Kandangan, Kompas - Pesta adat aruh mahanyari atau selamatan untuk menikmati panen perdana bagi komunitas adat Dayak Meratus yang tinggal di Perbukitan Meratus berlangsung meriah. Aruh itu mereka yakini sebagai salah satu hari besar dalam agama atau kepercayaan Kaharingan yang mereka anut. Tamu dari berbagai balai atau rumah adat berdatangan untuk mengikuti perayaan tersebut.
Pesta adat berlangsung meriah sehari semalam tanpa keterlibatan pihak luar, termasuk pemerintah, bahkan acara tersebut juga sepi dari kunjungan turis. Hingga kini komunitas Dayak Meratus memang mandiri, baik dalam membangun sistem komunal kehidupan mereka maupun dalam penyelenggaraan keagamaan.
Pelaksanaan aruh mahanyari atau selamatan menikmati panen perdana padi organik yang mereka tanam di bukit itu berlangsung sejak Sabtu pagi hingga Minggu (22/5) dini hari. Acara persiapan dimulai pada pagi hari dengan membuat lamang, yaitu ketan yang dibakar di dalam buluh bambu.
Malam harinya merupakan acara puncak. Para tamu dari berbagai balai yang diundang secara lisan berdatangan. Para undangan datang dari bukit lain dengan cara berjalan kaki sehari penuh melintasi hutan rimba Pegunungan Meratus.
"Mereka hadir sebagai penghormatan kepada balai yang sedang melaksanakan aruh, sekaligus sebagai solidaritas antarbalai yang memiliki adat yang sama," kata Udin (25), pemuda Balai Kacang Parang. Setiap balai (satuan komunitas terkecil Dayak Meratus) memiliki jadwal aruh yang berbeda dan setiap balai selalu mengirimkan perwakilannya untuk mendatangi aruh.
"Bamamang"
Aruh yang puncaknya selalu dilaksanakan di dalam balai dan malam hari merupakan peristiwa yang mulai langka dan hanya bisa disaksikan di Perbukitan Meratus yang jauh dari penetrasi budaya kota. Kepala Adat Balai Kacang Parang, Ongkox (50), malam itu langsung memimpin pelaksanaan aruh dengan acara bamamang, yaitu berdoa untuk mengungkapkan syukur atas panen yang diberikan.
Bamamang juga merupakan ritual memanggil roh-roh leluhur agar hadir dalam acara tersebut. Seusai bamamang, acara diselingi dengan bakanjar, yaitu tarian pemuda menggambarkan keperkasaan elang yang melambai-lambai di Perbukitan Meratus.
Seusai bakanjar, para balian-rohaniawan dalam agama atau kepercayaan Kaharingan-yang berasal dari berbagai perwakilan balai memulai ritual batandik. Batandik merupakan ritual seperti menari yang khusus hanya dilakukan oleh mereka yang sudah mendapatkan gelar balian.
Batandik ini mereka gelar semalam suntuk yang diiringi oleh tabuhan gendang kulit yang ditabuh para perempuan serta diiringi kecrekan gelang hiang yang dipegang oleh masing-masing balian. Acara yang menguras energi balian tersebut berlangsung dari pukul 22.00 hingga pukul 08.00 pagi.
Kegiatan aruh ditutup dengan acara makan besar dan pembagian beras serta lamang kepada para pengunjung. "Masing-masing keluarga yang panen wajib merelakan sejumlah beras yang diberikan kepada pengunjung, ini namanya berbagi agar warga yang belum panen bisa ikut menikmati padi kami," kata Ongkox.
Acara meriah tersebut berlangsung tanpa dikunjungi satu wisatawan pun. Panen, menggarap ladang, menanam padi, dan memeliharanya merupakan acara unik di komunitas Dayak Meratus karena bagi mereka merupakan bagian ritual hidup. Hanya saja, acara-acara unik seperti itu jarang dipromosikan pemerintah sebagai aset daerah yang bisa menarik perhatian wisatawan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar