Selasa, 13 Oktober 2009

Adat Manyanggar di ’Negeri Rawa’ Danau Bangkau

Kue dan makanan sebanyak 41 macam menjadi suguhan utama dalam upacara adat manyanggar danau di Desa Bangkau, Kecamatan Kandangan Kota, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Waktu serasa berhenti pada Minggu pekan pertama Maret lalu di Desa Danau Bangkau, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Tidak ada warga yang menjemur ikan sepat dan gabus di tepian jalan, juga tidak ada yang berperahu untuk menebar jala di rawa luas yang menjadi halaman belakang permukiman.

Pagi itu seluruh warga di Kecamatan Kandangan tersebut berkumpul di beberapa rumah. Mereka "bersembunyi" dari terik mentari untuk menyiapkan aruh atau syukuran besar, manyanggar danau.

Manyanggar atau menebarkan sesaji ke danau adalah tradisi masyarakat Danau Bangkau. Itu adalah bentuk terima kasih warga terhadap alam (danau) yang telah menjadi sumber penghidupan mereka.

Dahulu para leluhur menerjemahkannya dengan memberikan sesaji kepada panggaduh, ruh yang diyakini memelihara rawa Danau Bangkau yang luasnya 19,5 kilometer persegi.

Syukuran diawali dengan pembuatan beragam penganan sebagai sesaji. Penganan itu terdiri atas 41 macam kue, kambing putih dan ayam hitam yang dipanggang, piduduk (semacam ketan), beras kuning, kelapa muda dan tua, pisang, serta kemenyan.

Ragam sesaji itu disiapkan para ibu sehari sebelumnya. Hanya mereka yang tidak dalam masa haid yang boleh membuat sesaji.

"Macam sesaji ini sesuai dengan permintaan panggaduh rawa. Tujuannya, agar warga dijaga keselamatannya dan dilimpahkan banyak ikan," kata Pambakal (Kepala Desa) Danua Bangkau, Badrun.

Prosesi babarasih
Sesaji telah siap dan prosesi babarasih (membersihkan) danau pun kemudian dimulai. Para ibu yang berkain batik tapih bahalai membawa seluruh sesaji dari rumah seorang tetua desa, Haji Subli. Penganan tersebut dibawa ke dalam perahu kelotok (perahu motor).

Atap perahu tersebut juga telah berhias pohon pisang yang berbuah dan pohon beringin dalam pot. Dua tokoh adat, Maisarah dan Uma Atung, telah mengambil tempat di haluan untuk memimpin perjalanan menuju ke tengah rawa.

Perahu kelotok bertolak diiringi 12 perahu kelotok lainnya yang ditumpangi sebagian besar warga Danau Bangkau. Seluruh penumpang-orang dewasa, pararemaja, anak-anak, hingga anak balita-menikmati pengarungan dengan hikmat.

Sepanjang perjalanan Maisarah dan Uma Antung memercikkan air kembang sebagai simbol babarasih. Bersamaan dengan itu, gong, gendang, dan serunai terus dibunyikan. Suaranya mengundang kehadiran beberapa warga kampung lainnya yang berperahu ces.

Bagian rawa yang menjadi lokasi syukuran berbatasan dengan Desa Pahalatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan beberapa desa di Kecamatan Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Meskipun lokasi persembahan hanya sekitar lima kilometer jauhnya dari Desa Danau Bangkau, perjalanan memerlukan waktu hampir satu jam.

Perahu tak bisa dipacu laju karena hampir seluruh permukaan rawa ditutupi rumput dan ilung (eceng gondok). Selain itu, kedua pemimpin perjalanan beberapa kali meminta rombongan perahu berhenti dan di titik-titik perhentian itulah sesaji diletakkan. Tempat perhentian pertama dinamakan Kepala Danau.

Di lokasi tersebut Maisarah menyerahkan satu kelapa kepada seorang pemandu. Kelapa itu telah dibelah batoknya dan diisi telur dan gula merah. Si pemandu kemudian terjun ke air dan menyelam sedalam lima meter untuk meletakkan sesaji itu di dasar rawa.

Kegiatan serupa dilakukan diperhentian kedua, Mungkur Panjang, dan puncak ritual berakhir di perhentian ketiga, Mungkur Kambing.

Di tempat perhentian terakhir ini, kelapa berisi telur dan gula merah ditaruh di dasar danau. Selain itu, di permukaan air dilarungkan daging kambing bakar. Namun, pelarungan hanyaberlangsung sejenak karena daging itu segera diangkat kembali ke atas perahu.

Upacara adat diakhiri dengan pembacaan doa keselamatan dan tolak bala yang dipimpin dua tokoh adat, Alan dan Syahran.

Pada hari itu seluruh warga yang hadir diminta tidak mencari ikan. Sebagai tanda syukur, seluruh makanan yang menjadi sesaji itu kemudian dibagikan. Warga pun berebutan dalam bahagia sehingga beberapa di antaranya tidak kebagian.

Peninggalan leluhur
Pemuka adat, Syahran, mengungkapkan, manyanggar merupakan peninggalan leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun sebelum masuknya agama Islam di daerah tersebut. Setelah Islam masuk, terjadi penyesuaian.

Kue dan penganan sesaji tidak lagi dilarung ke rawa, tetapi dimakan bersama sebagai bagian dari permohonan keselamatan dan bersyukur.

"Tradisi ini termasuk langka karena warga melaksanakannya tiga hingga lima tahun sekali. Itu pun tergantung adanya ’permintaan’. Biasanya, hal itu melalui warga yang mengalami kasarungan atau kesurupan (mengalami keadaan tidak sadar diri) karena kerasukan roh halus dengan menyampaikan agar diadakan aruh di rawa tersebut.
Kepercayaan ini yang membuat tradisi ini masih dilaksanakan hingga sekarang," ungkap Badrun.

Masyarakat Danau Bangkau percaya bahwa tangkapan ikan akan melimpah setelah upacara adat dilaksanakan. Menangkap ikan adalah mata pencarian 80 persen dari 1.641 jiwa penduduk desa.

"Ritual ini membuktikan, semua warga masih patuh menjaga kelestarian habitat ikan untuk kelangsungan hidup mereka sendiri. Sampai kini warga melarang kegiatan yang merusak rawa, seperti menangkap ikan dengan alat yang menggunakan listrik," tutur Badrun.

1 komentar:

  1. Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu ning suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu balimbur serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan santar dalam perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di luk loa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, datu abbas dan sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di ta’al, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI oleh pejuang-pejuang kandangan yang banyak tersebar di banua amandit yang dipimpin Brigjend H. Hasan Basery di telaga langsat, karang jawa, jambu, ambutun, ambarai, mandapai, padang batung, ni’ih, simpang lima, sungai paring, mawangi, tabihi, durian rabung, munggu raya dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Kalimantan 17 Mei di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

    BalasHapus