Senin, 19 Oktober 2009

Merantai Masyarakat Damai

Desa yang biasanya sepi-sepi saja berantai-rantai menjadi semarak pada saat memasuki bulan puasa (Ramadhan). Orang Sunda menyambut bulan puasa dengan bergembira. Bulan suci juga menjadi momen yang sangat tepat untuk berusaha menyucikan jiwa dan raga.

Orang saling memaafkan segala kesalahan dan saling mendoakan agar dapat menjalani ibadah puasa dengan lungsur-langsar. Pria-wanita, tua-muda mengantre untuk kuramas atau diangir (menyucikan diri/mandi besar). Gairah munggah tidak punah. Ngadulag tetap menjadi santapan telinga di bulan yang sarat makna.

Bagi masyarakat Sunda, menurut "bagawan sirnadirasa" RH Hasan Mustapa, dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni: 1985), bulan puasa merupakan bulan yang sangat diistimewakan dibandingkan dengan bulan-bulan lain, dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, anak kecil pun bergembira karena konon di bulan puasa hantu-hantu terbelenggu dan diikat rantai.

Namun, janganlah membayangkan sesosok makhluk menakutkan dibelenggu rantai atau seorang koruptor yang kakinya diikat rantai kangkang. Hantu adalah nama lain dari setan. Tentu saja setan tidak akan berdaya jika masyarakat sepakat untuk mengikat persaudaraan yang erat bak untaian rantai baja. Si kaya memegang erat tangan si miskin; saling mencintai; saling mengasihi; saling berlomba menanamkan benih-benih kebaikan. Bulan puasa benar-benar menjadi waktu yang paling tepat untuk memulai atau memperkokoh cincin-cincin amal sehingga membentuk rantai yang kokoh untuk membelenggu setan.

Ada rantaian tradisi masyarakat Sunda yang secara khusus dilaksanakan dalam menyambut bulan puasa. Di desa dan kota tradisi munggah (menyambut hari pertama puasa) masih terpelihara. Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk mudik dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekadar sahur bersama. Di sana ada silaturahim, berdoa bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan puasa). Kata munggah memang sangat akrab dengan ibadah umat Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji.

Tradisi "papajar"

Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur ada tradisi papajar. Maksudnya tentu menyambut fajar pada awal bulan puasa. Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran. Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Adapun nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata (Kiblat: 2006) berasal dari kata "tadran", yang berarti berziarah ke kuburan.

Namun, sastrawan Dedy Windyagiri berpendapat bahwa nadran bukan berasal dari kata "tadran", melainkan "nadra", maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu (Mangle Nomor 1.852). Kiranya perbedaan itu tidak perlu mengakibatkan putusnya rantai persaudaraan karena yang paling penting adalah itikad dan maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan.

Di Sumedang ada tradisi mawakeun dan ngirim piring. Mawakeun adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang dikemas dalam rantang. Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status ekonomi, saling mengunjungi, dan saling berkirim makanan. Bahkan, bagi seorang anak gadis yang tidak mawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputus.

Tradisi ngirim piring adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan, tetapi biasanya hanya dilakukan dengan tetangga dekat. Piringnya tidak diberikan. Piring hanya media untuk membawa makanan. Biasanya makanan yang dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring.

"Ngabeubeurang"

Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan sarat makna yang dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan puasa. Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Ini jelas menunjukkan adanya aktivitas positif.

Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Ngabuburit adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekadar menahan hanaang dan lapar semata.

Beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan puasa lebih tegas menunjukkan adanya rantai yang merangkai hubungan damai di antara sesama manusia; menjaga hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, saling memberi, dan saling mendoakan. Tentu merupakan amalan yang selaras dengan Islam, yang mengajarkan pentingnya untuk senantiasa merantai hubungan baik dengan tetangga.

Adanya tradisi nadran pun menunjukkan, karakteristik masyarakat Sunda tetap menghormati orang yang lebih dulu meninggal dunia, terlebih jika ia seorang yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan tetap merasakan kehadirannya.

Betapa indahnya merantai masyarakat damai. Dan rantai itu hanya akan terputus jika tradisi-tradisi tersebut punah dibantai budaya yang tidak berdamai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar