Mauo ikan di Danau Bakuok
Tiap tahun, ratusan masyarakat Kampar bersama-sama menjala ikan di danau Bakuok. Melanggar etika, didenda seekor kambing.
Saban hari, danau yang terletak di Desa Aur Sati Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar, sekitar 50 kilometer arah barat daya Kota Pekanbaru, Riau itu, sebenarnya sepi. Selain lantaran di sana tidak ada perumahan penduduk, danau yang orang kampung menyebutnya Danau Bokuok itu, lumayan jauh pula dari jalan lintas provinsi yang beraspal, berjarak sekitar enam kilometer. Kalau pun ada orang, paling-paling hanya segelintir saja, memancing ikan di danau yang melingkar sepanjang 15 kilometer itu.
Tapi minggu (2/9) pagi, suasana di danau yang di tengah-tengahnya terdapat pulau menyerupai tanjung itu, sontak ramai. Ribuan masyarakat dari empat belas desa di Kecamatan Tambang, Bangkinang dan Pekanbaru berjubel di sana. Ratusan warung dadakan melengkapi keramaian itu.
Masyarakat tampaknya tidak ingin ketinggalan untuk menyaksikan mauo ikan--menangkap ikan bersama-sama menggunakan jala--sebuah ritual tahunan yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kampar.
Kalau biasanya di danau itu tidak ada perahu, hari itu sekitar 400 perahu berjubel di sana. Di atas perahu itu, ada dua hingga tiga orang laki-laki, lengkap dengan jala masing-masing. Dari atas perahu inilah jala ditebar untuk menangkap ikan.
Matahari beranjak naik. Sekretaris Daerah Provinsi Riau Mambang Mit, Bupati Kampar Burhanuddin Husein, Ketua DPRD Kampar Masnur dan Kepala Dinas Pariwisata Riau Jhoni Irwan, turun ke danau lengkap dengan jala masing-masing. Para pejabat ini menebar jala, sebagai pertanda dimulainya mauo ikan.
Mauo, sudah sejak lama menjadi tradisi bagi masyarakat Kampar yang terdiri atas sembilan persukuan. "Sebelum saya lahir, tradisi ini sudah ada," ujar Khairullah, 34 tahun, salah seorang masyarakat Desa Aur Sati di sela-sela acara.
Tak ada yang tahu pasti, kapan dan seperti apa tradisi mauo ini muncul. Namun menurut ayah tiga anak ini, saban tahun, sekitar bulan Oktober hingga Desember, sungai Kampar selalu banjir. Saat banjir itulah, air meluap hingga ke Danau Bokuok. "Pangkal lingkaran danau ini kan bermula dari sungai Kampar. Ya seperti pintu air lah. Kalau banjir tiba, maka air sungai akan meluap hingga ke danau. Saat itulah dipercayai, ikan-ikan juga masuk ke danau. Kebanyakan ikan yang masuk ikan motan (ikan bersisik putih berduri banyak)," ujar pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambang ini.
abdul aziz
Mauo ikan di Danau Bakuok
Banjir usai. Ikan-ikan diyakini pula akan tinggal di danau itu. Untuk menjaga agar ikan lestari, maka pemuka adat turun tangan. Selain membuat pengumuman larangan menangkap ikan di danau, tiga pucuk daun rumbia yang diikatkan ke tiga bambu pun disiapkan.
"Oleh pemuka adat, tiga batang bambu ini ditancapkan di hilir, tengah dan hulu danau. Kalau itu sudah dilakukan, berarti sejak saat itu pula dimulainya larangan menangkap ikan di danau itu. Semua anak kemenakan--keturunan dari masing-masing suku--pasti mematuhi larangan itu," ujar Khairullah.
Meski dilarang menangkap ikan, bukan berarti anak kemanakan dilarang mendekat ke danau itu. Para pemilik kerbau dibebaskan memelihara kerbaunya di danau hingga ke tanjung. "Di tengah-tengah danau itu kan banyak rumput. Biasanya ratusan ekor kerbau suka ke sana. Selain makan rumput, kerbau-kerbau juga makan lumut dan tumbuhan yang ada di dasar danau," katanya.
Setelah sembilan bulan penghuni danau itu tidak diganggu, persis bulan September tradisi mauo ikan pun dimulai. "Pemuka masyarakat dan pemerintah yang lebih dahulu menebar jala, baru masyarakat. Kalau ini dilanggar, misalnya masyarakat latah mendahului, maka masyarakat itu didenda seekor kambing," ujar Khairullah.
Dulu kata Khairullah, hasil tangkapan masyarakat dari mauo melimpah ruah. Rata-rata penjala bisa mendapat 50-100 kilogram. Ikan hasil tangkapan ini dijual oleh masing-masing penjala. Bukan dibagikan. "Ternyata, hasil tangkapan itu banyak lantaran lumut dan tumbuhan di dasar danau habis dimakan kerbau. Jadi saat mauo, ikan nggak bisa bersembunyi," katanya.
Sekarang katanya, semuanya sudah berubah. Musim banjir sudah tidak rutin lagi. Kerbau tak ada lagi. Tradisi adat juga sudah tidak dipakai. "Jadi sekarang, saat mauo tiba, kalau kedapatan masyarakat yang duluan menjala, sudah tidak didenda lagi. Dan yang bikin miris lagi, hasil tangkapan sudah jauh berkurang. Sekarang yang dapat paling sekitar 5 kilogram saja. Ya mau gimana, saat menjala, jala nggak sampai ke dasar danau lantaran banyaknya tumbuhan dan lumut. Di sinilah ikan sembunyi," ujarnya.
Bupati Kampar Burhanuddin Husein mengatakan, tradisi mauo ini akan terus dilestarikan, lengkap dengan ritualnya. Sebab menurutnya, kegiatan seperti ini merupakan aset berharga yang menarik untuk dikembangkan.
Seperti terhadap beberapa objek wisata lainnya kata Burhanuddin, sarana infrastruktur untuk danau bokuok segera dilengkapi. "Ini kita lakukan lantaran kita berharap obyek wisata ini mampu menarik minat wisatawan di tingkat provinsi maupun nasional. Lantaran itu, masyarakat tempatan pun kita bekali tentang pengetahuan kepariwisataan. Sebab obyek wisata ini tidak saja kita harapkan bisa memberikan pemasukan untuk daerah. Lebih dari itu tentu juga akan bisa memberikan sumber pendapatan baru bagi masyarakatnya," tutur Burhanuddin.
Mauo belum juga usai. Namun beberapa ibu sudah menggelar dagangan di keramaian. Dagangan itu tentu ikan hasil tangkapan tadi. "Di sini, tadi ikan saya tumpuk 13 tumpuk. Satu tumpuk harganya Rp. 5 ribu. Sekarang tinggal satu tumpuk," ujar seorang nenek.
Selasa, 13 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar