Sabtu, 10 Oktober 2009

Ria Bewa, Pesta Adat yang “Terhenti” 29 Tahun

DESA yang akrab dengan kesunyian, kabut, dan dinginnya malam itu, pada pertengahan September hingga 8 Oktober 2006 tampak sibuk dan ramai. Saat itu ada pesta besar, yakni pesta pengukuhan pemangku adat tertinggi. Ritual adat digelar di Desa Wololele A, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pesta besar yang digelar di desa ini terkait dengan pengukuhan Ria Bewa (pemangku adat tertinggi) Lise Tana Telu atau wilayah tanah tiga Wololele A. Wilayah tanah persekutuan adat Lise Tana Telu saat ini meliputi tiga kecamatan (dari 17 kecamatan).
Tiga kecamatan itu adalah Lio Timur (dulu dikenal Lise Nggonderia), Kotabaru (Lise Kuru Lande), dan Wolowaru (sebagian, dulu Lise Lowo Bora). Wilayah Lise Tana Telu terakhir berpenduduk sekitar 45.000 jiwa. Adapun Ria Bewa (artinya besar panjang) yang dikukuhkan di penghujung tahun ini adalah Michael Tani Wangge (53).
Pemangku adat di Lise Tana Telu, yakni mulai dari Ria Bewa, Mosalaki, sampai Bogehage. Ria Bewa secara adat pada masa perebutan wilayah dulu merupakan pemimpin perang tertinggi.
Di Lise Tana Telu, selain Ria Bewa Wololele A, juga ada Riwa Bewa Mulawatu yang tinggal di Desa Detupera, Kecamatan Lio Timur, Yosef Ngati. Selain itu, ada Mosalaki Pu’u, Daniel Bheto, yang tinggal di Kampung Rate Nggoji, di Kecamatan Kotabaru.
Untuk Struktur mosalaki, tercatat 87 mosalaki, baik bogehage, bogeria, maupun bogelo’o(tingkatan mosalaki sesuai dengan besar kecilnya perjuangan ketika merebut wilayah). Semua mosalaki ini hadir dalam pesta pengukuhan Ria Bewa. Pengukuhan Ria Bewa tahun ini berselang 29 tahun dari yang sebelumnya. Terakhir pengukuhan Riwa Bewa Lise Tana Telu Wololele A berlangsung pada tahun 1977, yaitu terhadap Yacob Ndori Wangge.
Beruntung Kompas dan wartawan Pos Kupang dapat menyaksikan pesta besar ini sebab pengukuhan berikutnya baru dilangsungkan jika penjabat Ria Bewa telah tiada atau ada kejadian luar biasa. Menurut adat, Ria Bewa yang dikukuhkan saat ini akan digantikan oleh anak sulung
laki-lakinya.
Guru Besar Bidang Antropologi Sejarah dari Universitas Kyoto Jepang Prof Dr Takashi Sugishima mengutarakan, Kampung Wololele A merupakan pusat sejarah dan sangat kaya akan adat istiadat. Takashi Sugishima banyak melakukan penelitian di Indonesia, khususnya untuk Lise Tana Telu. Ritual pengukuhan Ria Bewa ini pun diarsiteki Takashi. Ritual adat ini dipersiapkan dua tahun. “Banyak hal yang menarik di Lise Tana Telu, dan memang Flores Tengah merupakan pusat sistem sosial dan kebudayaan yang pertama di NTT,” ujar Takashi.
Gelar baru
Terhitung sejak 8 Oktober 2006, Michael Tani Wangge menyandang gelar baru sebagai pemangku adat tertinggi, yakni Ria Bewa Lise Tana Telu Wololele A. Namun, Michael saat ini juga masih aktif sebagai wartawan senior Suara Pembaruan. Bapak dua anak ini memiliki penerus, yaitu anak
keduanya, Oktavianus Mario Wangge (13). Anaknya yang sulung seorang perempuan, Theresa D Avila (18).
Menurut Salomon Woda Wangge (adik kandung Michael), Michael merupakan generasi XI untuk Ria Bewa Lise Tana Telu Wololele A. Michael merupakan anak kedua dari pasangan Yacob Ndori Wangge dan Theresia Koli. Anak yang pertama, Yoseph Wangge, telah meninggal.
