Upacara Adat Pemasangan Tugu Kampung Budaya Sindang Barang, Warisan Tradisi Lelulur Sunda Yang Terlupakan
Mengikuti detik demi detik prosesi upacara adat Ungkal Biang sebagai warisan tradisi leluhur Sunda di Kampung Budaya Sindang Barang seperti kembali ke masa lalu. Berbagai kesenian tradisional yang hampir punah tampil kembali secara unik dan memikat. Kesemuanya semakin menggambarkan betapa kayanya alam, seni dan budaya bangsa ini.
Suara khas alunan musik sunda sayup-sayup mulai terdengar begitu langkah kaki saya memasuki daerah yang terlihat begitu asri. Pemandangan sawah yang terbentang luas dengan latar belakang bangunan-bangunan kampung sunda tempo dulu membuat panorama disekitarnya menjadi sangat berbeda, khas dan indah. Kampung Budaya Sindang Barang, itulah nama kampung adat yang berada di wilayah selatan Bogor atau tepatnya di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
Saat saya berkunjung ke kampung tersebut, Minggu 16 Nopember 2008, kebetulan memang sedang berlangsung puncak acara upacara adat Ungkal Biang. Menurut Pak Ulung, salah seorang tokoh kesenian di kampung tersebut mengatakan bahwa Ungkal Biang adalah upacara Pemasangan Batu atau Pembuatan Tugu atau Monumen sebagai simbol berdirinya satu kampung. “Ungkal Biang merupakan salah satu tradisi masyarakat sunda lama yang harus dipertahankan. Upacara adat ini dulu biasa dilakukan sebagai simbol atau tanda berdirinya suatu kampung atau daerah. Masyarakat sekarang menyebutnya dengan tugu atau monumen. Batu yang dijadikan penanda atau tugu berdirinya Kampung Budaya Sindang Sendiri diambil dari Kali Pamali yang letaknya tidak jauh dari kampung,” terang Pak Ulung.
Ungkal Biang
Sekitar pukul setengah sepuluh terlihat rombongan arak-arakan yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian tradisional sunda. Yang menarik dan unik dari arak-arakan ini adalah rombongan bapak-bapak membawa tumpengan dengan iringan angklung dan kendang yang dimainkan oleh rombongan ibu-ibu. Kesenian yang bernama ngarak tumpeng menjadi penanda dimulainya upacara adat Ungkal Biang. Rombongan keseningan ngarak tumpeng terus berjalan sampai memasuki areal Kampung Budaya Sindang Barang dimana lokasi upacara adat Ungkal Biang berlangsung. Kemudian seluruh tumpeng diletakkan di teras Imah Gede atau rumah besar yang merupakan tempat tinggal Pupuhu atau Kepala Adat Kampung Budaya Sindang Barang, Bapak Ahmad Maki Sumawijaya.
Setelah sambutan dari Bapak Ahmad Maki Sumawijaya, selaku kepala adat, acara pemancangan batu pun dimulai. Lokasi pemancangan batu itu sendiri terletak disisi kanan depan dari Iman Gede. Kesenian musik tradisional angklung dan kendang terus dimainkan selama prosesi acara berlangsung. Sebagai pelengkap prosesi upacara tidak ketinggalan sesajen yang terdiri dari kembang, kemenyan, sirih, air doa bercampur kembang, kolang-kaling, nasi putih dan beberapa benda lainnya yang telah disiapkan di atas meja. Prosesi acara dipimpin oleh salah seorang kokolot atau orang yang dituakan di kampung tersebut.
Seekor ayam jantan putih diletakkan terlebih dahulu di atas batu besar setinggi kira-kira 1 meter sebelum akhirnya ayam tersebut di angkat kembali. Kemudian batu tersebut diangkat beramai-ramai hingga dapat berdiri tegak ditempat yang telah ditentukan. Selama prosesi pemancangan batu tersebut asap dari kemenyan yang dibakar menyebar mengeluarkan aromanya yang khas. Setelah batu dianggap telah berdiri dengan kokoh, kembali ayam jantai putih diletakkan di atas batu tersebut beberapa saat dan selanjutnya dilepas kembali dengan cara diterbangkan.
Prosesi dilanjutkan dengan menyiramkan air doa becampur kembang di atas batu. Air doa bercampur kembang bukan hanya disiramkan ke atas batu tetapi juga di cipratkan ke para tamu yang berada di sekeliling batu. Acara kemudian ditutup dengan doa dan makan nasi tumpeng bersama termasuk para tamu yang hadir pada acara tersebut.
Hiburan
Untuk menghibur para tamu yang hadir pada upacara adat Ungkal Biang, beberapa kesenian tradisional sunda asli Bogor yang sudah hampir punah dikenalkan kembali disini. Dimulai dengan gendang pencak – semacam seni bela diri pencak silat yang diperagakan seorang pria dengan iringan gamelan sunda. Kemudian tari jaipongan yang menampilkan beberapa anak gadis berusian antara 12-17 tahun. Dalam tari jaipongan ini penari-penarinya cukup interaktif karena para penonton juga diajak serta untuk menari bersama.
Hiburan lainnya yang unik adalah drama musikal sunda yang disebut ngagondang. Menurut abah Encem, seorang Kokolot Kampung Budaya Sindang Barang, kesenian ini sebagai sarana hiburan setelah panen. “Dulu ngagondang biasanya dimainkan oleh 6 orang istri atau wanita yang masih gadis dan 7 pria yang masih perjaka. Ada juga alu dan lesung yang disebut tutunggalan sebagai perlengkapannya. Namun, sekarang lelaki yang bukan perjaka juga boleh tempil, Dan biasanya dilakukan setelah panen” terang abah Encem. Drama musikal sundaini isinya biasanya menggambarkan pergaulan para pemuda sunda pada jaman dulu. Seperti terlihat dalam salah satu adegannya ketika para wanita sedang menumbuk padi, para pria datang menggodanya.
Kemudian ada lagi kesenian Reog, yaitu salah satu kesenian tradisional sunda asli Bogor yang juga hampir punah. Kesenian Reog sendiri merupakan hiburan semacam grup lawak, dimana setiap pemainnya membawa kendang sendiri-sendiri sambil berbicara satu sama lainnya.
Sebagai penutup ditampilkan kesenian tradisional sunda yang sangat unik yaitu Parebut Seeng. Kesenian ini diperagakan oleh beberapa pasang pria yang berkelahi menggunakan seni beladiri sunda pencak untuk memperebutkan seeng atau dandang – alat untuk menanak nasi yang biasa digunakan pada jaman dulu. Ini merupakan salah salah satu dari kesenian yang unik dan menarik yang pernah saya lihat. Sepasang pria berkelahi dimana salah satunya menggendong seeng atau dandang dipunggungnya dan lawannya berusaha untuk merebutnya. Permaianan ini akan berakhir begitu pria tersebut berhasil merebut seeng dari lawannya.
Sungguh merupakan sebuah pengalaman yang berharga dapat melihat salah satu upacara adat tradisioanl Sunda, Ungkal Biang, yang biasanya dilakukan hanya sekali pada satu kampung atau daerah pada jaman dulu. Termasuk tentunya menyaksikan berbagai kesenian trasional sunda yang hampir punah. Menyaksikan semua itu terasa betapa kayanya negeri ini dengan berbagai budaya, kesenian dan alamnya. Maka sepatutnyalah kita bangga dan bersyukur telah menjadi bagian dari anak di Bumi Nusantara ini.
Sabtu, 10 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar