani warganya. Setelah itu, masyarakat setempat akan berebut untuk mengambil lepat-lepat kecil. Berebut lepat merupakan simbol kegembiraan warga atas hasil panen dan tangkapan ikan yang baik.


Berebut Lepat
C. Lokasi

Maras Taun dapat disaksikan di Desa Selat Nasik, Pulau Mendanau, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Indonesia.
D. Akses

Untuk menuju Desa Selat Nasik, Pulau Mendanau, pengunjung dapat menaiki perahu dari pelabuhan Tanjung Pandan, Ibu Kota Kabupaten Belitung. Pelayaran yang memakan waktu sekitar 2—3 jam ke arah barat ini, akan dikenai biaya sebesar Rp 15.000,00—Rp 20.000,00 per orang (Oktober 2008). Kapal dari Tanjung Pandan ke Pulau Mendanau ini dapat mengangkut penumpang antara tiga hingga empat kali dalam sehari. Namun, jika cuaca sedang tidak bagus, dalam sehari kapal hanya akan mengangkut penumpang sekali.
E. Harga Tiket

Untuk melihat upacara ini, pengunjung tidak dikenakan biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di Pulau Mendanau, belum ada fasilitas penginapan. Namun, bagi pengunjung yang ingin mengikuti keseluruhan rangkaian acara Maras Taun yang memakan waktu tiga hari tersebut, dapat menginap di rumah penduduk. Penduduk di pulau ini sangat bersahabat dan menerima dengan tangan terbuka pengunjung yang butuh penginapan.

Upacara Buang Jong

Upacara Buang Jong

A. Selayang Pandang

Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya, selama ratusan tahun, menetap di lautan. Baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan, dan hanya melaut jika ingin mencari hasil laut.

Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang di dalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal). Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yakni antara bulan Agustus—November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyarakat suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka selama mengarungi lautan untuk menangkap ikan.

Keseluruhan proses ritual Buang Jong dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam. Upacara ini sendiri diakhiri dengan melarung miniatur kapal bersama berbagai macam sesaji ke laut. Pascapelarungan, masyarakat suku Sawang dilarang untuk mengarungi lautan hingga tiga hari ke depan.
B. Keistimewaan

Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yakni prosesi menghubungi atau mengundang mahkluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang. Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.

Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan menggoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa, ke empat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan, untuk ikut bergabung dalam ritual Buang Jong. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut jitun.

Selain Tarian Ancak, Tari Sambang Tali juga dijadikan salah satu rangkaian acara dalam upacara Buang Jong. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukkan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan hilang arah, burung ini pula yang menunjukkan jalan pulang menuju daratan.

Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual Numbak Duyung, yakni mengikatkan tali pada sebuah pangkal tombak, seraya dibacakan mantra. Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, hingga konon dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Karena itu pula ritual ini disebut dengan Numbak Duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon, jika ikan yang didapat banyak, maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut.

Setelah itu, Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli jong. Pada acara ini, orang darat (penduduk sekitar perkampungan suku Sawang) turut dilibatkan. Karena, jual beli di sini tidak dilakukan dengan menggunakan uang, namun lebih kepada pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta agar orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yakni menyanyikan lagu-lagu khas suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambung dengan Nyalui, yaitu mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal melalui nyanyian.
C. Lokasi

Upacara Buang Jong biasanya diadakan di kawasan pantai yang dekat dengan perkampungan suku Sawang. Salah satunya di Tanjung Pendam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Indonesia.
D. Akses

Bagi pengunjung yang berasal dari luar Kabupaten Belitung, sangatlah mudah untuk menuju ke Tanjung Pendam, salah satu lokasi diadakannya Upacara Buang Jong. Karena, Bandar Udara H. A. S. Hanandjoeddin berada di Tanjung Pandan. Dari bandara, pengunjung dapat menyewa motor ataupun mobil yang banyak ditawarkan di sekitar bandara.
E. Harga Tiket

Pengunjung yang ingin melihat langsung upacara Buang Jong, tidak dikenakan biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Pengunjung yang ingin melihat keseluruhan rangkaian Upacara Buang Jong tidak perlu khawatir untuk mencari penginapan. Di sekitar Kecamatan Tanjung Pandan telah berdiri beberapa hotel. Selain itu, pengunjung juga akan dengan mudah menemui beberapa bank pemerintah dan mesin ATM, jika kehabisan uang selama di Tanjung Pandan. Untuk kemudahan komunikasi, beberapa operator selular nasional telah membuka jaringan di sana.

Upacara Adat Aruh Baharin

Upacara Adat Aruh Baharin

A. Selayang Pandang

Bagi sebagian masyarakat di Nusantara, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari bertani padi, musim panen adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Selain bermakna ekonomi, musim panen padi juga mengandung makna spritual. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat menggelar ritual-ritual tertentu atau upacara-upacara khusus sebelum atau sesudah musim panen padi tiba. Salah satunya adalah upacara adat Aruh Baharin yang digelar oleh masyarakat Dayak yang berdomisili di Desa Kapul, Kecamatan Halongan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Biasanya, upacara dipusatkan di balai adat, rumah adat, atau di tempat-tempat khusus yang sengaja dibuat untuk keperluan upacara adat Aruh Baharin.

Pada awalnya, Aruh Baharin merupakan upacara adat yang dihelat oleh masyarakat Dayak Halongan pemeluk agama Kaharingan (agama suku Dayak) setelah musim panen padi ladang (pahumaan) usai. Tujuan digelarnya upacara ini adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen padi ladang yang melimpah, sekaligus penghormatan terhadap arwah leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari berbagai marabahaya. Mereka meyakini, beras hasil panen (baras hanyar) belum boleh dimakan, sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini juga digunakan untuk mensyukuri hasil usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, nelayan, dan lain sebagainya. Begitu pula pelaksanaannya, yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat Dayak pemeluk agama Kaharingan, tapi juga diikuti oleh pemeluk dari berbagai agama yang terdapat di Desa Kapul. Bahkan, upacara adat ini juga dihadiri oleh masyarakat yang berada di sekitar Desa Kapul, serta tokoh masyarakat dan pemuka adat dari kabupaten dan provinsi lain di Pulau Kalimantan yang sengaja diundang untuk menghadiri upacara ini.

Biasanya, pada upacara yang digelar selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut ini disembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Upacara adat tersebut juga dilengkapi dengan berbagai keperluan-keperluan lainnya, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pihak penyelenggara maupun yang berhubungan dengan kelengkapan upacara itu sendiri, yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Agar tidak terlalu memberatkan, biaya untuk pelaksanaan upacara ini ditanggung bersama oleh kelompok masyarakat adat yang terdapat di Desa Kapul. Di desa tersebut terdapat tiga kelompok masyarakat adat, di mana setiap kelompok adat biasanya terdiri dari 25 sampai 30 kepala keluarga. Selain itu, untuk meringankan pihak penyelenggara, upacara adat Aruh Baharin belakangan ini digelar tiga tahun sekali dan bahkan lima tahun sekali.

B. Keistimewaan

Upacara adat yang digelar selama tujuh hari tujuh malam ini terdiri dari tiga tahapan. Tahapan pertama adalah tahapan persiapan. Pada tahapan ini, kaum perempuan berbagi tugas dengan kaum laki-laki untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kelengkapan upacara. Kaum perempuan bertugas membersihkan dan membasuh beras, membuat ketupat, memasak lemang, dan memasak sayur untuk keperluan upacara. Selama proses ini, kaum perempuan diwajibkan mengenakan tapih bahalai, yakni batik khas untuk perempuan dari daerah tersebut. Sedangkan kaum laki-laki mempersiapkan tempat pemujaan dan menghiasnya, mencari kayu bakar, dan memasak nasi. Selama acara berlangsung, kaum laki-laki diharuskan mengenakan sentana parang dan mandau yang diselipkan di pinggang.

Tahapan kedua adalah pemanggilan arwah leluhur agar mereka ikut menghadiri dan merestui upacara. Tahapan yang dipimpin oleh beberapa orang balian (tokoh spritual masyarakat Dayak) ini dilaksanakan pada malam ketiga hingga malam keenam. Para balian menari (batandik) mengelilingi tempat pemujaan sembari diiringi dengan bunyi-bunyian dari gendang dan gong. Untuk memanggil arwah para leluhur, para balian tersebut akan menggelar beberapa ritual. Pertama, ritual Balai Tumarang. Ritual pembuka ini ditujukan untuk memanggil sejumlah arwah yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah tersebut, termasuk arwah para raja dari Pulau Jawa. Kedua, ritual Sampan Dulang atau ritual Kelong. Ritual ini bertujuan memanggil arwah leluhur orang Dayak, yakni Balian Jaya atau yang juga populer dengan nama Nini Uri. Ketiga, ritual Hyang Lembang. Yakni memanggil arwah raja-raja dari Kerajaan Banjar pada masa lampau. Keempat, ritual Dewata. Ritual ini berisi kisah tentang Datu Mangku Raksa Jaya yang berhasil menembus alam dewa dengan cara bertapa. Kelima, ritual Hyang Dusun. Yakni mengisahkan beberapa raja Dayak yang mampu memimpin sembilan benua atau sembilan pulau.

Tahapan ketiga merupakan puncak upacara adat Aruh Baharin. Pada hari terakhir ini ditampilkan berbagai atraksi kesenian khas masyarakat Dayak. Yang ditunggu-tunggu para pengunjung adalah proses penyembelihan hewan (hadangan) berupa beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam yang dipimpin oleh para balian. Uniknya, warga saling memperebutkan darah hewan-hewan tersebut dan kemudian mengoleskannya ke tubuh masing-masing. Mereka meyakini, darah hewan tersebut dapat memberikan keselamatan. Sebagian dari daging hewan tersebut dimasak untuk dimakan bersama-sama dan sebagiannya lagi dimasukkan ke dalam miniatur perahu naga, rumah adat, dan tempat sesajian (ancak) yang digunakan untuk sesaji. Sebelum dilarungkan ke Sungai Balangan, sesaji tersebut terlebih dahulu diludahi oleh semua anggota kelompok masyarakat adat yang bertindak sebagai penyelenggara upacara dan kemudian diberkati (mamangan) oleh para balian. Ini merupakan simbol untuk membuang segala yang buruk dan supaya mereka terhindar dari berbagai malapetaka.
C. Lokasi

Upacara Aruh Baharin dihelat di Desa Kapul, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.

C. Akses

Dari Kota Banjarmasin, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, Desa Kapul berjarak sekitar 250 kilometer. Bagi wisatawan yang berada di Kota Banjarmasin, dapat menuju Kota Paringin, Ibu Kota Kabupaten Balangan, dengan naik bus atau travel. Dari Kota Paringin, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik bus menuju Desa Kapul, lokasi upacara adat Aruh Baharin digelar.

D. Harga Tiket

Pengunjung yang ingin menyaksikan upacara adat ini tidak dipungut biaya.

E. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Selama upacara adat Aruh Baharin berlangsung, terdapat berbagai pedagang yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan, minuman, dan cenderamata khas masyarakat Dayak. Di sana juga tersedia homestay, sehingga dapat digunakan oleh wisatawan yang ingin menginap.

Sedangkan bagi wisatawan yang ingin memperoleh akomodasi dan fasilitas yang lumayan lengkap, dapat menemukannya di Kota Paringin, Ibu Kota Kabupaten Balangan. Di kota tersebut terdapat rumah makan, kios wartel, masjid, mushola, gereja, pasar, pusat oleh-oleh dan cenderamata, serta hotel dan wisma dengan berbagai tipe.

Upacara Adat Macceratasi

A. Selayang Pandang

Macceratasi adalah sebutan untuk pesta atau upacara adat menumpahkan darah hewan ke laut yang biasa dilakukan oleh masyarakat pesisir Kotabaru, Kalimantan Selatan. Masyarakat pesisir Kotabaru umumnya terdiri dari beberapa suku, yaitu Bugis, Mandar, Banjar, dan Bajau atau Bajo. Penduduk Kotabaru ini biasanya mengadakan Upacara Adat Macceratasi setiap menjelang tahun baru Masehi (sekitar bulan Desember) di Pantai Gedambaan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah penghidupan dari laut.

Upacara ini memiliki kemiripan dengan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan di Nusantara, seperti Hajat Laut di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, Festival Galesong di Takalar, Sulawesi Selatan, Petik Laut di Malang, Jawa Timur, serta Festival Samboja di Samboja, Kalimantan Timur. Umumnya, rasa syukur para nelayan atas berkah rezeki dari laut diwujudkan dengan upacara melarungkan benda, makanan, atau bagian tubuh hewan (seperti kepala atau darah hewan) ke tengah laut. Hal ini dilakukan sebagai simbol memberikan “makanan” bagi laut, dengan harapan laut akan selalu menjamin rezeki para nelayan yang menggantungkan hidup darinya.
B. Keistimewaan

Upacara Adat Macceratasi dilaksanakan selama dua hari. Wisatawan dapat mengikuti rentetan acara mulai dari upacara Tampung Tawar, penyembelihan hewan, pelepasan berbagai macam sajian ke laut, hingga hiburan berupa kesenian dan beladiri tradisional.

Pada hari pertama, sebelum ritual inti yakni menyembelih dan menumpahkan darah hewan ke laut, masyarakat setempat dipimpin oleh seorang tokoh adat mengadakan upacara Tampung Tawar, yaitu upacara memanjatkan doa kepada Tuhan. Dalam prosesi ini, seorang tokoh adat memimpin doa dengan duduk di antara sesaji yang terdiri dari berbagai bahan pokok mentah seperti beras, kelapa, gula, ayam yang masih hidup, dan air kembang.


Seorang tokoh adat sedang memimpin doa
Sumber foto: cybertravel.cbn.net.id

Setelah doa selesai, tokoh adat akan memercik-mercikkan air kembang kepada khalayak yang hadir sebagai simbol memohon berkah dan keselamatan. Upacara kemudian dilanjutkan dengan menyembelih hewan, antara lain kerbau, kambing, dan ayam. Darah dari hewan-hewan ini ditampung untuk kemudian ditumpahkan ke laut, sementara dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri upacara.

Usai menumpahkan darah ketiga hewan tersebut, upacara dilanjutkan dengan hiburan berupa kesenian dan beladiri tradisional, seperti hadrah, pencak silat, dan meniti di atas seutas tali. Salah satu hiburan yang cukup digemari oleh masyarakat setempat adalah atraksi meniti di atas tali yang biasa dipertunjukkan oleh anggota masyarakat dari suku Bajau. Dalam atraksi ini, salah seorang anggota suku Bajau akan mempertontonkan kebolehannya meniti seutas tali yang diikatkan di antara dua buah kayu atau pohon di tepi pantai. Orang tersebut akan menunjukkan kemahirannya mengatur keseimbangan sembari memeragakan gerakan silat, menari, atau tiduran di atas tali.


Seorang anggota suku Bajau sedang unjuk kebolehan meniti di atas tali
Sumber foto: garudamagazine.com

Pada hari kedua, dilakukan ritual melepas miniatur bagang, yaitu perangkat menangkap ikan berupa jaring yang dipasang di antara bambu-bambu penyangga di tengah laut. Di dalam miniatur bagang ini diletakkan berbagai makanan yang sudah matang untuk dilarung ke laut. Pelepasan bagang ini juga merupakan ungkapan terima kasih akan karunia Tuhan yang telah memberikan kekayaan laut yang melimpah. Selain mengikuti rangkaian Upacara Adat Macceratasi, wisatawan juga dapat menikmati panorama Pantai Gedambaan yang merupakan obyek wisata andalan Kabupaten Kotabaru.


Melepas miniatur bagang ke tengah laut
Sumber foto: cybertravel.cbn.net.id
C. Lokasi

Upacara Adat Macceratasi dilaksanakan di Pantai Gedambaan, Desa Gedambaan, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
D. Akses

Kotabaru terletak di ujung utara Pulau Laut, yaitu salah satu pulau besar di tenggara Kalimantan. Dari Ibu Kota Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Kotabaru terletak sekitar 350 kilometer dengan kondisi jalan yang kurang mulus. Wisatawan yang menggunakan bus, bus mini, atau mobil carteran akan menghabiskan waktu sekitar 9—10 jam untuk sampai di pelabuhan penyeberangan. Perjalanan darat ini akan dilanjutkan dengan menyeberangi laut menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Tanjung Serdang, Kotabaru. Dari Pelabuhan ini, perjalanan darat menuju Kotabaru masih memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan jarak sekitar 40 kilometer.

Selain perjalanan darat, jika memilih transportasi laut, wisatawan dapat pula memanfaatkan penyeberangan dari Pelabuhan Batulicin (Kabupaten Tanah Bumbu) menuju Pelabuhan Tanjung Serdang (Kotabaru). Pelabuhan Batulicin merupakan salah satu pelabuhan utama di Kalimantan Selatan yang melayani pelayaran dari dan ke pelabuhan-pelabuhan besar di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa.

Apabila memanfaatkan jasa pesawat udara, wisatawan dapat melakukan transit terlebih dahulu di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin (Kalimantan Selatan) atau Bandara Sepinggan Balikpapan (Kalimantan Timur) sebelum menuju Bandara Stagen Kotabaru. Dari dua kota ini, saat ini telah ada layanan pesawat jenis Fokker yang dapat mengangkut sekitar 48 penumpang dengan rute Banjarmasin-Kotabaru-Balikpapan dan rute Balikpapan-Kotabaru-Banjarmasin. Pesawat tersebut melayani penerbangan setiap hari dengan waktu tempuh dari Banjarmasin—Kotabaru atau dari Balikpapan—Kotabaru sekitar 30 menit. Dari Banjarmasin pesawat tersebut berangkat sekitar pukul 07.15 WITA, semetara dari Balikpapan sekitar pukul 13.30 WITA.

Dari Kotabaru, wisatawan dapat menuju Pantai Gedambaan yang terletak sekitar 14 kilometer dengan menggunakan angkutan umum atau mobil sewaan.
E. Harga Tiket

Menyaksikan Upacara Adat Macceratasi tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Pantai Gedambaan saat ini telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti penginapan (cottage), mushola, fasilitas pemancingan, warung makan, kolam renang, panggung terbuka untuk pertunjukan seni dan hiburan lainnya, tempat duduk di tepi pantai, serta area parkir yang cukup luas.

Pesta Adat Mallassuang Manu

A. Selayang Pandang

Apabila Anda berkunjung ke Kotabaru, Kalimantan Selatan, antara bulan Maret—April, ada baiknya jika Anda mengikuti Pesta Adat Malassuang Manu, ritual khas kaum muda mudi suku Mandar yang berdomisili di Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mallassuang Manu adalah sebutan bagi ritual adat melepas beberapa pasang ayam jantan dan betina sebagai bentuk permohonan meminta jodoh kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pesta adat yang juga telah menjadi event wisata ini dilakukan secara turun temurun di Pulau Cinta, sebuah pulau kecil yang konon berbentuk hati dan berjarak sekitar dua mil dari Pulau Laut, pulau terbesar di perairan tenggara Kalimantan yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Pulau Cinta memiliki luas sekitar 500 m2 dan hanya terdiri dari batu-batu besar dan sejumlah pohon di dalamnya.

Dalam pesta adat yang unik ini, para peserta berangkat secara bersama-sama dari Pulau Laut (Kotabaru) menuju Pulau Cinta dengan menggunakan perahu. Sesampainya di Pulau Cinta, pesta adat melepas sepasang ayam jantan dan betina dilaksanakan dengan disaksikan oleh ribuan penonton.


Perjalanan menuju Pulau Cinta (kiri), dan para pengunjung yang mengikuti Pesta Adat Malassuang Manu (kanan)
B. Keistimewaan

Keinginan agar mudah mencari jodoh dapat melahirkan ekspresi budaya yang khas. Kekhasan itulah yang dapat disaksikan dalam Pesta Adat Malassuang Manu. Ritual utama dalam upacara ini, yaitu melepas ayam jantan dan betina, dilaksanakan di atas sebuah batu besar yang bagian tengahnya terbelah sepanjang kira-kira 10 meter. Dari atas batu itu, sepasang ayam tersebut dilemparkan sebagai tanda permohonan kepada Tuhan supaya dimudahkan dalam mencari jodoh.

Usai melepas sepasang ayam tersebut, para muda-mudi ini kemudian mengikatkan pita atau tali rafia (yang di dalamnya telah diisi batu atau sapu tangan yang indah) di atas dahan atau ranting pepohonan yang terdapat di Pulau Cinta. Hal ini sebagai perlambang, apabila kelak memperoleh jodoh tidak akan terputus ikatan tali perjodohannya sampai maut menjemput.

Kelak, pita atau tali rafia tersebut akan diambil kembali bila permohonan untuk bertemu jodoh telah terkabul. Pasangan yang telah berjodoh ini akan kembali ke Pulau Cinta untuk mengambil pita atau tali rafia tersebut dengan menggunakan perahu klotok yang dihias dengan kertas warna-warni. Makanan khas yang selalu menjadi hidangan dalam ritual kedua ini adalah sanggar (semacam pisang goreng yang terbuat dari pisang kepok yang dibalut dengan tepung beras dan gandum dengan campuran gula dan garam), serta minuman berupa teh panas.

Pasangan ini akan diiringi oleh sanak saudara untuk mengadakan selamatan. Usai memanjatkan doa, mereka kemudian melepaskan pita atau tali rafia yang dulu diikatkan di dahan atau ranting pohon untuk disimpan sebagai bukti bahwa keinginannya telah terkabul. Selain itu, ritual kedua ini juga merupakan permohonan supaya dalam kehidupan selanjutnya selalu dibimbing menjadi keluarga yang sejahtera.

Pesta adat yang pelaksanaannya didukung oleh pemerintah daerah setempat ini juga dimeriahkan oleh tari-tarian adat dan berbagai macam perlombaan, seperti voli, sepakbola, dan lain-lain. Berbagai event lomba tersebut biasanya akan memperebutkan trophy Bupati Kotabaru atau Gubernur Kalimantan Selatan.


Tarian penyambutan oleh gadis-gadis Mandar (kiri), dan pertandingan sepakbola (kanan)
C. Lokasi

Pesta adat Mallassuang Manu diselenggarakan di Teluk Aru dan Pulau Cinta, Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Indonesia.
D. Akses

Ibu Kota Kabupaten Kotabaru terletak di ujung utara Pulau Laut. Dari Ibu Kota Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Kotabaru terletak sekitar 350 kilometer dengan kondisi jalan yang kurang mulus. Wisatawan yang menggunakan bus, bus mini, atau mobil carteran akan menghabiskan waktu sekitar 9—10 jam untuk sampai di pelabuhan penyeberangan. Perjalanan darat ini akan dilanjutkan dengan menyeberangi laut menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Tanjung Serdang, Kotabaru. Dari Pelabuhan ini, perjalanan darat menuju Kotabaru masih memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan jarak sekitar 40 kilometer.

Selain perjalanan darat, jika memilih transportasi laut, wisatawan dapat pula memanfaatkan penyeberangan dari Pelabuhan Batulicin (Kabupaten Tanah Bumbu) menuju Pelabuhan Tanjung Serdang (Kotabaru). Pelabuhan Batulicin merupakan salah satu pelabuhan utama di Kalimantan Selatan yang melayani pelayaran dari dan ke pelabuhan-pelabuhan besar di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa.

Apabila memanfaatkan jasa pesawat udara, wisatawan dapat melakukan transit terlebih dahulu di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin (Kalimantan Selatan) atau Bandara Sepinggan Balikpapan (Kalimantan Timur) sebelum menuju Bandara Stagen Kotabaru. Dari dua kota ini, saat ini telah ada layanan pesawat jenis Fokker yang dapat mengangkut sekitar 48 penumpang dengan rute Banjarmasin-Kotabaru-Balikpapan dan rute Balikpapan-Kotabaru-Banjarmasin. Pesawat tersebut melayani penerbangan setiap hari dengan waktu tempuh dari Banjarmasin—Kotabaru atau dari Balikpapan—Kotabaru sekitar 30 menit. Dari Banjarmasin pesawat tersebut berangkat sekitar pukul 07.15 WITA, semetara dari Balikpapan sekitar pukul 13.30 WITA.


Perahu-perahu Nelayan di Teluk Aru sengaja tidak melaut untuk
mengantarkan para peserta menuju Pulau Cinta

Dari Teluk Aru di Kotabaru, wisatawan dapat menuju Pulau Cinta menggunakan perahu nelayan bersama-sama dengan peserta Pesta Adat Mallassuang Manu lainnya. Perjalanan dari Teluk Aru ini memakan waktu sekitar 30 menit. Perayaan pesta adat ini biasanya berlangsung meriah, sehingga wisatawan tak perlu khawatir dengan ketersediaan perahu, sebab perahu-perahu tersebut akan dikoordinasikan oleh panitia untuk menuju Pulau Cinta.
E. Harga Tiket

Wisatawan yang mengikuti Pesta Adat Malassuang Manu tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Pulau Cinta sebagai lokasi perayaan Pesta Adat Malassuang Manu belum memiliki fasilitas akomodasi yang memadai. Oleh sebab itu, jika wisatawan memerlukan penginapan, restoran, warung telepon, rumah ibadah, dan sebagainya dapat memperolehnya di Kotabaru. Selain menyaksikan pesta adat ini, wisatawan juga dapat mengunjungi obyek wisata andalah kabupaten Kotabaru, yaitu Pantai Gedambaan.

Tradisi Ujungan

A. Selayang Pandang

Ujungan adalah tradisi minta hujan yang berkembang di Banyumas, Jawa Tengah. Tradisi tahunan ini merupakan olahraga bela diri adu pukul yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dewasa dengan menggunakan peralatan berupa sebilah rotan sebagai alat pemukulnya. Ritual yang dipimpin oleh seorang Wlandang (wasit) ini, biasanya diselenggarakan pada saat musim kemarau panjang. Pada musim ini para petani sangat membutuhkan air untuk mengairi sawah-sawahnya dan juga untuk memberi minum binatang ternak piaraannya seperti sapi, kerbau, kambing, dan lain sebagainya.

Konon, untuk mempercepat datangnya hujan, pemain Ujungan harus memperbanyak pukulan kepada lawannya hingga mengeluarkan darah. Dengan semakin banyaknya darah yang keluar akibat pukulan, maka semakin cepat pula hujan akan turun. Tradisi yang diselenggarakan pada mangsa kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau ini, pesertanya adalah orang laki-laki dewasa yang memiliki kemampuan menahan rasa sakit akibat pukulan rotan maupun menahan sakit saat terjadi benturan dengan lawan.

Menurut pengakuan masyarakat setempat, tradisi Ujungan ini muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Di masa itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan kepada Tuhan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi Ujungan ini kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang pemberani.

Kemudian pada tahun 1950-an, tradisi Ujungan berkembang sebagai ajang pencarian pendekar beladiri. Barang siapa yang dapat memenangkan pertarungan Ujungan ini, maka status sosialnya di masyarakat akan naik. Atas dasar itulah banyak orang yang berminat menjadi pemain Ujungan, baik dari Banyumas maupun daerah-daerah lain di sekitarnya. Bahkan tradisi ini juga diminati oleh para pendekar silat dari daerah Betawi, Tanjung Priok, Cakung, Tambun, Cikarang, dan lain-lain.

Seiring dengan berjalannya waktu, tradisi Ujungan kini hanya berkembang sebagai seni pertunjukan hiburan biasa. Walaupun demikian, ketentuan-ketentuan peraturan permainan Ujungan masih tetap mengacu pada Ujungan zaman awal munculnya tradisi ini, baik rotan yang dipakai sebagai alat pukul maupun Wlandang pertunjukan. Rotan yang dipakai harus memiliki tingkat kelenturan yang cukup baik, dengan panjang sekitar 40—125 cm dan diameter sekitar 1,5 cm. Ketentuan rotan yang dipersyaratkan seperti ini bertujuan untuk mengurangi rasa pedih bila disabetkan ke tubuh. Sedangkan seorang Wlandang harus memiliki keterampilan ilmu beladiri yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar apabila suatu saat salah satu pemain Ujungan tidak puas dengan hasil keputusan wasit dan mencoba untuk melawan wasit, maka wasit harus berani menerima tantangan itu.
B. Keistimewaan

Ujungan merupakan ritual tradisi yang menggabungkan tiga jenis seni, yaitu seni musik (Sampyong), seni tari-silat (Uncul), dan seni bela diri tongkat (Ujungan). Keistimewaan lain yang terdapat pada Tradisi Ujungan ialah terdapatnya sikap menjunjung tinggi nilai sportivitas, persaudaraan, rasa nasionalisme, dan semangat patriotisme sebagai generasi penerus bangsa.

Pertunjukan Ujungan selalu diiringi dengan musik yang disebut Sampyong, yaitu alat musik semacam gambang yang terbuat dari kayu yang dipotong-potong. Semakin pendek ukuran potongan kayu tersebut semakin tinggi pula nada yang dihasilkan. Potongan kayu ini kemudian ditata di atas bambu yang melintang. Nada Samyong ini cukup nyaring karena merupakan hasil dari suara yang dipantulkan oleh bambu yang melintang itu. Sedangkan seni tari-silat Uncul adalah pertunjukan pendahuluan sebelum Ujungan dimulai. Pertunjukan Uncul dalam Ujungan ini sering juga disebut dengan pengibing (pertunjukan pengiring yang mendahului pertandingan). Pemain Uncul merupakan pemain pertama yang akan bertanding di Ujungan. Pertunjukan Uncul ini dimulai dengan gerakan pemain Uncul yang berputar-putar menantang para penonton untuk diajak bertanding. Kemudian penonton yang hendak menjadi lawan pemain Uncul merupakan calon pemain kedua dalam pertandingan Ujungan. Penonton yang menerima tantangan itu kemudian masuk ke dalam arena pertunjukan, dari adegan inilah kemudian Ujungan dimulai.

Ujungan biasanya dimainkan oleh sepasang laki-laki dewasa, namun tak jarang juga dimainkan oleh lima pasang pemain sekaligus. Tradisi ini juga mempunyai peraturan-peraturan permainan yang tidak boleh dilanggar. Peraturan itu di antaranya, pemain Ujungan hanya diperbolehkan melakukan pukulan pada bagian pinggang ke bawah kecuali pada alat kelamin. Sasaran pukul yang dianjurkan adalah tulang kering dan mata kaki. Hal ini dimaksudkan agar para peserta Ujungan tidak mendapat luka yang membahayakan. Kemenangan dalam pertarungan ini dinilai dari banyaknya bekas luka yang terdapat pada tubuh. Semakin banyak bekas pukulan yang terdapat pada tubuh pemain itu, maka kecenderungan kalah semakin besar.
C. Lokasi

Ritual Tradisi Ujungan terdapat di Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses

Untuk menuju Kabupaten Banyumas, perjalanan dapat dimulai dari Purwokerto. Dari Terminal Purwokerto sampai ke Banyumas, biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan menggunakan angkutan umum (bus). Setelah sampai di Banyumas, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan dengan naik angkutan kota menuju lokasi pertunjukan.
E. Harga Tiket

Untuk dapat menyaksikan Tradisi Ujungan, setiap pengunjung tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Berkunjung ke Banyumas, pelancong tidak usah khawatir karena di kota ini terdapat banyak fasilitas seperti hotel, restoran, minimarket, warung telekomunikasi, pasar, dan lain sebagainya. Selain itu, bagi pengunjung yang ingin menikmati masakan khas Banyumas seperti pencok lele, terdapat banyak pedagang masakan khas ini yang tersebar di setiap sudut kota, dengan harga yang cukup murah.

Upacara Adat Kololi Kie

A. Selayang Pandang

Jika berkesempatan mengunjungi Kota Ternate, pulau seluas 5.681,30 km2 yang kini menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, ada baiknya Anda menyaksikan Upacara Adat Kololi Kie. Menurut bahasa setempat, Kololi Kie memiliki arti “keliling gunung”. Jadi, upacara adat ini merupakan ritual mengelilingi sebuah gunung di Pulau Ternate, yaitu Gunung Gamalama. Gunung Gamalama merupakan gunung aktif dengan ketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut (dpl) yang menjadi ikon pulau penghasil cengkeh ini.

Menurut situs bkpmd.malutprov.go.id, Upacara Adat Kololi Kie biasanya diadakan apabila terdapat gejala alam yang menandai bakal meletusnya Gunung Gamalama, yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat Ternate. Namun pada perkembangannya, selain untuk menghormati keberadaan Gunung Gamalama, upacara adat ini juga menjadi ritual pihak kesultanan dalam menghormati leluhur-leluhur mereka.

Ancaman yang ditimbulkan oleh sebuah gunung terkadang dapat melahirkan satu tradisi yang khas. Menurut Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), di beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah Maluku Utara, gunung dianggap sebagai representasi penguasa alam. Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Dalam perspektif ini, Upacara Kololi Kie merupakan upaya untuk menjauhkan masyarakat Ternate dari berbagai ancaman bencana.
B. Keistimewaan

Upacara Adat Kololi Kie dimulai dari jembatan kesultanan (semacam pelabuhan) yang dikenal dengan nama Jembatan Dodoku Ali. Sebelum rombongan sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) menaiki perahu masing-masing. Perahu sultan dan para pembesar kerajaan memiliki ukuran yang lebih besar dengan bentuk menyerupai naga dan dihiasi kertas serta bendera kebesaraan kesultanan. Sementara perahu-perahu yang lebih kecil (kora-kora) dinaiki oleh para kepala soa dan masyarakat umum.

Pelayaran perahu dimulai dengan mengelililingi perahu sultan sebanyak tiga kali. Setelah itu, dipimpin oleh perahu naga yang ditumpangi sultan, iring-iringan tersebut mulai mengelilingi Pulau Ternate melalui arah utara. Untuk meramaikan suasana, tiap perahu dilengkapi dengan berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (alat musik gesek). Dalam perjalanan mengililingi Gunung Gamalama, rombongan perahu akan berhenti di tiga tempat untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan.


Iring-iringan perahu mengelilingi Gunung Gamalama

Selain berhenti di tiga tempat, sultan juga akan dijamu dalam upacara Joko Kaha, yaitu upacara penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat adat di tepi Pantai Ake Rica. Setelah perahu-perahu merapat di tepi pantai, sultan dan permaisuri akan turun untuk mencuci kaki, lalu disambut secara adat oleh para tetua desa dan disuguhi berbagai hidangan lezat, seperti nasi kuning, ayam bakar, serta ikan bakar. Upacara penyambutan rombongan ini diiringi oleh alunan berbagai alat musik pukul dan gesek tradisional. Suguhan ini menggambarkan pengakuan masyarakat Ternate terhadap kebesaran sultan dan kerajaannya.

Setelah menikmati hidangan yang ada, sultan dan permaisuri beserta rombongan lainnya melanjutkan pelayaran mengelilingi Gunung Gamalama. Selama perjalanan, peserta Kololi Kie akan memperoleh sambutan meriah dari masyarakat yang menyaksikan iring-ringan perahu dari tepi pantai. Tak hanya itu, pemandangan indah laut Ternate yang tenang, pulau-pulau kecil di sekitar Ternate, serta keanggunan Gunung Gamalama tak akan mudah dilupakan oleh mereka yang mengikuti pelayaran sakral ini. Perjalanan selama kurang lebih empat jam ini kemudian berakhir dan kembali ke Jembatan Dodoku Ali.


Masyarakat menunggu kedatangan rombongan perahu di Jembatan Dodoku Ali

Kololi Kie dilaksanakan dalam rangkaian acara Festival Legu Gam Moloku Kie Raha, yaitu pada bulan April menjelang ulang tahun Sultan Ternate (Sultan Mudaffar Sjah). Dalam festival ini, selain dapat mengikuti pelayaran Kololi Kie, wisatawan juga dapat menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian, karnaval budaya, pameran kerajinan, serta berbagai perlombaan tradisional khas Maluku Utara.
C. Lokasi

Pelaksanaan Upacara Kololi Kie dimulai dari Jembatan Dodoku Ali, di depan Kedaton Sultan Ternate, Kota Ternate, Maluku Utara, Indonesia. Dari jembatan tersebut, upacara mengililingi Gunung Gamalama dimulai hingga kembali lagi ke tempat semula.
D. Akses

Untuk menuju Kota Ternate, wisatawan dapat menempuh perjalanan udara baik dari Ambon, Manado, Makassar, maupun dari Sorong menuju Bandara Sultan Babullah Ternate. Selain jalur udara, wisatawan juga dapat memanfaatkan pelayaran kapal-kapal Pelni dari berbagai pelabuhan di Nusantara yang merapat di Pelabuhan A. Yani Ternate. Selain pelabuhan A. Yani, ada dua pelabuhan lain di Kota Ternate yang melayani pendaratan kapal Ferry, yaitu Pelabuhan Fery serta Pelabuhan Bastiong. Dari bandara maupun pelabuhan laut, wisatawan dapat memanfaatkan angkutan kota atau taksi untuk sampai ke Jembatan Dodoku Ali atau halaman Kedaton Sultan Ternate, lokasi permulaan Upacara Adat Kololi Kie.
E. Harga Tiket

Wisatawan yang ingin mengikuti pelayaran Kololi Kie tidak dipungut biaya. Namun, untuk kepentingan pengaturan jumlah peserta dan kemudahaan koordinasi oleh panitia penyelenggara, ada baiknya sebelum pelaksanaan upacara wisatawan terlebih dahulu menghubungi panitia.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Kota Ternate memiliki berbagai obyek wisata alam, sejarah dan budaya yang beraneka ragam. Khusus untuk obyek wisata sejarah, Pulau Ternate dikenal sebagai salah satu pulau yang memiliki banyak benteng peninggalan kolonial. Oleh sebab itu, jika Anda memiliki waktu yang cukup untuk menjelajah pesona-pesona wisata tersebut, Anda tak perlu khawatir apabila membutuhkan akomodasi dan fasilitas penunjang, sebab di kota ini telah tersedia berbagai tipe penginapan, rumah makan (restoran), serta fasilitas perbankan.

Upacara Adat Hanta Ua Pua

A. Selayang Pandang

Bagi umat Islam, bulan Rabiul Awal merupakan salah satu bulan mulia dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan. Sebab, pada bulan ketiga menurut perhitungan kalender Hijriah (kalender Islam) tersebut adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal. Berbagai ekspresi kebudayaan digelar umat Islam di berbagai belahan dunia untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau yang lebih populer dengan sebutan Maulid Nabi. Salah satunya adalah upacara adat Hanta Ua Pua yang digelar oleh umat Islam di Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia.

Selain untuk memuliakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, upacara adat ini juga bertujuan untuk memperingati masuknya agama Islam ke Bima dan sekaligus menghormati para pembawa agama Islam ke daerah tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Bo` Sangaji Kai, hasil suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999), Islam masuk ke Bima pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H. Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung, yang dewasa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro. Sebagian literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Selain ke Bima, dua datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar agama Islam di Pulau Sulawesi. Bahkan, khusus Datuk Dibanda yang juga populer dengan nama Khatib Tunggal, kondang dalam legenda masyarakat di kawasan Indonesia Timur sebagai tokoh yang mengislamkan raja-raja dari lima kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa, Wajo, Kutai, Gantarang (di Pulau Selayar), dan Bima sendiri. Selain menyebarkan agama Islam, keturunan Kerajaan Pagaruyung tersebut juga turut serta membantu mengusir para bajak laut dari Teluk Bima yang kerap mengancam keamanan Kerajaan Bima.

Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, seperti dilansir http://www2.kompas.com, Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu, sultan Kerajaan Bima pertama, menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas kepada keduanya. Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai tempat tinggal kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat, penghuni kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya perkampungan tersebut diberi nama Kampung Melayu. Sampai sekarang pun, perkampungan yang berada di tengah-tengah Kota Bima ini tetap dihuni oleh keturunan Melayu yang masih mempertahankan adat-istiadat Melayu dan teguh memeluk agama Islam.

Konon, sebagaimana dilansir http://bima-mbojo.blogspot.com, upacara adat Hanta Ua Pua telah dilaksanakan oleh kerajaan dan masyarakat Bima sejak empat abad silam. Pada saat itu, upacara resmi Kerajaan Bima ini dihelat saban tahun dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, upacara sakral ini menjadi ajang silaturahmi antarsuku bangsa. Namun, upacara ini terhenti tatkala Perang Dunia II meletus. Setelah Indonesia merdeka, karena menimbang nilai-nilai historis dan religius yang terkandung di dalamnya, pihak Kerajaan Bima berinisiatif menghidupkan kembali upacara ini pada tahun 1950-an. Namun, perhelatan upacara adat tersebut terasa hambar dan kesakralannya kian tergerus. Sebagaimana diketahui, tahun 1950-an adalah masa transisi politik dari kerajaan menuju swapraja yang sarat dengan intrik politik dan konflik kepentingan. Setelah tahun 1950-an, upacara adat Hanta Ua Pua pernah digelar pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan tahun 2003. Kendati demikian, tetap saja jauh dari kesan semarak, apalagi khidmat. Setelah era reformasi dan otonomi daerah bergulir, upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya. Apalagi, upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.
B. Keistimewaan

Semarak, atraktif, dan khidmat. Demikianlah kira-kira kesan para pengunjung ketika menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua yang dihelat oleh masyarakat yang mendiami daerah yang juga dikenal dengan nama Dana Mbojo itu. Sebab, selama prosesi upacara adat yang sarat dengan simbol-simbol dan nilai-nilai agama Islam ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan perlombaan.

Upacara Hanta Ua Pua dimulai pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WITA. Upacara ini dimulai dari Kampung Melayu dan berakhir di depan istana Kerajaan Bima. Pada sisi kiri dan kanan jalan yang menjadi rute upacara, biasanya penuh sesak oleh masyarakat yang menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua. Mereka terpesona melihat aneka hiasan dan pernak-pernik perlengkapan upacara yang menyimbolkan keagungan agama Islam, kemuliaan adat Melayu, dan kebesaran Kerajaan Bima.


Tari klosal anak-anak
Salah satu yang menjadi daya tarik upacara adat resmi Kerajaan Bima ini, sebagaimana yang dicatat www.sumbawanews.com, adalah iring-iringan Uma Lige. Uma Lige adalah semacam mahligai persegi empat yang dijadikan sebagai tandu untuk membawa penghulu Melayu dari Kampung Melayu hingga serambi Istana Kerajaan Bima. Penghulu Melayu tersebut didampingi oleh empat orang penari perempuan Lenggo Mbojo dan empat orang penari laki-laki Lenggo Melayu. Selain penghulu Melayu dan para penari, di dalam Uma Lige juga terdapat sebuah kitab suci Al-Qur`an dan Ua Pua/Sirih Puan, yaitu 99 tangkai bunga telur aneka warna dan hiasan yang dilengkapi dengan sirih dan pinang. 99 tangkai bunga telur itu melukiskan 99 nama-nama indah Allah SWT, atau Asmaul Husna. Uma Lige ini digotong oleh 44 orang pemuda dari berbagai kelurahan/kampung di Kota Bima, di mana masing-masing sudut Uma Lige akan digotong oleh 11 orang. Konon, 44 orang penggotong tersebut menggambarkan 44 jenis keahlian/profesi masyarakat Bima pada masa lalu. Misalnya, daerah Ngadi kesohor sebagai pencetak guru mengaji Al-Qur`an, kawasan sekitar Bedi terkenal sebagai penghasil tentara, dan lain sebagainya.

Hal lain yang dapat memesona wisatawan adalah parade pasukan berkuda. Pasukan berkuda tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu Jara Wera dan Jara Sara`u. Jara Wera adalah pasukan berkuda yang bertugas untuk mengawal Sultan Bima, sementara Jara Sara`u adalah pasukan berkuda yang digunakan untuk mengawal tamu kehormatan Kerajaan Bima. Konon dulunya, penunggang-penunggang kuda ini adalah para pendekar yang mengantar datuk-datuk dari Makassar yang datang ke Bima melalui Teluk Bima untuk memperkenalkan agama Islam pertama kalinya.


Parade pasukan berkuda
Sesampainya di depan Istana Kerajaan Bima atau yang populer dengan nama Asi Mbojo, pasukan Jara Wera tampil ke depan. Mereka akan memperlihatkan kebolehan menunggang kuda. Setelah itu pasukan Jara Sara`u memasuki arena yang diiringi oleh bala tentara yang dilengkapi dengan pakaian kebesaran prajurit Kerajaan Bima. Mereka melakukan atraksi ketangkasan menggunakan senjata. Suasana kian meriah karena unjuk kebolehan berkuda dan ketangkasan menggunakan senjata ini diakhiri dengan masuknya para penari yang membawakan tari perang.

Setelah atraksi pasukan berkuda selesai, rombongan Uma Lige tampil ke depan. Penghulu Melayu menyerahkan Al-Qur`an kepada Jena Teke/Raja Muda Kerajaan Bima yang merupakan acara inti upacara adat Hanta Ua Pua. Menurut laman www.bimakab.go.id, penyerahan Al-Qur`an ini melambangkan bahwa Kesultanan Bima senantiasa teguh memeluk agama Islam hingga akhir zaman dan masyarakat Bima harus mengamalkan kandungan Al-Qur`an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rangkaian upacara berikutnya adalah penyerahan Ua Pua/Sirih Pinang oleh para penari Lenggo kepada Jena Teke.

Setelah upacara adat Hanta Ua Pua usai, hal lain yang membuat para turis terhibur adalah tatkala menyaksikan para pengunjung berlomba-lomba memperebutkan Ua Pua/Sirih Pinang yang terdiri dari 99 tangkai bunga telur dengan hiasan warna-warni. Mereka meyakini, bahwa bunga-bunga telur tersebut dapat membawah berkah, seperti dimudahkan rezeki oleh Allah SWT dan cepat mendapat jodoh. Kecuali itu, sepanjang perhelatan upacara, para turis juga akan disuguhkan dengan tarian-tarian khas daerah setempat, aneka permainan rakyat, berbagai perlombaan, dan pameran benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Bima.
C. Lokasi

Upacara adat Hanta Ua Pua dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan Bima, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
D. Akses

Bagi wisatawan yang berasal dari luar Kota Bima, dapat memulai perjalanan dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Kota Bima. Dari sini kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Istana Kerajaan Bima/Asi Mbojo, lokasi upacara adat Hanta Ua Pua digelar, dengan menggunakan bus atau menyewa mobil carteran. Perjalanan dari bandara ke istana dapat ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit.
E. Harga Tiket

Para wisatawan yang ingin menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Bagi wisatawan yang berada di luar kota dan ingin menyaksikan rangkaian prosesi upacara adat Hanta Ua Pua secara keseluruhan, dapat menginap di berbagai wisma dan hotel berbagai tipe yang terdapat di Kota Bima. Selain itu, di Kota Bima juga terdapat berbagai akomodasi dan fasilitas lainnya, seperti rumah makan, kios wartel, masjid, museum, toilet umum, area parkir, biro perjalanan, pelabuhan, dan terminal. Selama upacara berlangsung, terdapat warung-warung dan gerai-gerai pameran yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan, minuman, isi ulang pulsa, dan cenderamata khas Bima.
Pesta Bakar Batu

A. Selayang Pandang

Membicarakan tentang Papua rasanya tak pernah ada habisnya. Pulau cantik nan eksotis yang terletak di ujung Timur Indonesia ini memang memiliki pesona alam yang luar biasa. Sebagai contoh, sebut saja pesona wisata bawah laut Perairan Raja Ampat. Kawasan ini memiliki lebih dari 1,070 jenis spesies ikan, 600 jenis spesies terumbu karang, dan 699 jenis moluska. Hal tersebut menjadikan kawasan ini sebagai surga bawah laut bagi para penyelam. Tak hanya itu, Danau Sentani, Danau Paniai, Puncak Jayawijaya, Taman Nasional Lorentz, semuanya menyimpan pesona yang tidak akan cukup diterjemahkan lewat kata-kata.

Selain wilayah dan obyek wisata yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi tempat di Papua yang memiliki keindahan alam yang masih alami, tempat itu adalah Lembah Baliem. Terletak di ketinggian 1.600 dpl, dibingkai hutan belantara dan aliran sungai, serta belum terjamah sentuhan teknologi, menjadikan kawasan ini sebagai tempat yang menyimpan sejuta kisah dan peristiwa. Di tempat ini, suku-suku pedalaman Papua merajut makna hidup keseharian mereka. Suku-suku pedalaman itu masih tinggal di rumah honai, yang pria mengenakan koteka dan wanita berpakaian noken serta bertaskan moge. Di balik itu semua, suku-suku pedalaman ini menyimpan kekayaan tradisi dan budaya yang khas dan unik.

Seperti suku-suku lainnya di Indonesia, suku-suku pedalaman ini juga mempunyai tradisi bersyukur yang unik dan khas. Salah satunya adalah Pesta Bakar Batu. Pesta Bakar Batu merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku.

Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan ‘gapii‘ atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena menyebutnya ‘kit oba isago‘, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan ‘barapen‘. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan (http://www.ferry-lase.net).

Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan saling memaafkan antar-warga.
B. Keistimewaan

Prosesi Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.

Pada saat itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu merupakan pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak langsung mati, diyakini ada yang tidak beres dengan acara tersebut. Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.


Di lain tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan dikeluarkan, sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan. Demikian pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.

Kaum pria yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi. Kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.



Setelah itu, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.

Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di atas, ada orang yang akan mengambil buah merah matang. Buah itu diremas-remas hingga keluar pastanya. Pasta dari buah merah dituangkan di atas daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan di atas hidangan.

Kini tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang dan dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan tersebut. Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah berupa ubi dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat jatah yang sama, baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak. Setelah itu, penduduk pun mulai menyantap makanan tersebut.


Menikmati Sepotong Daging Babi
Sumber Foto: http://noverdianto.multiply.com

Pesta Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta ini.
C. Lokasi

Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia.

Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika sebagai upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah lapangan besar.



D. Akses

Kondisi geografis Papua yang sebagian besar berupa hutan, perbukitan, serta pegunungan, menyebabkan akses menuju lokasi diadakannya menjadi sulit. Bagi Anda yang ingin pergi ke Papua, Anda dapat menggunakan transportasi laut maupun udara. Inilah daftar kapal yang berlayar menuju Papua:

* KM Dorolonda berlayar dari Surabaya, Makassar, Kupang, Ambon, Fakfak, Sorong, Manokwari, Jayapura.
* KM Nggapulu berlayar dari Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Pantolan, Bitung, Ternate, Sorong, Manokwari, Nabire, Serui, Biak, dan Jayapura.
* KM Labobar berlayar dari Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Jayapura.
* KM Sinabung yang berlayar dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Bau-bau, Banggai, Bitung, Ternate, Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Jayapura.

Sedangkan bagi Anda yang ingin menggunakan transportasi udara, Anda dapat menggunakan jasa maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airline (GIA), Merpati Nusantara Airline (MNA), Air Efata, Batavia Air, Express Air, dan Trigana Air dari Jakarta, Surabaya, serta Makassar (http://www.ri.go.id).

Jika sudah sampai di Papua, Anda dapat meneruskan perjalanan menggunakan pesawat-pesawat kecil yang melayani penerbangan ke daerah-daerah pedalaman. Selain itu Anda juga dapat menggunakan mobil off-road sewaan.
E. Harga Tiket

Pengunjung yang ingin menyaksikan pesta ini tidak dipungut biaya. Namun, jika yang didatangi adalah pesta untuk upacara kematian, maka biasanya tamu membawa buah tangan.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Biasanya, Pesta Bakar Batu ini dilaksanakan di tempat-tempat terpencil, oleh karena itu sulit untuk mendapatkan fasilitas yang memadai. Namun, setidaknya di Kota Wamena, telah berdiri beberapa penginapan yang dapat Anda sewa. Untuk masalah makan Anda juga tidak perlu khawatir, karena di kota ini juga terdapat banyak rumah makan.

Untuk transportasi, Anda dapat menggunakan pesawat-pesawat kecil yang melayani penerbangan hingga jauh ke daerah pedalaman. Selain itu, di Kota Wamena juga terdapat penyewaan kendaraan roda empat. Jika Anda tidak memiliki kerabat ataupun kenalan yang bisa memandu Anda, Anda dapat memanfaatkan biro perjalanan yang ada di Kota Wamena.