Sabtu, 10 Oktober 2009

Legenda Serunting Sakti di Punduh Pidada

PUNDUH PIDADA--Serunting Sakti, legenda itu lebih dikenal sebagai lakon sandiwara radio atau sinetron horor. Namun, jejaknya masih bisa dinikmati sebagai pesona wisata di bilangan Punduh Pidada, Pesawaran, Lampung.

--------------

Ada kebanggaan luar biasa mana kala bisa menyaksikan langsung sisa jejak Serunting Sakti, simbol seorang tokoh perlawanan terhadap penjajahan Belanda di Padang Cermin, Punduh Pidada dan Kelumbayan.

Serunting Sakti memang tidak meninggalkan jejak yang lebih jelas mulai dari di mana ia dimakamkan sampai rekam jejak perlawanannya. Tetapi, hampir semua masyarakat di Punduh Pidada dan Kelumbayan mengenalnya sebagai sebuah legenda masa lampau. Ia adalah ikon pemberontakan terhadap penjajah Belanda.

Serunting Sakti memang tidak banyak meninggalkan jejak "tubuh". Beberapa "kenangan" tentang dirinya hanya terucap dari mulut ke mulut saja. Sisa penjelajahan Serunting Sakti hanya tertoreh berupa jejak telapak kakinya yang seperti terpahat di sebuah batu di aliran air terjun yang ada di Desa Bawang, Punduh Pidada.

Selain jejak dua telapak kaki, dalam satu batu yang sama yang berukuran sebesar mobil itu juga terdapat bekas lutut dan kening yang juga membekas di batu tersebut. Jika dilihat bentuk jejak-jejak itu, sepertinya Serunting Sakti yang sedang bersujud.

"Penemuan" jejak Serunting Sakti itu memang terkesan tidak sengaja oleh Lampung Post. Waktu itu, kami berniat hendak memancing di Selat Legundi. Tetapi, karena hari sudah terlalu sore, kami memutuskan untuk bermalam di kantor Kecamatan Punduh Pidada.

Kebetulan, Camat Punduh Pidada M. Zulkarnain Mursyid adalah "mancing mania". Hanya karena tugasnya yang padat, hobinya itu tidak terlalu intens dilakukannya. Hanya jika di hari-hari libur saja atau ketika sedang mengunjungi warganya yang kebetulan tinggal di pulau, seperti di Pulau Legundi atau Pulau Balak yang dikenal sebagai spot paling kaya dengan ikan-ikan jenis baracuda, simba, atau tuna.

Malam itu, kami begadang. Angin sedang teduh. Obrolan bersama camat dan beberapa staf berkembang ke berbagai topik. Bahkan hingga cerita alam gaib dan sejarah zaman batu.

Di sela obrolan, Camat menyarankan agar esok pagi kami mandinya di air terjun (orang sekitar menyebutnya curup) yang jaraknya tak terlalu jauh dengan kantor camat, hanya dipisahkan oleh bukit gugusan Gunung Tanggang. Itu disarankan Camat karena rumah dinas itu tergolong sulit air. Lebih dari itu, agar kami merasakan sejuk dan alaminya alam Punduh Pidada.

Dari saran itulah terkuak dari Zulkarnain jika di air terjun itu terdapat batu yang di atasnya terdapat jejak telapak kaki manusia sepertinya sedang bersujud. "Karena selain telapak, di batu yang sama itu juga terdapat bekas lutut dan kening," tutur Zulkarnain.

Rasa penasaran membuat kami ingin menguak cerita di balik fakta yang belum kami buktikan itu. Dengan sedikit "bumbu", Zulkarnain berkisah tentang mitos Batu Tapak--begitu warga sekitar menyebut batu bertelapak itu.

"Masyarakat di sini sering menumbuk dan mencuci beras di batu itu. Mungkin semacam syarat saat menggelar ritual-ritual adat," terang Zulkarnain.

Esok, sekitar pukul 06.00, kami bertolak ke air terjun itu. Dengan dua sepeda motor, tiga orang meluncur. Pemandangan alam khas kampung memang tersaji saat menuju ke air terjun itu. Cuaca yang dingin menusuk membuat kantuk terus mengganggu, apalagi semalaman tidak tidur.

Semakin dekat ke lokasi air terjun ini kami mendapati pembangkit listrik tenaga air sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat untuk suplai listrik ke rumah-rumah mereka. Ide kreatif mencari sumber energi baru yang ramah lingkungan dan nggak pake bayar.

Dari Zulkarnain, kami tahu "PLTA" ini mampu memasok listrik untuk paling sedikit empat rumah. "Setidaknya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan timbul dari hal-hal yang penting untuk mereka juga. Seperti pembangkit listrik tenaga air ini akan sangat tergantung dengan tingginya debit air. Jika hutan di sekitarnya habis ditebangi, akan berpengaruh dengan debit air. Otomatis tidak ada energi listrik yang bisa didapat," tutur Zulkarnain.

Curup itu tidak seperti air terjun yang kita bayangkan. Ia lebih seperti air yang mengalir di tangga-tangga di "padang" batu yang menghampar. Kondisinya yang masih alami membuat air terjun ini seperti tidak terawat. Tidak banyak warga yang memanfaatkan mandi cuci kakus (MCK) di curup ini. Mereka lebih memilih menyalurkan air dari curup ini ke rumah-rumah mereka.

Sisa banjir beberapa hari sebelumnya membuat air ini sedikit berwarna. Guyuran lumpur dari hulu curup dari atas Gunung Tanggang penyebabnya. "Mungkin juga di atas sedang ada longsor karena hujan, karena biasanya airnya jernih."

Rasa penasaran membuat kami menunda untuk langsung mandi. Kami menuju ke lokasi batu telapak itu yang sedikit berada di atas curup.

Batu sebesar meja makan itu memang sepintas terlihat biasa saja. Tetapi ketika berada di atasnya, keanehan memang terlihat. Tepat di bagian bawah batu itu terdapat bekas seperti telapak kaki. Ukurannya sangat besar dan berdampingan, sepertinya membentuk telapak kaki kiri dan kaki kanan.

Beberapa sentimeter di atas dua telapak itu terdapat bulatan tapi tak membentuk lingkaran utuh. Bentuknya seperti lutut kaki yang juga berdampingan dengan lubang di sisi lainnya. Kemudian, di atasnya lagi terdapat seperti bekas kening, jika dilihat bentuknya persis seperti orang yang sedang sujud.

Kami pun mempraktikkan bentuk orang yang sujud tepat di atas jejak telapak kaki, lutut, dan kening itu, dan klop benar, batu itu memang dipakai untuk bersujud.

Jika dilihat dari ukuran telapaknya yang besarnya sama dengan dua telapak kaki orang dewasa saat ini, sangat khas dengan ciri-ciri fisik orang dahulu. Atau masyarakat Lampung biasa menyebutnya dengan Dulu Bumi atau orang-orang yang hidup pada masa lampau.

Tak jauh dari batu telapak itu, juga terdapat batu besar yang menyerupai lesung untuk menumbuk beras. Batu inilah yang biasa dipakai oleh masyarakat sebagai tempat pelaksanaan ritual-ritual adat.

Uniknya, batu ini menghadap ke utara. Padahal seharusnya, jika memang sedang menunaikkan salat, arah kiblat adalah barat. Kemungkinan besar posisi batu ini berubah saat letusan dasyat Gunung Krakatau pra letusan 1883.

Sayangnya, tidak adanya perawatan terhadap situs itu membuat batu bertelapak itu dipenuhi lumut sehingga tidak bisa dengan mudah menemukannya jika tidak jeli.

Jika ditilik, batu telapak ini sama persis dengan batu telapak yang ada di Pulau Kiluan Lunik. Di pulau ini juga terdapat batu yang sama persis membentuk seperti orang yang sedang sujud.

Serunting Sakti adalah antikomunis sejati. Dari sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut menyebut model perlawanannya adalah menghalau kapal-kapal dagang maupun kapal artileri Belanda yang melintas di jalur laut Samudera Hindia.

Model perjuangan Serunting Sakti ini sangat terkait erat dengan keberadaan Teluk Kiluan dan daerah Kelumbayan. Kedua daerah ini diyakini sebagai pusat perjuangan Serunting Sakti kala itu. Tak heran di beberapa titik di bawah perairan laut Teluk Kiluan terdapat bangkai-bangkai kapal yang sudah berusia ratusan tahun. Uniknya kapal itu seperti disembunyikan di dalam gua-gua bawah laut.

Batu telapak ini diyakini sebagai tempat Serunting Sakti menunaikan salat ketika itu. Serunting Sakti memang melegenda, ia dikenal setidaknya di empat kemargaan yang ada di Punduh Pidada dan Kelumbayan. Empat marga itu yakni; Marga Punduh, Marga Pidada, Marga Bawang, dan Marga Kelumbayan.

Dari keempat marga itu, hanya satu yang berada di luar Kabupaten Pesawaran. Yakni, Marga Kelumbayan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus.

Proses penamaan Kecamatan Punduh Pidada juga terbilang unik dan menunjukkan betapa masyarakat adat dari tiga kemargaan masih menjunjung tinggi musyawarah. Nama Punduh Pidada diambil dari penggabungan dua kemargaan yakni; Marga Punduh dan Marga Pidada, dan Marga Bawang kebagian sebagai ibu kota Kecamatan Punduh Pidada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar