Jumat, 09 Oktober 2009

Yang Unik dan Tersembunyi dari Warga Kemiren

Warna Kasur Sama, Menjemurnya pun Bersama-sama
Bukan suatu kebetulan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan Desa Kemiren sebagai desa wisata Using. Selain keadaan alamnya masih perawan, warganya terkenal jiwa seninya, penghuni tempat ini juga kompak. Bahkan untuk urusan kasur sekalipun.
ALDILA AFRIKARTIKA, Glagah
SEKITAR pukul 10.30 di Kampung Using, Desa Kemiren, Glagah, Banyuwangi. Siang itu, beberapa ibu tampak mengangkat kasur dari dipan kamarnya. Lantas mereka membawa kasur itu keluar rumah untuk dijemur. Agar kasur tidak bersentuhan dengan tanah, di bawahnya diberi kursi. Baru kemudian kasur diletakkan di atas. Aneh, kasur yang dikeluarkan dari beberapa rumah warga itu memiliki motif yang sama. Berwarna merah dan hitam. Uniknya, mereka menjemur dalam waktu bersamaan.
Pemandangan yang sama juga terlihat di beberapa gang di daerah wisata tersebut. Bahkan puluhan kasur juga tampak di pinggir jalan raya menuju perkebunan Kalibendo. Semuanya bermotif dan berwarna sama.
Pemandangan ganjil ini hampir tiap pekan bisa disaksikan di tempat ini. Bagi yang sering melepas penat di wisata alam Perkebunan Kalibendo, Wisata Using, atau Tamansuruh, mungkin sesekali menjumpai. Sebab, konon, tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun. “Saya mengikuti saja apa kata nenek,” ujar Mu’awanah, seorang warga setempat, dengan bahasa Using medok.
Perempuan 55 tahun ini mengaku amat memercayai perintah leluhur. Karena itu, sejak masih kecil, dia menyaksikan ibu dan saudara-saudaranya memiliki kasur yang sama. Saat kondisi kasur sudah dingin dan menipis, ibu dan sudara-saudaranya itu juga menjemurnya di bawah sinar matahari. Tujuannya agar kasur lebih hangat dan empuk. “Mereka selalu melakukan secara bersama-sama,” kata penjual es campur itu.
Hal yang sama juga diakui Nasiah. Wanita 67 tahun ini mengungkapkan, tradisi jemur kasur bersama ini sudah dilakukan sejak dirinya masih kecil. Bahkan, saat dia hendak menikah, ibunya memberi kasur berwarna hitam dan merah sebagai bekal berumah tangga. “Hingga sekarang, mulai dari saya hingga cucu, semua menggunakan kasur berwarna hitam dan merah,” katanya.
Tetua Desa Kemiren Artomoro mengatakan, motif dan warna kasur yang dimiliki warga Kemiren semuanya sama. Yakni hitam dan merah. Penetapan warna itu, kata dia, buka asal-asalan. Ada arti dan maknanya. Bahkan, imbuhnya, wajib hukumnya bagi keluarga mempelai wanita memberikan kasur itu sebagai hadiah untuk calon keluarga baru.
Warna hitam, berarti keabadian atau kelanggengan. Diharapkan, dengan warna itu, calon pengantin bisa langgeng dalam berumah tangga. Sedang warna merah, berarti semangat membara. “Sepasang pengantin harus bersemangat saat menghadapi malam pertama. Karena malam pertama adalah malam yang tidak pernah terlupakan sepanjang hidupnya,” ujar Artomoro.
Yang lebih unik lagi, kasur-kasur tersebut dibuat oleh orang yang sama. Mbah Buang namanya. Pria 75 tahun ini sudah terbiasa menerima pesanan kasur dari tetanggannya. “Sejak masih muda, hingga kini saya masih membuat kasur warisan leluhur itu,” jelasnya. Sayang, profesi Mbah Buang nampaknya akan berhenti saat Mbah Buang berpulang kelak. Ini karena seluruh keturunannya enggan mewarisi pekerjaannya sebagai tukang buat kasur. “Anak-anak saya semua menjadi buruh tani. Tidak ada yang membuat kasur seperti saya,” sesalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar