Selasa, 13 Oktober 2009

Suku Boti yang Kian Terancam

Sebuah alat berat berhenti beroperasi setelah unjuk rasa warga Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang menolak penambangan marmer PT Tedja Sekawan di Gunung Fatumnasi.
Tidak mudah menemui suku Boti di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Suku ini persisnya bermukim di perkampungan Boti, Kecamatan Kie. Perjalanan ke kawasan tersebut diwarnai dengan naik-turun bukit dan jurang terjal serta tikungan berbahaya.

Akibat hujan deras beberapa waktu lalu, jalan pengerasan menuju Boti kini telah berlubang-lubang dan hanya dapat dilalui kendaraan roda empat sejenis untuk offroad.

Suku Boti yang tinggal di bagian selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah suku kuno di pedalaman Pulau Timor. Mereka tinggal di dua wilayah, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam 307 jiwa, sedangkan Boti Luar lebih dari 2.500 jiwa.

Boti Dalam mewarisi dan mempraktikkan semua tradisi lokal yang masih unik dengan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi. Boti Luar sudah beragama, yakni ada yang menganut agama Kristen Protestan dan ada pula yang meyakini agama Katolik.

Meski sama-sama tinggal di Desa Boti, penduduk Boti Dalam tinggal di areal tersendiri, seluas 3.000 meter persegi yang diberi pagar kayu. Adapun Boti Luar menyebar di berbagai lokasi di desa tersebut.

Selain itu, penduduk Boti Dalam hanya mengenakan kain sarung hasil tenunan perempuan Boti, dan membiarkan rambut mereka (baik laki-laki maupun perempuan) memanjang sampai pinggul. Setiap pria dewasa diwajibkan mengonde rambut mereka.

Namun, belakangan ini sejumlah pemuda tidak bersedia mengonde rambut panjang mereka dan memilih membiarkannya terurai dengan alasan belum menikah. Kepala Suku Boti Dalam, Namah Benu, menilai, sikap ini adalah bagian dari pengaruh yang turut mengancam keberadaan sukunya.

Sampai tahun 1990 mereka hanya mengenal sistem pengobatan tradisional. Namun, setelah puskesmas dengan tenaga kesehatan masuk ke daerah itu, mereka mulai berobat ke puskesmas.

Sejumlah tata cara pengobatan tradisional dengan pengenalan terhadap tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan mulai ditinggalkan. Bahkan, di rumah-rumah mulai disimpan obat-obat buatan pabrik.

Penyuluhan keluarga berencana pun sudah masuk ke desa tersebut. Jumlah anggota keluarga yang sebelumnya sampai 15 orang, kini hanya 3-5 orang.

Untuk masuk ke Boti Dalam, pengunjung pada umumnya harus terlebih dahulu membuka pintu pagar kayu-bak gerbang desa mereka. Pintu itu selalu dalam keadaan tertutup.

Penjaga pintu
Konon pada masa lalu ada penjaga pintu yang berdiri sepanjang hari di depan pintu tersebut. Kini hal itu tidak lagi dilakukan. Setiap tamu pun tidak lagi disuguhi sirih pinang atau tembakau seperti di masa silam. Mereka tampaknya makin terbuka pada dunia luar.

Kepala Suku Boti Dalam yang ditemui akhir Maret lalu mengutarakan, suku ini tidak bisa menghindar dari kehidupan modern. Pertemuan dengan masyarakat dari luar Boti yang sudah berlangsung lama membuat mereka mau tidak mau harus mengikuti perkembangan zaman.

Satu persoalan yang sangat rumit dihadapi masyarakat Boti Dalam adalah pendidikan. Generasi muda Boti Dalam tidak bisa mengenyam pendidikan SMP atau yang lebih tinggi lagi.

"Sekolah dasar pun banyak yang hanya sampai kelas III. Sekolah di sini selalu menuntut ada surat baptis bagi setiap murid sebagai tanda bahwa dia penganut agama Kristen," ungkap Namah.

Padahal, banyak warga Boti Dalam yang bercita-cita menjadi perawat, guru, dokter, atau pejabat pemerintahan. "Mereka pasrah, dan menyerahkan pekerjaan seperti itu kepada orang lain, terutama suku Boti Luar, yang sudah menganut agama Kristen," kata Namah lagi.

Ia juga mengeluh, kebijakan di bidang pendidikan itu berubah-ubah, tergantung Kepala SD setempat. "Ada satu anak Boti Dalam yang diberi izin mengikuti pendidikan sampai di perguruan tinggi. Ia bebas dari persyaratan memiliki surat baptis waktu masuk SD," kata Namah.

Tenun ikat
Penduduk pada umumnya mengenakan pakaian tradisional berupa kain sarung tenun ikat. Kain itu diikatkan pada pinggang. Khusus kaum pria, mereka biasanya selalu membawa tas kecil yang terbuat dari daun lontar. Isinya, sirih pinang, tembakau, dan kapur. Selain itu, mereka juga menggunakan ikat pinggang yang terbuat dari tali. Pada bagian ini digantungkan parang yang dilapisi kayu, sebagai senjata
tradisional mereka.

Hampir semua anggota suku Boti Dalam sudah bisa berbahasa Indonesia, meski belum sempurna dibandingkan dengan Boti Luar. Namun, mereka dapat memahami lawan bicara dan menjawab setiap pertanyaan secara baik.

Ketika berkunjung ke rumah tinggal Namah Benu, Kompas melihat dua buku tamu yang sudah penuh catatan tamu, termasuk Bupati Timor Tengah Selatan Daniel Banunaek dan sejumlah turis asing. Setidaknya tercatat 5.000-an tamu sejak tahun 2004.

Mereka yang berkunjung belakangan ini biasanya disuguhi makanan khas masyarakat setempat, yakni singkong rebus dan pisang rebus, yang dilengkapi dengan kopi atau teh manis.

"Siapa pun tamu yang datang, dia harus mencicipi makanan khas Boti ini sebelum pulang. Memang makanan ini tidak layak bagi orang kota, tetapi kami selalu menunjukkan kondisi kami apa adanya," tutur Namah.

Ia tidak sependapat jika dikatakan bahwa keaslian Boti sudah punah setelah kematian Kepala Suku Besar Boti Dalam, Nune Benu, pada tahun 2005. Sebelum meninggal pada usia 80 tahun, Nune Benu telah mewariskan kepemimpinannya kepada anak laki-laki pertamanya, Namah Benu.

Menjelang kematian Nune Benu, Namah Benu berlutut dan bersumpah tidak akan pernah mengikuti ajaran dari luar, sampai melupakan semua warisan leluhur yang ada.

Meski demikian, lanjut Namah, belakangan ini dia tidak mampu berbuat banyak. "Mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Saat itu pula, tanpa disadari sejumlah unsur budaya luar masuk," katanya pasrah.

Namun, ia menegaskan bahwa kepercayaan dasar Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi, tidak akan mereka tinggalkan. Mereka juga tidak akan mengenakan celana panjang atau rok pendek seperti masyarakat modern.

Warga Boti Dalam juga pergi ke pasar utama di Niki-niki untuk berbelanja, kecuali Namah Benu. Hanya warga biasa atau pesuruh yang keluar kampung untuk berbelanja. Di sana mereka menjual hasil pertanian kemudian membeli ikan, gula pasir, teh, kopi, rokok, minyak tanah, dan kebutuhan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar