Sungai Kerucuk di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, terasa begitu sibuk. Beberapa nelayan hilir mudik membawa jaring dengan sampan kecil. Beberapa nelayan lain menyeberangi air di pinggiran untuk naik ke perahu yang ditambat di tengah sungai.
Pagi yang cerah di akhir bulan Mei lalu itu memang saatnya nelayan berangkat menangkap ikan di laut lepas.
Aktivitas di Pelabuhan Tanjung pandan yang terletak di seberang sungai juga tampak berdenyut. Di pinggiran sungai sejumlah bocah bermain di tengah lumpur sambil melihat rombongan nelayan yang mulai menjalankan perahu.
”Kami mau menangkap ikan. Kalau dapat banyak, kami bisa segera pulang nanti sore atau malam. Kalau lagi sepi, kami menginap beberapa hari lagi di laut sampai dapat ikan,” kata Saparuddin (20) sambil berjalan menghampiri beberapa kawannya yang telah di perahu.
Saparuddin adalah salah satu dari sekitar 50 keluarga suku Laut yang tinggal di Desa Juru Seberang. Suku yang juga disebut suku Sawang itu hidup berkelompok di tengah komunitas nelayan Belitung yang menetap di tepi muara Sungai Kerucuk yang terletak di seberang Pelabuhan Tanjung Pandan.
Mereka dikenal sebagai nelayan penangkap ikan yang ulung, mahir membuat berbagai jenis perahu, dan ahli navigasi.
Sebagaimana namanya, suku Laut sangat mencintai laut. Sebelum menetap di Desa Juru Seberang tahun 1985, suku tersebut benar-benar menjadi ”manusia perahu” yang hidup di atas perahu di tengah lautan. Mereka melakukan segala kegiatan di atas perahu dan membangun kebudayaan laut yang unik.
”Kami lahir, besar, menikah, dan bekerja di atas laut. Kami tidak bisa dilepaskan dari laut karena laut itulah hidup kami,” kata Ketua suku Laut Menan. Menan menggantikan posisi ketua adat sebelumnya, Inal, sejak tahun 1986. Sebelum Inal, suku itu dipimpin ketua adat yang bernama Tumpak.
Setelah menetap di Desa Juru Seberang hingga sekarang, suku Laut masih terus berpetualang sampai bermil-mil ke laut lepas. Dengan mengandalkan jaring atau pancing tradisional, mereka bisa menangkap berbagai jenis ikan, seperti kakap, tenggiri, ilak, terisi, atau bawal.
Mereka juga terbiasa berburu cumi-cumi di malam hari dan menyelam dengan kompresor untuk menangkap teripang atau ketimun laut (holothurians). Hasil tangkapan dijual di pelabuhan yang disinggahi atau pasar ikan terdekat.
Sekitar tahun 1980-an, teripang, atau biasa disebut gamat, menjadi primadona komoditas laut. Karena dianggap bergizi tinggi dan bisa bermanfaat untuk pengobatan, teripang menjadi produk yang sangat mahal.
Para nelayan suku Laut dikenal sebagai pemburu teripang yang sangat andal. Hanya bermodalkan perangkat seperti kompresor mereka mampu menyelam sampai kedalaman puluhan meter ke dasar laut.
”Kalau bisa menyelam sampai kedalaman 30 meter dan dapat teripang super, untungnya besar. Satu kilogram teripang kering bisa laku antara Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,” kata Jima (38), anggota suku Laut yang tinggal di pinggiran Sungai Kerucuk. Teripang super yang dimaksud adalah teripang pasir (holothuria scabra) yang banyak diburu untuk bahan pengobatan.
Di laut berabad-abad
Menurut sejarawan yang menjadi Ketua Kelompok Peduli Budaya Belitung Kabupaten Balitung Salim Yan Albers Hoogstad, suku Laut termasuk ras Proto Melayu yang memilih tinggal di laut sejak abad-abad permulaan Masehi.
Eksistensi mereka tercatat dalam naskah-naskah peneliti Belanda saat menjajah Indonesia. Belanda menempatkan suku Laut dalam lapisan sosial di atas suku Melayu yang berada di tingkat keempat. Peringkat pertama ditempati Belanda, peringkat kedua warga keturunan China.
”Belanda membutuhkan suku Laut karena mereka termasuk pekerja keras. Mereka juga dikenal sebagai pelaut ulung yang dapat menangkap ikan-ikan besar tanpa merusak lingkungan laut,” kata Salim Yah.
Suku Laut juga dihargai karena memiliki seni budaya yang unik, terutama tari dan pantun. Salah satunya adalah tari campak laut, yaitu tarian yang dilakukan dalam iringan musik sambil berbalas pantun.
Pantun sering dimuati petuah-petuah nenek moyang dalam menjalani hidup. Penari yang tidak bisa membalas pantun dianggap kalah.
Bentuk seni lain adalah tari tombak duyung. Tari ekspresif itu dibawakan nelayan andal yang mampu memeragakan atraksi menombak ikan duyung di laut.
Ada juga tarian cap dengan penari yang memakai topi bermantra sambil terus berjoget hingga kerasukan roh nenek moyang. Berbagai bentuk seni itu sering ditampilkan dalam upacara Buang Jong yang diselenggarakan setiap tahun.
Namun, belakangan ini eksistensi suku Laut semakin terancam oleh desakan nelayan bermodal besar dari berbagai daerah atau mancanegara yang memiliki teknologi modern. Mereka lebih gesit mencari ikan karena menggunakan kapal besar yang dilengkapi radar pemantau ikan dan navigasi canggih.
Demi menangkap berton-ton ikan secara cepat, mereka tidak segan menggunakan jaring pukat atau kunsi, dinamit, dan bahan kimia seperti putas. Akibatnya, ekosistem laut semakin rusak dan banyak ikan yang masih kecil terbunuh sia-sia.
Situasi itu sempat diprotes puluhan nelayan suku Laut dengan berunjuk rasa di depan Kantor Dinas Perikanan Kabupaten Belitung tahun 2002 lalu. Saat melaut, suku itu aktif memperingatkan nelayan yang kepergok menggunakan alat yang merusak lingkungan. Namun, ketika pemerintah kurang konsisten menindak kejahatan lingkungan, praktik penangkapan ikan yang menghancurkan ekosistem laut terus berlanjut hingga sekarang.
”Sekarang ini sudah tidak bisa bilang apa-apa lagi. Setelah karang, terumbu karang, dan lingkungan laut hancur, semakin sulit saja mencari ikan, apalagi teripang. Mungkin yang tersisa hanya teripang jenis karang atau lontong yang harganya murah. Kadang kami sudah putar-putar di laut, tetapi terpaksa pulang dengan tangan hampa,” kata Menan.
Situasi itu bertambah runyam setelah harga bahan bakar minyak makin melambung sehingga biaya melaut pun melonjak. Untuk melaut dengan perahu kecil bermuatan lima nelayan dalam waktu lima hari saja, setidaknya dibutuhkan modal Rp 1,5 juta. Modal itu untuk membeli es balok, solar, sewa kapal, dan makanan. Setelah pulang, mereka biasanya hanya bisa membawa 100 kg ikan campuran yang laku dijual Rp 500.000.
”Uang itu dibagi untuk lima nelayan, masing-masing Rp 100.000. Hasilnya tipis sehingga modal enggak tertutupi. Kadang malah pulang tanpa membawa apa-apa,” kata Badung (53), nelayan suku Laut.
Situasi serba sulit ini mendorong beberapa anggota suku terpaksa meninggalkan kerja mencari ikan dan melirik pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, seperti mencari besi tua di dasar laut, menambang timah, atau menjadi buruh serabutan. Mereka yang bertahan melaut tetapi bermodal cekak, mudah terjerat utang para tengkulak.
Menurut Ketua Lembaga Adat Provinsi Bangka-Belitung Suhaimi Sulaiman, eksistensi dan budaya suku Laut hendaknya dijaga sebagai salah satu kekayaan tradisi Belitung. Kekayaan itu penting sebagai rujukan sejarah di tengah minimnya tradisi lokal di Bangka-Belitung yang tumbuh sejak awal Masehi.
Budayawan Willy Siswanto mengatakan, keberadaan suku Laut merupakan aset kultural yang memberikan acuan untuk mengidentifikasi budaya Bangka-Belitung.
”Budaya suku Laut memberikan sudut pandang yang lebih bijak di tengah hasrat masyarakat yang bernafsu menggerus alam untuk mengeruk keuntungan. Komitmen mereka untuk menjaga laut dapat dijadikan cermin penyadaran bahwa hidup harus selaras dengan alam,” katanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar