A. Selayang Pandang
Bagi umat Islam, bulan Rabiul Awal merupakan salah satu bulan mulia dan kedatangannya senantiasa dinanti-nantikan. Sebab, pada bulan ketiga menurut perhitungan kalender Hijriah (kalender Islam) tersebut adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tanggal 12 Rabiul Awal. Berbagai ekspresi kebudayaan digelar umat Islam di berbagai belahan dunia untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, atau yang lebih populer dengan sebutan Maulid Nabi. Salah satunya adalah upacara adat Hanta Ua Pua yang digelar oleh umat Islam di Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Selain untuk memuliakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, upacara adat ini juga bertujuan untuk memperingati masuknya agama Islam ke Bima dan sekaligus menghormati para pembawa agama Islam ke daerah tersebut. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Bo` Sangaji Kai, hasil suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999), Islam masuk ke Bima pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 M, atau bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H. Islam pertama kali dibawa ke Bima oleh dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung, yang dewasa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Dua datuk yang juga berprofesi sebagai saudagar tersebut bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro. Sebagian literatur menyebut keduanya dengan nama Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Selain ke Bima, dua datuk ini juga dikenal sebagai tokoh utama penyebar agama Islam di Pulau Sulawesi. Bahkan, khusus Datuk Dibanda yang juga populer dengan nama Khatib Tunggal, kondang dalam legenda masyarakat di kawasan Indonesia Timur sebagai tokoh yang mengislamkan raja-raja dari lima kerajaan, yaitu Kerajaan Gowa, Wajo, Kutai, Gantarang (di Pulau Selayar), dan Bima sendiri. Selain menyebarkan agama Islam, keturunan Kerajaan Pagaruyung tersebut juga turut serta membantu mengusir para bajak laut dari Teluk Bima yang kerap mengancam keamanan Kerajaan Bima.
Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro, seperti dilansir http://www2.kompas.com, Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu, sultan Kerajaan Bima pertama, menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas kepada keduanya. Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai tempat tinggal kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan masyarakat, penghuni kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya perkampungan tersebut diberi nama Kampung Melayu. Sampai sekarang pun, perkampungan yang berada di tengah-tengah Kota Bima ini tetap dihuni oleh keturunan Melayu yang masih mempertahankan adat-istiadat Melayu dan teguh memeluk agama Islam.
Konon, sebagaimana dilansir http://bima-mbojo.blogspot.com, upacara adat Hanta Ua Pua telah dilaksanakan oleh kerajaan dan masyarakat Bima sejak empat abad silam. Pada saat itu, upacara resmi Kerajaan Bima ini dihelat saban tahun dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, upacara sakral ini menjadi ajang silaturahmi antarsuku bangsa. Namun, upacara ini terhenti tatkala Perang Dunia II meletus. Setelah Indonesia merdeka, karena menimbang nilai-nilai historis dan religius yang terkandung di dalamnya, pihak Kerajaan Bima berinisiatif menghidupkan kembali upacara ini pada tahun 1950-an. Namun, perhelatan upacara adat tersebut terasa hambar dan kesakralannya kian tergerus. Sebagaimana diketahui, tahun 1950-an adalah masa transisi politik dari kerajaan menuju swapraja yang sarat dengan intrik politik dan konflik kepentingan. Setelah tahun 1950-an, upacara adat Hanta Ua Pua pernah digelar pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan tahun 2003. Kendati demikian, tetap saja jauh dari kesan semarak, apalagi khidmat. Setelah era reformasi dan otonomi daerah bergulir, upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya. Apalagi, upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.
B. Keistimewaan
Semarak, atraktif, dan khidmat. Demikianlah kira-kira kesan para pengunjung ketika menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua yang dihelat oleh masyarakat yang mendiami daerah yang juga dikenal dengan nama Dana Mbojo itu. Sebab, selama prosesi upacara adat yang sarat dengan simbol-simbol dan nilai-nilai agama Islam ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan perlombaan.
Upacara Hanta Ua Pua dimulai pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WITA. Upacara ini dimulai dari Kampung Melayu dan berakhir di depan istana Kerajaan Bima. Pada sisi kiri dan kanan jalan yang menjadi rute upacara, biasanya penuh sesak oleh masyarakat yang menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua. Mereka terpesona melihat aneka hiasan dan pernak-pernik perlengkapan upacara yang menyimbolkan keagungan agama Islam, kemuliaan adat Melayu, dan kebesaran Kerajaan Bima.
Tari klosal anak-anak
Salah satu yang menjadi daya tarik upacara adat resmi Kerajaan Bima ini, sebagaimana yang dicatat www.sumbawanews.com, adalah iring-iringan Uma Lige. Uma Lige adalah semacam mahligai persegi empat yang dijadikan sebagai tandu untuk membawa penghulu Melayu dari Kampung Melayu hingga serambi Istana Kerajaan Bima. Penghulu Melayu tersebut didampingi oleh empat orang penari perempuan Lenggo Mbojo dan empat orang penari laki-laki Lenggo Melayu. Selain penghulu Melayu dan para penari, di dalam Uma Lige juga terdapat sebuah kitab suci Al-Qur`an dan Ua Pua/Sirih Puan, yaitu 99 tangkai bunga telur aneka warna dan hiasan yang dilengkapi dengan sirih dan pinang. 99 tangkai bunga telur itu melukiskan 99 nama-nama indah Allah SWT, atau Asmaul Husna. Uma Lige ini digotong oleh 44 orang pemuda dari berbagai kelurahan/kampung di Kota Bima, di mana masing-masing sudut Uma Lige akan digotong oleh 11 orang. Konon, 44 orang penggotong tersebut menggambarkan 44 jenis keahlian/profesi masyarakat Bima pada masa lalu. Misalnya, daerah Ngadi kesohor sebagai pencetak guru mengaji Al-Qur`an, kawasan sekitar Bedi terkenal sebagai penghasil tentara, dan lain sebagainya.
Hal lain yang dapat memesona wisatawan adalah parade pasukan berkuda. Pasukan berkuda tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu Jara Wera dan Jara Sara`u. Jara Wera adalah pasukan berkuda yang bertugas untuk mengawal Sultan Bima, sementara Jara Sara`u adalah pasukan berkuda yang digunakan untuk mengawal tamu kehormatan Kerajaan Bima. Konon dulunya, penunggang-penunggang kuda ini adalah para pendekar yang mengantar datuk-datuk dari Makassar yang datang ke Bima melalui Teluk Bima untuk memperkenalkan agama Islam pertama kalinya.
Parade pasukan berkuda
Sesampainya di depan Istana Kerajaan Bima atau yang populer dengan nama Asi Mbojo, pasukan Jara Wera tampil ke depan. Mereka akan memperlihatkan kebolehan menunggang kuda. Setelah itu pasukan Jara Sara`u memasuki arena yang diiringi oleh bala tentara yang dilengkapi dengan pakaian kebesaran prajurit Kerajaan Bima. Mereka melakukan atraksi ketangkasan menggunakan senjata. Suasana kian meriah karena unjuk kebolehan berkuda dan ketangkasan menggunakan senjata ini diakhiri dengan masuknya para penari yang membawakan tari perang.
Setelah atraksi pasukan berkuda selesai, rombongan Uma Lige tampil ke depan. Penghulu Melayu menyerahkan Al-Qur`an kepada Jena Teke/Raja Muda Kerajaan Bima yang merupakan acara inti upacara adat Hanta Ua Pua. Menurut laman www.bimakab.go.id, penyerahan Al-Qur`an ini melambangkan bahwa Kesultanan Bima senantiasa teguh memeluk agama Islam hingga akhir zaman dan masyarakat Bima harus mengamalkan kandungan Al-Qur`an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rangkaian upacara berikutnya adalah penyerahan Ua Pua/Sirih Pinang oleh para penari Lenggo kepada Jena Teke.
Setelah upacara adat Hanta Ua Pua usai, hal lain yang membuat para turis terhibur adalah tatkala menyaksikan para pengunjung berlomba-lomba memperebutkan Ua Pua/Sirih Pinang yang terdiri dari 99 tangkai bunga telur dengan hiasan warna-warni. Mereka meyakini, bahwa bunga-bunga telur tersebut dapat membawah berkah, seperti dimudahkan rezeki oleh Allah SWT dan cepat mendapat jodoh. Kecuali itu, sepanjang perhelatan upacara, para turis juga akan disuguhkan dengan tarian-tarian khas daerah setempat, aneka permainan rakyat, berbagai perlombaan, dan pameran benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Bima.
C. Lokasi
Upacara adat Hanta Ua Pua dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan Bima, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
D. Akses
Bagi wisatawan yang berasal dari luar Kota Bima, dapat memulai perjalanan dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Kota Bima. Dari sini kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Istana Kerajaan Bima/Asi Mbojo, lokasi upacara adat Hanta Ua Pua digelar, dengan menggunakan bus atau menyewa mobil carteran. Perjalanan dari bandara ke istana dapat ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit.
E. Harga Tiket
Para wisatawan yang ingin menyaksikan upacara adat Hanta Ua Pua tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Bagi wisatawan yang berada di luar kota dan ingin menyaksikan rangkaian prosesi upacara adat Hanta Ua Pua secara keseluruhan, dapat menginap di berbagai wisma dan hotel berbagai tipe yang terdapat di Kota Bima. Selain itu, di Kota Bima juga terdapat berbagai akomodasi dan fasilitas lainnya, seperti rumah makan, kios wartel, masjid, museum, toilet umum, area parkir, biro perjalanan, pelabuhan, dan terminal. Selama upacara berlangsung, terdapat warung-warung dan gerai-gerai pameran yang menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan, seperti makanan, minuman, isi ulang pulsa, dan cenderamata khas Bima.
Senin, 21 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar