Sebuah batu di situs megalitik Tutari, Doyo Lama Kabupaten Jayapura mempunyai goresan berupa sepasang perisai serta motof ukiran khas Doyo Lama yang mereka sebut yoniki.
Kabar dari angin itu datang. Lewat serupa alunan dengung bunyi panjang, suara alami tersebut segera tertangkap oleh pendengaran dan memberi pesan bagi ibu-ibu di Lembah Doyo Lama bahwa kaum laki-lakinya telah mendapatkan hewan buruan.
Kalau mama-mama di rumah mendengar tanda dari empat batu itu, berarti mereka harus bersiap menyambut para pemburu, tutur Hans Pangkatana, salah satu warga Doyo Lama, yang kini tinggal di Sentani Barat, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, kepada tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007.
Itu sudah! Kisah suci yang dituturkan turun-temurun itu sepertinya ikut mengatur sikap dan tindakan warganya hingga ada perlakuan khusus terhadap empat "sosok" batu alam, di antara serakan rapi batu alam kecil-besar lainnya.
Empat batu yang dimaksud Hans dipercaya sebagai "wakil rakyat". Empat batu besar utama itu sepertinya mewakili empat ondoafi, alias suku, di Doyo Lama, yakni Ebe, Pangkatana, Wali, dan Yapo.
Yang pasti, keempat batu yang disebut-sebut berasal dari Mae itu diberi pondok beratap seng. Ukurannya sekitar 2-3 kali badan orang dewasa. Letak keempat batu itu juga berdekatan. Sekilas, keempat batu gamping atau karst "terpilih" itu tidak berbeda dibandingkan dengan batu-batu lain yang berserak di Bukit Tutari, tempat situs Megalitik Tutari, Doyo Lama.
"Ah, lihat! Batu-batu ini berbentuk seperti orang yang tengah mengamati ke arah yang sama, yaitu arah kampung tempat orang-orang Doyo Lama tinggal. Batu-batu lain biasa saja," kata Hans, yang juga menjadi juru kunci di situs itu serta ketua RT di Doyo Lama.
Di sejumlah batu lain di kompleks situs tersebut terlihat guratan putih berbentuk ikan dan kura-kura. "Keduanya adalah hewan yang paling mudah ditemukan di Danau Sentani. Dari 562 keluarga di Doyo Lama, hampir semua penduduk masih berprofesi sebagai nelayan. Ikan dan kura-kuralah yang memberi nafkah bagi kami," tutur Hans.
Satu batu besar yang lain terdapat di sebuah sudut. Begitu besarnya, sampai-sampai batu ini bisa menyembunyikan orang di balik punggungnya. Keunikan batu tidak hanya ukuran, tetapi ia juga mempunyai bulatan-bulatan kecil yang berderetan. Sebuah garis memanjang tergambar di antara susunan itu.
"Ya, ini memang simbol gelang. Bagi kami, gelang adalah harta yang bisa dipakai untuk mas kawin. Orang yang punya masalah juga bisa pakai gelang untuk bayar denda penyelesaian masalah," tutur Hans lagi.
Ah, lihat juga batu yang di sudut sana. Sepasang perisai terjalin dengan Yoniki, sebuah ukiran khas dari Doyo Lama. Yoniki berbentuk oval dengan sudut-sudut yang tebal. Perisai adalah simbol perlindungan sewaktu berperang, sedangkan Yoniki menjadi simbol kekerabatan masyarakat.
Warna putih di batu memang hasil goresan, hingga warna dasar putih gamping itu tampak jelas. Akan tetapi, masyarakat memperkirakan tanda-tanda ini dibentuk dari gesekan batu oleh leluhur mereka. Kisah lisan menambahi pembentukan goresan itu dengan mantra-mantra sakti. "Hujan, panas, atau apa saja tidak mengubah goresan di batu-batu ini sejak dulu sampai sekarang," kata Hans lagi yang menyesalkan adanya sedikit coretan grafiti dari tangan-tangan jahil.
Ia bahkan tidak bisa memastikan kapan sebenarnya batu-batu lengkap dengan goresan tanda-tanda itu terbentuk. "Waktu saya tanya saya punya bapa, dia bilang tidak tahu kapan batu terbentuk. Ketika bapa saya bertanya pada dia punya bapa, maka jawabannya juga sama. Tete (kakek) saya juga tidak tahu jawabnya," ucap Hans menggambarkan tuanya usia batu tersebut.
"Dootomo" dan "mietomo"
Sebuah bagian dari lokasi situs ini difungsikan oleh leluhur sebagai pekuburan. Batu-batu setinggi lutut orang dewasa disusun vertikal dengan sejumlah batu kecil di sekitar batu yang vertikal itu. Ada puluhan susunan serupa ini.
"Nah, ini yang kami sebut dootomo, atau batu (pekuburan) laki-laki," kata Hans yang sudah sekitar 25 tahun bertugas selaku penjaga atau juru kunci situs megalitikum unik itu dengan honor Rp 350.000 per bulan. Dootomo terletak di atas Bukit Tutori. Pemandangan ke arah Danau Sentani dan permukiman masyarakat terlihat jelas dari tempat itu. Di bawah dootomo, ada mietomo (batu/pekuburan perempuan). Susunan batu di mietomo jauh berbeda dari dootomo. Batu-batuan bulat sebesar bola voli di mietomo tersusun berjajar membentuk satu garis lurus.
Di lereng perbukitan dekat tepian Danau Sentani itu saat ini setidaknya tersisa bukti adanya tradisi kebudayaan batu besar, megalitikum. Serakan batu besar-kecil yang tertata rapi semuanya diperkirakan berasal dari masa yang sama.
Begitu juga sisa tanda bekas goresan dan guratan berupa aneka gambar "mirip" ikan, kura-kura atau labi-labi, binatang melata ataupun motif hias dengan gaya distilasi diperkirakan buatan masa masa lampau, entah kapan. Serakan batu-batu tegak tersebut adalah menhir-menhir kecil yang berdiri tegak.
Dari pengamatan sekilas, deretan teratur batu-batu gamping tegak ukuran kecil di sana diduga keras sebagai menhir-menhir kecil khas situs "batu besar" alias megalitik. Kompleks megalitik Tutari kini memiliki aneka kisah suci atau mitologi yang berhubungan dengan kisah supernatural dan asal usul terjadinya "manusia". Karena itu, tidaklah aneh jika tercipta juga kisah asal-usul nenek moyang warga Doyo Lama itu serta tafsiran folklorik, termasuk "kabar angin pemburu".
"Ah, ini ada satu cerita juga. Menurut cerita, salah satu batu keramat dootomo itu sempat dibawa ke Jakarta untuk sebuah acara. Suatu pagi, orang membawa batu itu ke Jakarta dengan pesawat terbang. Eh, malam harinya batu itu sudah kembali ke tempat asal," kata Hans. Tentu ini tidak mesti dipercaya, tetapi kisah itu masih hidup di sana. Betul ka, tra betul ka, ah itu sudah!
Selasa, 13 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
membaca dan menyimak tulisan ini serta turun lgsg ke lokasi tuk lakukan penelitian Etnografi tahun 2011, sy sgt mnyesal krn ada bukti peradaban yg terlupakan begitu saja oleh semua pihak, dan apabila sampai tdk terawat maka akan hilang semua fakta pra sejarah yang ada di tanah Papua secara khusus di Jayapura, mohon perhatian dari semua pihak tuk hal ini.
BalasHapus