Selasa, 13 Oktober 2009

Reog, Pesona Singa Barong dari Tanah Ponorogo

Boleh jadi, Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang cepat beradaptasi dan cepat pula digemari. Dari sisi penampilan, kesenian ini memang menjanjikan kemegahan. Dua dadak merak yang menjadi ikon kesenian ini, adalah jaminan mutu penonton terpesona. Konon, berat dadak merak ini sekira 50 kg. "Itu kalau dalam keadaan tidak ada angin. Kalau ada angin, bisa mencapai 75 kg atau bahkan lebih," ungkap Sunardi, seniman Reog menjelang Festival Reog di Jakarta, September lalu.

Dari sisi bunyi, kesenian reog jelas menawarkan keriuhan. Para pengiring yang menabuh berbagai alat musik tradisi seperti terompet, gendang, kempul, saron, dan lain-lain ini bisa mencapai 20 orang.

Dua faktor inilah yang mungkin telah menghipnotis masyarakat di mana paguyuban reog itu berada. Sehingga, menurut HT Yulianto yang bertindak sebagai Ketua Paguyuban Reog Ponorogo wilayah Jabodetabek, grup-grup reog di Jakarta dan sekitarnya kini memiliki anggota dari berbagai etnis.

Maka janganlah heran, jika kesenian yang dibawa para "pengembara" dari tanah Jawa ke berbagai belahan dunia ini di negeri Jiran kesenian tersebut juga cepat berkembang. Cuma sayang disayang, entah karena gelap mata atau kepingin "menggoda" sentimen kebangsaan kita, Malaysia secara sepihak mengklaim bahwa reog berasal dari Malaysia.

Kontroversi ini bermula saat tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo.

Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan "Malaysia" dan diaku sebagai warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Buntutnya, sekitar 2.000 warga masyarakat, tokoh dan artis reog Ponorogo menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kedubes Malaysia, Jakarta Selatan, Kamis (29/11) pagi.

Mereka menggelar spanduk yang mengecam Malaysia, seperti "Malaysia Plagiat Reog Ponorogo" atau "Stop Penjiplakan". Mereka juga menggelar aksi 50 reog Ponorogo yang memenuhi ruas Jalan Rasuna Said atau di depan Kedubes Malaysia, dengan diiringi irama gamelan yang nyaring.

"Aksi ini merupakan bentuk keprihatinan kami atas sikap Malaysia yang telah menjiplak reog Ponorogo," kata Ketua Paguyuban Reog Ponorogo Indonesia, Begug Poernomosidi. Sikap senada juga disuarakan oleh Tritomo, pengurus Paguyuban Reog Indonesia DKI Jakarta, menyesalkan sikap pemerintah Malaysia yang telah menjiplak kesenian Ponorogo.

Dalam acara itu juga, tiga perwakilan pengunjuk rasa diterima oleh Kedubes Malaysia untuk menyampaikan kesenian Reog Ponorogo merupakan kesenian asli Indonesia. "Tapi syukurlah, melalui duta besar Malaysia di Jakarta, pihak Malaysia sudah mafhum tentang asal-usul reog. Mereka telah mengakui bahwa reog berasal dari tanah Jawa," ujar Yulianto.

Keriuhan dan kemegahan itu memang nyata adanya. Ini bisa kita saksikan saban ada festival reog. Seperti pada festival September lalu, grup Gembong Gati pimpinan Suharno S Pd yang beralamat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, itu disambut meriah oleh para pendukungnya yang rata-rata berbadan atletis dan berambut cepak.

Suara terompet terus menjerit-jerit memekakkan gendang telinga, tapi lengkingan terompet itu justru kian membuat para penonton antusias memberikan tepukan yang panjang untuk kelompok Gembong Jati.

Lalu muncul enam warok muda dan dua warok tua. Mereka berdoa sejenak di tengah panggung, dilanjutkan dengan menari ala ksatria yang saling memamerkan kedigdayaan mereka dalam olah kanuragan.

Tak lama kemudian, muncul para penari jathil yang dibawakan oleh enam penari wanita yang menunggang kuda (lumping). Mereka segera menari di panggung turut memeriahkan suasana, disusul selanjutnya oleh pemunculan Bujangganong dan Klono. Pemunculan terakhir ditutup oleh sepasang dadak merak.

* * *

Secara sederhana, ada lima fragmen tarian disajikan dalam penampilan kelompok reog:
1. Tari warok (prajurit sakti).
2. Tari jathil (penggambaran prajurit berkuda)
3. Bujangganong (patih buruk rupa yang jujur).
4. Tari Klana (Raja Klana Sewandono).
5. Dadak Merak (burung mjerak yang naik di atas harimau).

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.

Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari rekan raja yang beretnis Cina dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda, dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuler Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dengan ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ’kerasukan’ saat mementaskan tariannya.

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. Mereka menganut garis keturunan parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Di sini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, di mana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar