Sabtu, 10 Oktober 2009

Jelajah Suku Boti - Timor Barat

Jelajah di Timor Barat? Apa yang menarik? Pertanyaan ini berhenti saat saya putuskan pergi ke Boti, suku asli Timor yang menolak kehidupan modern. Petualangan ini membawa saya seperti pergi ke Timor di awal abad 20 dengan bonus pemandangan alam yang menarik dan budaya serta adat Timor yang menarik


Waktu saya bimbang akan tempat penjelajahan di Timor dari Kupang, seorang teman menyarankan saya pergi ke Boti, satu suku asli Timor yang sampai sekarang menolak kehidupan dan agama modern. Suku yang terletak di satu daerah perbukitan di dekat Soe, kota di Timor Tengah Selatan (TTS), ternyata pernah saya lihat di tayangan teve sebelumnya. Akhirnya dengan bertekad bulat disertai rasa penasaran saya dan rasa bingung saudara-saudara, saya putuskan pergi menjelajahi Boti dari Kupang

Penjelajahan
Dengan menumpang satu bus saya berangkat menuju Soe, tempat perhentian sebelum tiba di Boti. Dengan menyusuri jalan berkelok-kelok, semakin lama cuaca terasa makin sejuk karena jalan membawa saya ke daerah perbukitan. Pemandangan perbukitan membuat sejuk di mata. Ternyata Timor bagian tengah terlihat subur dan cuacanya tidak sekering yang saya duga. Saya juga sempat tertawa melihat babi berteriak protes waktu diikat di belakang bus, ingin rasanya keluar dan mengambil gambar si babi malang, sayang tidak sempat. Sempat juga bingung waktu ditanya kesatuan tempat saya bertugas oleh seorang bapak yang duduk di samping saya. Halaaah, saya disangka tentara, hahahahaha.

Setiba di Soe, tugas pertama adalah mencari hotel atau penginapan yang layak dan murah. Dari rencana menginap di Hotel Bahagia, ternyata saya turun di Hotel Bahagia II yang agak jauh dari pusat kota, dan ternyata ada mobil UN diparkir disana, Walah sepertinya staf PBB urusan pengungsi dan Timtim masih ada di sini. Lanjut makan di warung depan hotel nasi campur dan susu kedelai yang hargaya cukup mahal untuk ukuran Timor, karena saya membayar hampir 20 ribu rupiah, Kok tidak jauh beda dengan harga di Jakarta ya?

Karena ingin mencari hotel yang lebih di tengah kota dan berharga lebih murah, saya mencari tukang ojek yang membawa saya berkeliling karena ternyata hotel Bahagia I sudah penuh juga dengan hotel lainnya. Akhirnya kitab suci para pengelana ciptaan Tony Wheeler (tahu kan???) menyebutkan homestay milik Pae Nope. Waktu saya telepon, seorang wanita tua menjawab dan mengatakan kamar mereka kosong, aaaaah aman untuk urusan hotel dan homestay juga terletak di pusat kota jadi mudah mencari makanan serta supermarket. Karena perlu makanan kecil serta keperluan mandi yang kurang, saya berkunjung ke pasar swalayan yang ternyata harganya tidak beda jauh dengan Jakarta.

Pagi-pagi disaat sedang siap-siap sarapan dan mencari info dan pemandu untuk menuju Boti, ternyata Pae Nope, sang pemilik homestay sudah pulang dan mengajak saya masuk ke rumahnya. Kebetulan sekali, selain dia ada pula para pejabat pariwisata di Soe. Wah saya berasa wartawan karena banyak reporter datang ke Boti mencari bahan berita, hahahahaha. Jadi mereka sempat pikir saya wartawan dari Jakarta. Tapi mereka akhirnya menghadiahi saya VCD tentang pariwisata di TTS.

Menuju Boti
Dengan naik motor "laki" yang dibawa seorang pria bernama Tuan yang dikenalkan Pae Nope, saya mulai perjalanan menuju Boti. Sebelumnya tak lupa makan siang di warung Jawa yang menyajikan makanan murmer dan enak. Jalanan mulus membentang hingga satu simpang sekitar Oenlasi dimana saya membeli minuman dan istirahat sejenak.

Jalan mendadak berubah menjadi sangat terjal, berbukit-bukit yang membuat saya agak repot menahan badan di motor serta ransel di punggung. Untunglah pemandangan alam yang menarik menghibur saya. Setelah melewati beberapa gerbang, saya tiba di perkampungan suku Boti tepatnya di dekat tempat tinggal Kepala Suku Boti.

Tiba di Boti
Ah, saya beruntung sekali, selain pemandu saya ternyata bisa bahasa setempat, ternyata saya datang saat mereka berkumpul secara adat. Adat suku Boti mewajibkan mereka berkumpul setiap hari kesembilan dan disanalah saya berkumpul bersama melihat para tetua pria berbincang-bincang dan para wanita berkumpul untuk menenun. Mereka bahkan datang dari desa-desa yang jauh, bahkan hingga 2 jam untuk berkumpul.

Pakaian orang Boti, meskipun hampir semuanya sudah terbiasa memakai kaus atau kemeja modern tapi mereka tetap teguh memakai kain tradisional melingkari pinggang dan kepala mereka. Kain tradisional yang mereka tenun sendiri tapi ternyata ada juga seorang ibu yang memakai kain batik juga :-P.



Saya sempat kaget ternyata Kepala Suku tidak bisa bahasa Indonesia, untunglah anggota suku lainnya bisa berbahasa Indonesia dan ternyat mereka cukup ramah. Saat melihat buku tamu, walaaah banyak benar tamu mereka dari dalam dan luar negeri. Tapi jarang ada tamu dari Jakarta seperti saya, hehehehe. Sempat saya ditanya kepala suku agar saya tidak takut pergi sendirian ke Boti, walah kalau takut buat apa berangkat. Rombongan yang datang rata-rata berkelompok dan harus memakai mobil khusus 4 WD karena jalan yang aduhai menuju Boti

Malam yang syahdu
Di sore hari para tetua pulang ke rumah masing-masing, suasana makin gelap dan saya baru sadar listrik telah masuk ke rumah kepala suku, yang ternyata disumbangkan dinas pariwisata setempat, tapi tetap saja suara binatang membuat malam terasa lain sekali jauh dari kota.

Pada saat pertama datang, saya tidak berani mencoba sirih. Maklum belum pernah dan takut tidak kuat, akhirnya malah mencoba keripik singkong yang entah mereka beli dimana. Malam itu makan malam terasa nikmat dengan jagung bose, singkong tumbuk, nasi putih, kerupuk dan ayam (kampung) sayur. Saya bahkan suka sekali dengan sambal bubuk mereka yang rasanya enak.

Waktu malam semakin larut, saya sempat berbincang panjang lebar dengan seorang pemuda Boti. Dari hama tanaman di ladang seperti monyet dan kakaktua. Monyet disana bahkan dapat mencabut singkong dari tanah dan akhirnya orang Boti memelihara anjing untuk mengusir monyet pengganggu.

Malam itu diantar suara alam yang bersahutan, ditemani lampu minyak yang temaram, saya bisa tidur dengan nyenyak sendirian di kamar guest house. Suara angin, serangga, hingga suara ternak membentuk satu konser nyanyian alam yang indah.

Selamat pagi
Setelah disegarkan dengan sarapan singkong rebus, kopi dan keripik pisang, saya berkeliling melihat rumah mereka. Khas sekali rumah mereka, dibuat dari gewang, semacam pohon lontar. Dinding rumah dibuat dari daun pohon gewang, tidak seperti bambu di Jawa. Atap rumah dibuat dari ijuk. Gewang, pohon khas Timor, memang banyak gunanya.

Lopo, rumah tradisional Timor, masih digunakan di Boti seperti daerah Timor lainnya. Bentuknya unik, tanpa jendela dan berpintu rendah.

Hari itu saya juga sempat melihat mereka menenun yang hasilnya mereka pakai sendiri dan mereka jual. Tenun ikat mereka indah, warnanya unik. Proses tenun dimulai dari saat mereka memintal benang, mencelup warna hingga akhirnya menenun yang mereka lakukan bersama-sama.


Sebenarnya masih banyak yang saya mau lakukan, dari pergi ke ladang mereka yang letaknya berjam-jam berjalan kaki sampai mencari burung kakaktua namun sayang waktu membatasi.

Sebagai penggila foto, saya sempat memfoto orang-orang Boti dan sempat berjanji akan mengirimkan foto kepada mereka disana sepulangnya saya dari Boti. Album foto di rumah kepala suku bahkan berisi foto-foto karya Photo voices yang mengadakan photo hunting disana. Bahkan ucapan terima kasih dari beberapa stasiun teve dapat juga dilihat di buku tamu yang tebal

Pulang
Setelah makan siang, diantar motor "laki" kembali, saya pulang dengan menuju Oenlasi. Lagi-lagi sempat repot dengan jalanan yang aduhai meski pemandangan alam cantik tersaji di depan mata.

Ternyata tidak perlu lama menunggu di Oenlasi untuk mendapatkan bus menuju Kupang. Sempat saya tergoda menjelajah bagian lain dari TTS hingga Timor Leste namun apadaya waktu terbatas dan lupa membawa paspor. Sepertinya jika Tuhan mengijinkan saya akan mengulangi perjalanan ini di TTS.

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
    beri 4 angka [5377] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 850 JUTA , wassalam.


    BalasHapus