Sejak Yacob Ndori Wangge, Ria Bewa X, meninggal dunia dua tahun lalu karena sakit, Salomon-lah menggantikan tugas sehari-hari Ria Bewa X untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, termasuk tanah adat, karena Michael sibuk dengan pekerjaannya. Dengan demikian, Salomon lebih banyak menguasai tata cara, maupun ritual adat.
Keturunan Ria Bewa Lise Tana Telu juga memiliki garis dari Raja Lio. Belanda masuk ke Flores sekitar tahun 1909, dan pada tahun 1924 Pius Rasi Wangge dikukuhkan menjadi Raja Lio, yang di Ende wilayahnya sekarang ini diperkirakan meliputi 14 kecamatan, minus Kecamatan Ende Selatan, Pulau Ende, dan Nangapanda.
Pius Rasi Wangge pada tahun 1914 juga mendapat mandat dari ayahnya, Wangge Mbete, untuk menjalankan tugas sebagai Ria Bewa. Namun, pada 14 November 1947, Pius Rasi Wangge ditembak mati oleh Belanda di Kupang, karena berkolaborasi dengan tentara Jepang.
Kepemimpinan Ria Bewa kemudian dilanjutkan Yosep Woda Wangge karena ketiga anak laki-laki Pius Rasi Wangge telah tiada. Woda Wangge merupakan anak kedua laki-laki dari istri pertama Wangge Mbete, sedangkan Pius Rasi Wangge anak pertama dari istri kedua Wangge Mbete. Woda kemudian digantikan anaknya yang sulung, Yacob Ndori Wangge pada tahun 1977, dan kini diteruskan oleh Michael Tani Wangge.
Acara puncak pengukuhan
Pada Minggu dini hari, 8 Oktober 2006, itu suasana Desa Wololele A benar-benar ingar-bingar. Hawa dingin yang menusuk tulang tak terasa lagi. Di bawah pancaran bulan purnama, dengan diiringi musik tradisional warga desa-tua-muda dan pria-wanita-bersukaria, melakukan gawi, menari bersama di hanga, hamparan tanah tempat khusus penyelenggaraan upacara atau ritual adat.
Mereka memeriahkan suasana menyongsong peristiwa akbar, yaitu pengukuhan Ria Bewa, yang dilangsungkan bersamaan dengan matahari terbit pagi itu. Pada pukul 04.30 calon Ria Bewa, Michael Tani Wangge, bersama pemangku adat lainnya, termasuk Ria Bewa Mulawatu, Mosalaki
Pu’u dan juga keluarga besar adat dari garis ibu memasuki Sao Ria.
Di dalam Sao Ria, Michael mempersiapkan diri. Pada pukul 05.00 ia pun mengenakan pakaian kebesaran, didahului pemakaian dua seke, gelang gading. Satu gelang dikenakan pada tangan kanan dan lainnya di tangan kiri.
Dalam kesempatan itu, Michael juga dilengkapi sejumlah pusaka, seperti wea, anting-anting emas, londa dan rajo, kalung emas berbentuk semacam perahu. Semua itu dikeluarkan dari peti yang telah disimpan puluhan tahun dalam rumah adat. Peti pusaka tersebut hanya dibuka ketika pengukuhan Ria Bewa.
Ritual membuka dan mengangkat pusaka itu pun dilangsungkan melalui pemotongan babi sebagai korban. Pemotongan korban dilakukan sekitar pukul 02.00, sebelumnya. “Setelah ritual ini, pusaka dimasukkan lagi ke dalam peti dan tidak akan dibuka-buka sampai ada pengukuhan Ria Bewa berikutnya,” ujar Salomon Woda Wangge.
Setelah memakai seke, Michael lalu mengenakan destar, ikat kepala dari kain batik, dan sarung berwarna hitam untuk menutup anggota tubuh bagian bawah. Selanjutnya, dia mengenakan semba, semacam lembaran kain besar dan panjang dari kain tenun dengan warna dasar coklat, yang dipasang menyilang dari pundak kanan ke pinggang kiri. Terakhir, pada pundak Michael dipasangkan selempang, juga dari kain tenun.
Sebelum keluar dari Sao Ria, terlebih dahulu salah seorang mosalaki memberikan sesaji dan memanjatkan doa kepada leluhur. Tepat pukul 06.00, saat matahari terbit, Michael dengan pakaian kebesaran berdiri di hadapan warga, dan menyatakan diri sebagai Ria Bewa. Karena Ria Bewa merupakan jabatan tertinggi, maka Ria Bewa sendiri yang mengukuhkan dirinya.
Ria Bewa beserta jajaran pemangku adat kemudian beranjak ke tempat ritual berikutnya di hanga. Mereka menuju hanga diiringi tarian Poto Wolo (mengangkat gunung). Tarian ini untuk menyambut pembesar yang baru.
Di hanga telah menunggu para staf Ria Bewa dan mosalaki bogehage. Setelah Ria Bewa beserta istri memberikan penghormatan kepada leluhur di tubu musu, tugu adat, selanjutnya dilakukan Gawi Ha’i Nggaja, tarian yang menyatakan atau merayakan kebesaran kekuasaan setelah meraih kemenangan berperang merebut suatu wilayah.
Tarian ini dilakukan dengan mengitari hanga tujuh kali. Seusai Gawi Ha’i Nggaja, acara kemudian dilanjutkan dengan Gawi, sebagai tanda kesatuan dan persatuan, baik dengan sesama warga komunitas Lise Tana Telu maupun leluhur.
Ritual berikutnya adalah perjamuan. Para mosalaki dan tamu diberi hidangan filu, semacam kue cucur yang terbuat dari tepung beras dan gula merah serta hibi, semacam nasi atau emping yang terbuat dari bulir padi yang digoreng, ditumbuk, lalu hasil tumbukan dibersihkan dari
kulit padi.
Seusai misa syukur yang dipimpin seorang pastor, pimpinan gereja Katolik, ritual yang terakhir dilakukan adalah bagi boge, yakni memberikan bagian kepada masing-masing pemangku adat sesuai dengan tingkatannya. Bagian yang diberikan berupa daging hewan korban. Besarnya bagian disesuaikan dengan besar kecilnya perjuangan ketika merebut wilayah.
Pelaksana harian
Michael Tani Wangge setelah resmi menjadi Ria Bewa Ria Bewa Lise Tana Telu Wololele A, tepatnya seusai Gawi Ha’i Nggaja di hanga, lalu menyampaikan pesan resmi yang pertama kalinya kepada warga. Pesan yang disampaikan secara tertulis di hadapan warga itu pada intinya menyatakan bahwa segala urusan di wilayah Lise Tana Telu, antara lain persoalan tanah, konflik di masyarakat, juga pertanian merupakan kewenangannya. Selain itu, segala hal yang menyangkut kesejahteraan masyarakat menjadi tanggung jawabnya.
“Namun, sehubungan dengan kesibukan pekerjaan saya di Jakarta yang tidak dapat saya tinggalkan, maka segala urusan di Lise Tana Telu akan dijalankan oleh Pelaksana Harian, Salomon Woda Wangge. Apabila terjadi hal yang luar biasa dan tidak bisa diselesaikan oleh Salomon, baru akan memanggil Ria Bewa untuk diselesaikan dengan semangat kebersamaan,” ujar Michael Tani Wangge.
Itulah pesta besar yang berlangsung sekitar tiga pekan tersebut. Pesta adat yang sudah lama tak dilangsungkan di Wololele-berasal dari kata wolo yang berarti bukit dan lele yang berarti pohon besar atau rindang-semacam pohon beringin. Desa Wololele A itu terletak sekitar 79 kilometer arah timur Kota Ende. Posisinya di kawasan perbukitan dengan ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut.
Desa kecil dan tua yang terdiri dari lima dusun dan dihuni 200 keluarga atau 800 jiwa itu, di bagian selatan berbatasan dengan Bukit Tolorose, sedangkan di utara berbatasan dengan Bukit Tolorawa.
Untuk menjangkau desa ini dengan menggunakan mobil perlu waktu sekitar 2,5 jam. Bisa dikatakan desa ini masih perawan, terutama jika dilihat dari jalan yang dilalui masih berupa tanah padas (belum ada pengerasan atau pun aspal). Medan ke desa ini juga berliku-liku. Di desa ini pun terdapat sejumlah bangunan megalitik, seperti Sao Ria Tendabewa (pusat rumah adat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar