Sabtu, 10 Oktober 2009

Maulid Adat di Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Kab. Lombok Utara

MAULID atau Maulud atau Maulidan pada hakekatnya adalah memperingati hari kelahiran junjungan alam Nabi kita Muhammad SAW, yang bertepatan dengan tanggal 12 rabiul awal. Namun bagi masyarakat di Desa Sesait Kecamatan Kayangan Lombok Utara, maulid bukan sekedar memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi sekaligus memperingati atau menapak tilasi proses penyebaran islam pertama di daerah tersebut. Sehingga acara maulid di desa yang bertetangga dengan “Kampung Budaya” Bayan tersebut umumnya terbagi dua yakni maulid Nabi Muhammad SAW dan Maulid Adat.

Sebagai putra asli dari desa sesait, saya merasa perlu berbagi cerita tentang pelaksanaan maulid adat warisan para leluhur kami yang sarat dengan nuansa budaya tersebut. Mudah-mudahan cerita ini bisa memberi sedikit penerang karena ada anggapan dari luar, bahwa maulid adat yang kami gelar lebih bernuansa animisme, ketimbang syi’ar Islam.

Disebut maulid adat karena lebih menitik beratkan pada acara adat yakni peringatan atau menapak tilas sejarah perkembangan islam di daerah Sesait dan sekitarnya ternasuk hingga ke Kecamatan Bayan, yang pada saat itu dan masih di jajah oleh kerajaan Hindu dari Bali (sebagian besar wilayah Lombok Barat masih dikuasai Kerajaan Kelungkung dan Karangasem). Kegiatan maulidan tersebut oleh para leluhur kami memang sengaja di kemas sebagai kegiatan budaya untuk mengelabui para penguasa (kerajaan Hindu) pada zaman itu.

Acara maulid adat biasanya di ikuti oleh seluruh warga desa yang ada di kecamatan Kayangan dan sekitarnya dalam satu waktu dan tempat yang sama secara bersama-sama. Proses pelaksanaannya pun tidak terlepas dari unsur-unsur adat, melalui berbagai tahapan yang memerlukan waktu cukup lama.

Tahap Pertama: ‘Penentuan Praja Maulid’

Melalui rapat adat yang diadakan di balai adat yang disebut “kampu” dipilihlah 6 orang “praja maulid yang terdiri dari praja putri yakni 2 remaja yang belum aqil balig dan 2 wanita yang sudah menopause, serta dua praja laki-laki yang berasal dari anak remaja yang belum aqil balig dan seorang lelaki yang sudah menopause.

Praja merupakan tokoh sentral dan memiliki tugas khusus dalam pelaksanaan maulid adat. Praja putri bertugas mempersiapkan “dulang aji” atau dulang khusus pada acara puncak yang semua masakan di dalamnya harus tawar alias tidak boleh di beri garam. Karena itu sejak mereka terpilih sebagai praja putri, mereka diharuskan tinggal di dalam komplek rumah kampu selama persiapan hingga pelaksanaan maulid adat berakhir yang biasanya berlangsung satu minggu.

Sementara praja putra bertugas menjaga “payung agung” yang berada di satu-satunya pintu masuk masjid tua atau masjid kuno, pada saat acara puncak maulidan. Payung agung yang terbuat dari kain putih tersebut merupakan simbol kesucian yang harus di jaga oleh setiap orang ketika hendak memasuki masjid sebagai tempat ibadah.

Tahap kedua: “pengumpulan bahan makanan dan presean”

Hampir semua warga dari berbagai desa turut berpartisipasi dalam pelaksanaan maulid adat dengan menyumbangkan hasil bumi dan ternak mereka untuk acara puncak, termasuk kayu bakar untuk memasak, beras, ketan ternak dsb. Bahan-bahan tersebut di kumpulkan di dalam rumah kampu. Biasanya acara pengumpulan bahan berlangsung selama tiga hari hingga H-1. Batas pengumpulan bahan makanan bertepatan dengan kedatangan kelompok kesenian tradisional “gong dua” dari arah luar desa pada waktu matahari terbenam. Kesenian gong dua ini bertugas mengiringi proses maulid adat hingga selesai.

Kemudian pada malam harinya selepas Isya, gamelan gong dua mengiringi acara presean yang digelar di halaman masjid kuno. Permainan tradisional saling pukul dengan rotan ini diawali secara simbolis dengan pertarungan antara praja maulid putri, kemudian diteruskan dengan presean sesungguhnya yang menampilkan para “pepadu” dari berbagai desa. Acara presean biasanya berlangsung hingga terbit fajar di bawah cahaya bulan purnama.

tahap ketiga: Acara Puncak Maulid Adat

Puncak acara mauled adapt diawali dengan acara pencucian beras untuk dimasak pada pagi hari, yang melibatkan ratusan perempuan dari anak-anak hingga nenek-nenek berpakaian adat kebaya. Masing-masing menjunjung beras didalam peraras (bakul kecil dari anyaman bambu) menuju sumber mata air yang terletak sekitar 2 kilometer di luar desa. Hal yang unik dari para pembesok beras ini adalah mereka diharuskan memakai pakaian adapt dan tidak boleh beralas kaki. Separuh perjalanan menunju dan kembali dari mata air, iring-iringan pencuci beras yang di pimpin praja maulid putri ini di iringi alunan musik tetabuhan gamelan tradisional “gong dua”. Beras yang sudah di cuci kemudian dikumpulkan kembali di dalam rumah kampu untuk dimasak secara bersama-sama oleh kaum perempuan.


Sedangkan untuk memasak lauk ditugaskan kepada kaum laki-laki yang biasanya dikerjakan secara beramai-ramai di halaman masjid kuno. Jenis dan waktu penyembelihan ternak untuk lauk pun tidak sembarangan. Setiap empat tahun sekali warga menyembelih kerbau, sementara tiga tahun berikutnya hanya boleh menyembelih kambing, dan tahun keempat kembali memotong kerbau. Untuk bahan campuran lauk yang dimasak santan ini juga hanya diperbolehkan menggunakan buah pisang saba, atau dalam bahasa sesait disebut “puntik tawak”.

Selama rangkaian proses maulid adat, kaum perempuan menggunakan pakaian adat kebaya, sedangkan kaum laki-laki menggunakan sabuk penjong atau kain panjang dengan ujung kain menjuntai di bagian depan, lengkap dengan “dodot” atau sabuk selendangnya. Disamping itu laki-laki juga menggunkan ikat kepala “saput” atau udeng. Semua pakaian yang digunakan warga ini memang mirip bahkan sama seperti pakaian adat Bali. Hal itu memang di sengaja dengan maksud untuk menyamarkan kegiatan keagamaan tersebut agar tidak di larang oleh penguasa dari Bali yang menjajah pada waktu itu. Setelah masakan siap, kemudian di sajikan dalam wadah “dulang” yang terbuat dari kayu bersama berbagai macam jajanan dan buah-buahan hasil bumi untuk di naikkan ke masjid kuno pada acara puncak maulid adat yang berlangsung saat matahari tenggelam.

Acara puncak diawali dengan kedatangan rombongan tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pemerintahan serta warga untuk menghias masjid kuno. Rombongan ini dipimpin praja putra anak yang membawa payung agung, bersama praja putra dewasa yang membawa gulungan kain putih. Payung agung ditempatkan di pintu masuk masjid dan dijaga oleh praja putra anak, sedangkan kain putih akan di bentangkan dari atas pintu hingga keatas mimbar masjid. Bentangan kain putih tersebut merupakan simbol awan putih yang selalu menaungi Nabi Muhammad SAW ketika berda’wah menyebarkan islam.

Didalam masjid kuno terdapat empat tiang utama yang disebut “soko guru” yang masing-masing di jaga dan di hias oleh empat pemimpin, yakni Musungan atau kepala desa menghias tiang bagian tenggara menggunakan warna merah melambangkan kekuasaan, Penghulu atau pemimpin agama menghias tiang barat daya menggunakan kain putih sebagai lambang kesucian, Mangku Bumi atau penguasa tanah/bumi menghias tiang bagian timur laut menggunakan warna biru, dan Jintaka atau penguasa pertanian menghias tiang bagian barat laut menggunkan warna kuning yang melambangkan kemakmuran. Seluruh rangkaian kegiatan menghias masjid kuno ini digelar bertepatan dengan waktu shalat ashar tiba dan berakhir saat matahari terbenam atau ketika tiba waktu sahalat magrib. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan para tokoh dan warga dapat mengerjakan shalat berjama’ah tanpa diketahui oleh penguasa hindu yang pada waktu itu melarang warga mengerjakan syari’at islam.

Usai shalat magrib berjama’ah barulah acara inti maulid digelar bersamaan dengan penyajian berbagai hidangan yang ditempatkan dalam dulang kayu. Sebelum acara zikir, do’a dan makan bersama, terlebih dahulu di berikan wejangan atau ceramah oleh tokoh agama tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kiprah beliau menyebarkan ajaran Islam hingga kedatangan Islam di desa tersebut yang konon di sebarkan oleh Sunan Kalijaga, yakni salah seorang anggota Wali Songo dari Jawa.


Gambar 6: Pengantaran dulang dari rumah Kampu ke Masjid Kuno

Selama proses puncak maulid adat yang kadang di barengi dengan alunan gong dan tari-tarian oleh sejumlah warga secara bergilir. Hal itu untuk mengingatkan warga bahwa tetabuhan dan tarian sengaja digelar untuk mengalihkan perhatian penguasa hindu pada waktu itu, agar tidak curiga dengan kegiatan keagamaan di dalam masjid.

Setelah acara maulid selesai di dalam masjid, barulah dilanjutkan dengan “begibung” yakni acara makan bersama seluruh warga di luar masjid, biasanya disekitar rumah kampu dan masjid kuno. Dulang-dulang dibuatkan berjejer rapid an kemudian warga berhadap-hadapan makan bersama. Karena banyaknya warga, acara makan bersama biasanya baru bisa terlayani semua dan selesai hingga tengah malam. Sebagai penutup rangkaian maulid adat, keesokan harinya di gelar acara syukuran sekaligus pencabutan status praja maulid yang berlangsung di dalam rumah kampu.

Demikian cerita singkat tentang maulid adat di desa Sesait, Lombok Utara, selanjutnya pelungguh senamian bisa menilai sendiri, apakah maulid adat yang di gelar masyarakat Lombok Utara termasuk kegiatan syi’ar Islam atau hanya tradisi adat belaka. Setidaknya tulisan ini dapat menambah wawasan kita semua tentang keragaman budaya bangse sasak. Tabek!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar