“Hati-hati masuk ke daerah suku Lom. Niat hati harus bersih dan tulus. Kalau hati kotor, nanti bisa kena celaka, bisa-bisa malah tidak bisa keluar lagi.” Demikian pesan banyak orang kepada siapa pun yang akan mengunjungi suku Lom.
Suku Lom merupakan suku unik yang tinggal di Dusun Air Abik dan Dusun Pejam, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Mereka juga sering disebut sebagai suku Mapur karena mula-mula sebagian besar tinggal di Dusun Mapur. Suku tersebut dikenal sebagai salah satu komunitas yang masih kuat memegang kemurnian tradisi di tengah perubahan zaman.
Sebenarnya kawasan adat suku Lom hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari kota Kecamatan Belinyu. Motor dan mobil masih bisa masuk ke daerah itu saat tidak turun hujan, meski harus menelusuri jalan menuju tanah di tengah hutan Gunung Muda dan Gunung Pelawan yang rusak dan berlubang-lubang.
Kemurnian tradisi suku Lom selama ini dibumbui berbagai mitos, misteri, atau legenda yang menakutkan sehingga sebagian masyarakat enggan menyinggahi kawasan itu.
Memasuki perkampungan suku Lom di Dusun Air Abik, tak ubahnya melihat perkampungan warga biasa di daerah lain. Rumah-rumah kampung berjajar rapi di kiri-kanan jalan. Sebagian bangunan rumah sudah permanen, semipermanen, dan sebagian lagi masih berupa rumah kayu sederhana dengan atap genting. Bahkan beberapa rumah dilengkapi parabola. Ada juga beberapa mobil dan sepeda motor.
Keunikan suku itu mulai terasa ketika mereka ditanya tentang agama. Kolom agama kartu tanda penduduk (KTP) pada sebagian suku itu dibiarkan kosong, sebagian ditulis ’agama Islam’ sekadar untuk formalitas.
“Saya tidak punya agama. Tetapi, saya menghargai orang lain yang beragama. Yang penting saya hidup baik-baik, bisa makan dan minum setiap hari, serta tidak menyakiti orang lain,” ucap Sli (42), warga suku Lom yang tinggal sendirian di daerah agak pedalaman.
Sebutan lom pada suku tersebut merujuk komunitas yang “belum” memeluk suatu agama.(Red-dalam bhs Bangka, lom artinya belum) Menurut sejumlah warga, sebutan itu mulai muncul sejak zaman kolonial Belanda yang berusaha mengidentifikasi penduduk berdasarkan agama yang dianut. Hingga sekarang, anggota suku yang masih memeluk adat disebut “Lom”, sedangkan yang telah memeluk agama formal tertentu berarti telah menjadi “bukan Lom”.
Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, menjelaskan, dari 139 keluarga yang tercatat, sebanyak 62 orang tertulis beragama Islam, 13 Kristen, dan dua orang Buddha. Sebanyak 62 orang lagi memeluk kepercayaan adat atau masih murni “Lom”. Namun, sebagian besar warga yang secara formal telah memeluk agama juga masih memercayai adat yang dipatuhi sejak nenek moyang.
“Sejak kecil saya tidak punya agama. Saya masuk Islam ketika menikah dengan istri yang Muslim tahun 1997. Tetapi, saya masih memercayai hukum-hukum adat sampai sekarang,” papar Tagtui.
Menurut penuturan tetua adat setempat, Mang Sikat (62), adat suku Lom dibangun dari keyakinan bahwa mereka dilahirkan dari alam semesta. Gunung, hutan, sungai, bumi, langit, dan hewan merupakan bagian dari alam semesta yang menyatu dengan nenek moyang sehingga harus dihargai. Dalam setiap perwujudan alam terdapat roh atau kekuatan yang selalu menjaga dan mengawasi manusia. Kutukan akan menimpa siapa pun yang melanggar kekuatan alam.
Keyakinan akan kutukan itu diperkuat oleh mantra-mantra yang digunakan untuk setiap tindakan yang dimuati tujuan khusus. Ada mantra untuk jirat, yaitu semacam doa untuk menjaga ladang dari pencurian. Ada mantra untuk menghipnotis orang agar mengakui kejahatan yang dilakukan. Juga ada semacam gendam untuk menarik minat lawan jenis sehingga jatuh cinta atau untuk menjaga kelanggengan pernikahan.
Berbagai mantra itu terutama dikuasai para dukun adat demi menjaga keamanan dari serangan luar, melestarikan tatanan sosial, sekaligus menempa kepercayaan diri setiap anggota suku. Meski digunakan dengan hati-hati untuk keperluan khusus, keampuhan mantra suku Lom acap jadi gunjingan khalayak luas sehingga masyarakat cenderung berhati-hati terhadap kekuatan magis suku itu.
Keyakinan itu melahirkan adat unik yang sebagian masih ditaati suku Lom hingga kini. Mayat anggota suku yang meninggal, misalnya, tidak boleh diantar ke kubur melalui pintu depan karena dia pergi untuk selamanya dan tidak kembali lagi. Mayat dibawa lewat pintu belakang, atau bila perlu menjebol dinding samping.
Adat lain, wanita hamil dilarang duduk di tangga rumah karena tangga menjadi perlintasan roh-roh. Roh-roh itu bisa masuk dalam kandungan sehingga menghambat proses kelahiran. Bersiul di ladang juga dihindari karena akan mengusir roh kehidupan yang memasuki tanaman yang baru tumbuh, akibatnya bisa gagal panen.
Keterasingan menciptakan bahasa Lom yang unik. Kata- kata diucapkan dalam percakapan yang cepat dan penuh intonasi. Suku Lom menyebut ika untuk mereka, nampik untuk dekat, nen berarti ini, bu untuk nasi, dan maken air berarti minum. Bahasa itu berbeda dengan bahasa Melayu atau China yang terdapat di lingkungan di sekitar suku Lom.
Hingg saat ini, suku Lom masih berusaha menjaga keyakinan adat. Para orang tua umumnya membebaskan anak untuk bersekolah, tetapi anak- anak biasanya tidak pernah menamatkan sekolah dasar. SD Negeri 24 di Dusun Air Abik yang berada di pinggir dusun hanya diikuti 48 siswa. Itu pun sebagian berasal dari lingkungan di luar suku.
Menurut Kepala Sekolah SDN 24 Dusun Air Abik, M Bundiar, jumlah anak yang masuk sekolah bisa mencapai puluhan siswa. Tetapi, anak-anak suku Lom rata-rata berhenti sekolah saat menginjak kelas II, III, atau IV.
“Kesadaran terhadap pendidikan pada suku Lom masih sangat rendah. Banyak yang tidak sekolah. Kalau sudah masuk, ada saja anak yang putus sekolah setiap bulannya. Kadang ada yang minta izin bekerja membantu orangtua di hutan dan tidak pernah masuk lagi, atau tiba-tiba hilang begitu saja,” tuturnya.
Beberapa warga suku Lom menganggap pendidikan hanya akan mengajarkan tabiat dunia luar yang dipenuhi kebohongan dan nafsu mengejar materi. Yudi (32), salah satu warga, mengaku tidak pernah sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis. “Saya selalu ke ladang untuk memelihara 100 batang lada putih, buah-buahan, dan tanaman lain. Saya hanya butuh hidup dengan bahagia bersama warga di sini,” ujarnya.
Suku Lom cenderung menghindari budaya asing yang bertentangan dengan tradisi. Puluhan tahun lalu adat masih melarang anggota suku untuk menggunakan sandal, jas, jaket, atau payung karena dianggap menyamai gaya dan perilaku para penjajah. Sekarang ikatan itu mulai mengendur seiring dengan perkembangan zaman, tetapi sikap kritis terhadap dunia luar masih tetap dipelihara. Dalam sejarahnya, belum pernah ada anggota suku yang tersangkut atau dipenjara karena melakukan tindakan kriminal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar