A. Selayang Pandang
Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya, selama ratusan tahun, menetap di lautan. Baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan, dan hanya melaut jika ingin mencari hasil laut.
Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang di dalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal). Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yakni antara bulan Agustus-November.
Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyarakat suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka selama mengarungi lautan untuk menangkap ikan.
Keseluruhan proses ritual Buang Jong dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam. Upacara ini sendiri diakhiri dengan melarung miniatur kapal bersama berbagai macam sesaji ke laut. Pascapelarungan, masyarakat suku Sawang dilarang untuk mengarungi lautan hingga tiga hari ke depan.
B. Keistimewaan
Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yakni prosesi menghubungi atau mengundang mahkluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang. Pada saat prosesi Berasik berlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.
Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan menggoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa, ke empat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan, untuk ikut bergabung dalam ritual Buang Jong. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut jitun.
Selain Tarian Ancak, Tari Sambang Tali juga dijadikan salah satu rangkaian acara dalam upacara Buang Jong. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukkan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan hilang arah, burung ini pula yang menunjukkan jalan pulang menuju daratan.
Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual Numbak Duyung, yakni mengikatkan tali pada sebuah pangkal tombak, seraya dibacakan mantra. Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, hingga konon dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Karena itu pula ritual ini disebut dengan Numbak Duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon, jika ikan yang didapat banyak, maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut.
Setelah itu, Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli jong. Pada acara ini, orang darat (penduduk sekitar perkampungan suku Sawang) turut dilibatkan. Karena, jual beli di sini tidak dilakukan dengan menggunakan uang, namun lebih kepada pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta agar orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yakni menyanyikan lagu-lagu khas suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambung dengan Nyalui, yaitu mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal melalui nyanyian.
C. Lokasi
Upacara Buang Jong biasanya diadakan di kawasan pantai yang dekat dengan perkampungan suku Sawang. Salah satunya di Tanjung Pendam, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Indonesia.
D. Akses
Bagi pengunjung yang berasal dari luar Kabupaten Belitung, sangatlah mudah untuk menuju ke Tanjung Pendam, salah satu lokasi diadakannya Upacara Buang Jong. Karena, Bandar Udara H. A. S. Hanandjoeddin berada di Tanjung Pandan. Dari bandara, pengunjung dapat menyewa motor ataupun mobil yang banyak ditawarkan di sekitar bandara.
E. Harga Tiket
Pengunjung yang ingin melihat langsung upacara Buang Jong, tidak dikenakan biaya apapun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Pengunjung yang ingin melihat keseluruhan rangkaian Upacara Buang Jong tidak perlu khawatir untuk mencari penginapan. Di sekitar Kecamatan Tanjung Pandan telah berdiri beberapa hotel. Selain itu, pengunjung juga akan dengan mudah menemui beberapa bank pemerintah dan mesin ATM, jika kehabisan uang selama di Tanjung Pandan. Untuk kemudahan komunikasi, beberapa operator selular nasional telah membuka jaringan di sana.
Catatan : Tradisi ini juga dilakukan di wilayah Kabupaten Bangka Selatan, oleh nelayan asal belitung (suku sawang) yang menetap di pesisir Pulau Bangka bagian selatan
Rabu, 11 November 2009
Petambuli, Membuat Adat Tak Mati Suri
ADA berbagai cara melestarikan tradisi dan adat istiadat kita yang begitu kaya. Salah satunya melalui upacara penikahan. Itulah yang dilakukan keturunan Kerajaan Sigi, di Sulawesi Tengah. Mereka memboyong tanda-tanda kebesaran kerajaan yang pernah jaya itu ke Tolitoli, Sulawesi Tengah, saat pernikahan salah seorang putra keturunan pewaris Kerajaan yang berdiri pada 1650 itu. Ritual penikahan ini adalah perkawinan budaya asli Sigi dengan syariat Islam. Ada adat petambuli sebagai intinya.
Upacara pernikahan a la keturunan Raja Sigi ini tergolong unik. Selain harus menyiapkan sejumlah tanda-tanda kebesaran raja seperti ula-ula, orang-orangan dari kain yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Sang calon mempelai pria juga harus mengenakan pakaian kebesaran raja dan mengunakan siga, penutup kepala khas Kaili, suku terbesar di Sulawesi Tengah. Calon mempelai pria juga diwajibkan menunganggi seekor kuda menuju kediaman calon mempelai wanita. Maklum, Edy Supratman, demikian nama sang calon mempelai pria adalah keturunan pewaris kerajaan Sigi.
Sejumlah tetua adat dan keluarga dekat calon mempelai pria juga mengunakan pakaian berwarna kuning yang merupakan pakaian kebesaran kerajaan Sigi.
Sang calon mempelai pria sepanjang jalan dikawal oleh dua orang Tadulako, pengawal raja dan seorang panglima agar dalam perjalanan menuju rumah mempelai wanita tidak mendapat hambatan dari musuh.
Para Tadulako bertopi tanduk kerbau itu, dipersenjatai dengan guma atau golok perang, tavala atau tombak dengan kaliavo atau tameng. Sepanjang jalan tepukan rebana mengiringi rombongan dari calon mempelai pria. Terasa besar pengaruh Islam atas kerajaan Sigi tempo dulu.
Sepanjang jalan para Tadulako memperlihatkan keahliannya memainkan guma dan tavala. Itu agar tidak ada yang berani menggangu perjalanan sang mempelai pria.
Nah, setibanya di rumah calon mempelai wanita rombongan pasukan dari calon mempelai pria disambut dengan dua orang prajurit utusan dari calon mempelai wanita.
Disini utusan prajurit dari mempelai wanita sempat melancarkan serangan dengan golok dan ditangkis oleh sang panglima dengan tombak sebelum memasuki halaman rumah calon mempelai wanita.
Sebelum, memasuki pintu rumah calon mempelai wanita digelarlah adat petambuli, upacara penghormatan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya. Inilah inti prosesi adat itu. Petambuli dimpimpin dua orang tetua adat dengan mengunakan bahasa Kaili, bahasa ibu suku terbesar di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, sang calon mempelai pria Edi Supratman dan calon mempelai wanita Sitti Maryam dinikahkan sesuai dengan syariat Islam.
Menurut salah seorang tokoh adat, Lassa ritual adat semacam ini dulunya selalu digelar oleh para bangsawan kerajaan Sigi. Kemudian pupus dan tidak lagi pernah digelar karena orang yang ingin semuanya serba praktis dan langsung jadi.
Dipercaya juga pelaksanaan adat pernikahan ini bertujuan memohon bagi sang pencipta alam semesta agar kedua mempelai diberikan keturunan yang baik serta rezeki yang melimpah.
“Jadi penghormatannya dimulai dari teras rumah pria, di jalan dan hingga ke teras rumah wanita. Filosofinya adalah manusia hidup itu harus saling menghormati. Dan semuanya harus berawal dari rumah tangga hinga ke kehidupan mereka sehari-hari, saat bergaul dengan orang lain di lingkungannya.
Diharapkan pelaksanaan ritual ini bisa melestarikan adat istiadat yang dulunya masyhur dan melembaga di Sulawesi Tengah berbilang ribuan tahun lamanya sejak abad 17. Meminjam harapan Lassa, agar adat tidak mati suri.***
Upacara pernikahan a la keturunan Raja Sigi ini tergolong unik. Selain harus menyiapkan sejumlah tanda-tanda kebesaran raja seperti ula-ula, orang-orangan dari kain yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Sang calon mempelai pria juga harus mengenakan pakaian kebesaran raja dan mengunakan siga, penutup kepala khas Kaili, suku terbesar di Sulawesi Tengah. Calon mempelai pria juga diwajibkan menunganggi seekor kuda menuju kediaman calon mempelai wanita. Maklum, Edy Supratman, demikian nama sang calon mempelai pria adalah keturunan pewaris kerajaan Sigi.
Sejumlah tetua adat dan keluarga dekat calon mempelai pria juga mengunakan pakaian berwarna kuning yang merupakan pakaian kebesaran kerajaan Sigi.
Sang calon mempelai pria sepanjang jalan dikawal oleh dua orang Tadulako, pengawal raja dan seorang panglima agar dalam perjalanan menuju rumah mempelai wanita tidak mendapat hambatan dari musuh.
Para Tadulako bertopi tanduk kerbau itu, dipersenjatai dengan guma atau golok perang, tavala atau tombak dengan kaliavo atau tameng. Sepanjang jalan tepukan rebana mengiringi rombongan dari calon mempelai pria. Terasa besar pengaruh Islam atas kerajaan Sigi tempo dulu.
Sepanjang jalan para Tadulako memperlihatkan keahliannya memainkan guma dan tavala. Itu agar tidak ada yang berani menggangu perjalanan sang mempelai pria.
Nah, setibanya di rumah calon mempelai wanita rombongan pasukan dari calon mempelai pria disambut dengan dua orang prajurit utusan dari calon mempelai wanita.
Disini utusan prajurit dari mempelai wanita sempat melancarkan serangan dengan golok dan ditangkis oleh sang panglima dengan tombak sebelum memasuki halaman rumah calon mempelai wanita.
Sebelum, memasuki pintu rumah calon mempelai wanita digelarlah adat petambuli, upacara penghormatan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya. Inilah inti prosesi adat itu. Petambuli dimpimpin dua orang tetua adat dengan mengunakan bahasa Kaili, bahasa ibu suku terbesar di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, sang calon mempelai pria Edi Supratman dan calon mempelai wanita Sitti Maryam dinikahkan sesuai dengan syariat Islam.
Menurut salah seorang tokoh adat, Lassa ritual adat semacam ini dulunya selalu digelar oleh para bangsawan kerajaan Sigi. Kemudian pupus dan tidak lagi pernah digelar karena orang yang ingin semuanya serba praktis dan langsung jadi.
Dipercaya juga pelaksanaan adat pernikahan ini bertujuan memohon bagi sang pencipta alam semesta agar kedua mempelai diberikan keturunan yang baik serta rezeki yang melimpah.
“Jadi penghormatannya dimulai dari teras rumah pria, di jalan dan hingga ke teras rumah wanita. Filosofinya adalah manusia hidup itu harus saling menghormati. Dan semuanya harus berawal dari rumah tangga hinga ke kehidupan mereka sehari-hari, saat bergaul dengan orang lain di lingkungannya.
Diharapkan pelaksanaan ritual ini bisa melestarikan adat istiadat yang dulunya masyhur dan melembaga di Sulawesi Tengah berbilang ribuan tahun lamanya sejak abad 17. Meminjam harapan Lassa, agar adat tidak mati suri.***
Bercocok Tanam Sambil Menyanyikan Pujian
Suku-suku asli di Indonesia mempunyai beragam tradisi bercocok tanam sampai memanen hasil buminya. Ada yang diiringi nyanyian dan musik tradisional. Ada pula yang didahului dengan ritual adat khusus.Suku Lauje, suku asli di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah mempunyai tradisi memulai musim bercocok tanam hingga memanen hasil buminya dengan ritual adat yang unik dan menarik. Saat menanam, biasanya menanam benih padi ladang, mereka melakukannya secara berkelompok dengan diiringi nyanyian.
Sebelumnya didahului dengan menanam tanaman penanda lahan yang akan di tanami. Tanaman yang dipakai biasanya pohon jarak atau mereka menyebutnya balacai.
Tradisi itu dinamai mangetek. Para tetua kampong terlebih dahulu menanam balacai sebagai patokan para anggota suku untuk menanam. Lalu para lelaki dengan menggunakan tugal menggali tanah untuk menanam benih padi ladang. Itu dilakukan sambil menyanyi dengan riang. Isinya berupa pujian kepada Tuhan dan ucapan syukur bahwa tanah mereka subur. Lalu, para perempuan kemudian menebar benih di belakang para lelaki itu.
Tradisi Suku Lauje ini sudah hidup sejak ratusan tahun lalu. Salah satu suku asli di Sulawesi Tengah ini dulunya begitu tertutup. Namun, kini mereka sudah mulai membuka diri dan bergaul dengan kelompok masyarakat lainnya.
Nah, kembali ke cara bercocok tanam tadi. Keunikan tradisinya tidak berhenti sampai di situ saja. Pada saat hendak memanen , lalu menumbuk padi hasil panen mereka ada lagi upacara yang mereka namakan Mengalu. Yaitu menumbuk padi hingga menjadi beras di dalam lesung kayu. Menumbuknya harus berirama. Seringkali juga ditingkahi dengan sorak-sorai.
Meski lubang lesungnya kecil tapi alunya tidak bertumbukkan satu sama lain. Menarik bukan?!
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, Mohammad Rahmatu, tradisi ini terwariskan secara turun-temurun melalui penuturan lisan dan laku.
“Suku Lauje kaya dengan tradisi yang menarik. Coba kita lihat tradisi mangetek dan mengalu yang mereka lakukan, sungguh luar biasa. Puji-pujian yang mereka panjatkan ketika bercocok tanam bisa jadi tidak lagi dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, tapi Suku Lauje masih melestarikanny,” jelas Mohammad.
Suku Lauje di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah merupakan salah satu anak suku Kaili, suku terbesar di daerah ini. Mereka bermukim di lereng-lereng dan lembah di pedalaman, di daerah lumbung padi ini. Anggota komunitas mereka sekitar 1.000 jiwa lebih. Ada yang masih terus bertahan di pedalaman. Ada pula yang sudah membaur dengan masyarakat setempat. Mereka mempunyai banyak tradisi unik dalam bercocok tanam yang hingga kini masih mereka lestarikan.
Sebelumnya didahului dengan menanam tanaman penanda lahan yang akan di tanami. Tanaman yang dipakai biasanya pohon jarak atau mereka menyebutnya balacai.
Tradisi itu dinamai mangetek. Para tetua kampong terlebih dahulu menanam balacai sebagai patokan para anggota suku untuk menanam. Lalu para lelaki dengan menggunakan tugal menggali tanah untuk menanam benih padi ladang. Itu dilakukan sambil menyanyi dengan riang. Isinya berupa pujian kepada Tuhan dan ucapan syukur bahwa tanah mereka subur. Lalu, para perempuan kemudian menebar benih di belakang para lelaki itu.
Tradisi Suku Lauje ini sudah hidup sejak ratusan tahun lalu. Salah satu suku asli di Sulawesi Tengah ini dulunya begitu tertutup. Namun, kini mereka sudah mulai membuka diri dan bergaul dengan kelompok masyarakat lainnya.
Nah, kembali ke cara bercocok tanam tadi. Keunikan tradisinya tidak berhenti sampai di situ saja. Pada saat hendak memanen , lalu menumbuk padi hasil panen mereka ada lagi upacara yang mereka namakan Mengalu. Yaitu menumbuk padi hingga menjadi beras di dalam lesung kayu. Menumbuknya harus berirama. Seringkali juga ditingkahi dengan sorak-sorai.
Meski lubang lesungnya kecil tapi alunya tidak bertumbukkan satu sama lain. Menarik bukan?!
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, Mohammad Rahmatu, tradisi ini terwariskan secara turun-temurun melalui penuturan lisan dan laku.
“Suku Lauje kaya dengan tradisi yang menarik. Coba kita lihat tradisi mangetek dan mengalu yang mereka lakukan, sungguh luar biasa. Puji-pujian yang mereka panjatkan ketika bercocok tanam bisa jadi tidak lagi dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, tapi Suku Lauje masih melestarikanny,” jelas Mohammad.
Suku Lauje di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah merupakan salah satu anak suku Kaili, suku terbesar di daerah ini. Mereka bermukim di lereng-lereng dan lembah di pedalaman, di daerah lumbung padi ini. Anggota komunitas mereka sekitar 1.000 jiwa lebih. Ada yang masih terus bertahan di pedalaman. Ada pula yang sudah membaur dengan masyarakat setempat. Mereka mempunyai banyak tradisi unik dalam bercocok tanam yang hingga kini masih mereka lestarikan.
Tradisi Kaurie Beurat Pada Masyarakat Lamno Aceh Jaya
Tradisi Kaurie Beurat Pada Masyarakat Lamno Aceh Jaya
Lamno adalah ibukota Kecamatan Jaya yang terletak di daerah pesisir barat Aceh Jaya Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah ini terdiri dari tujuh kemukiman yang dipecah ke dalam 48 desa/gampong. Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya, sebagian besar penduduk Lamno memeluk agama Islam. Di Aceh, daerah Lamno memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Di salah satu gampong yang ada di Lamno, yaitu gampong Daya kita menjumpai banyak penduduknya yang berkulit putih serta bermata biru seperti bangsa Eropa.
Dalam sejarahnya, Lamno merupakan sebuah kota dagang yang amat maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol. Sejak masa itu, proses asimilasi dalam hal perkawinan antara bangsa Eropa yang berkunjung ke Lamno dengan masyarakat setempat terus berlangsung. Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004, sebagian daerah Lamno mengalami kehancuran. Salah satu, daerah yang mengalami kehancuran adalah gampong Daya dimana keturunan Portugis bertempat tinggal. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka juga ada yang selamat.
Tradisi Beureat
Salah satu kenduri di Masyarakat Lamno Aceh Jaya adalah kaurie beurat. Kenduri ini dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan dan berlangsung pada malam hari di bulan pertengahan bulan Sya’ban. Malam berlangsungnya kenduri ini dikenal dengan istilah malam beurat. Kenduri ini dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat sebuah desa dan bertempat di meunasah yang dipimpin oleh teungku.
Pada kenduri ini seluruh masyarakat datang ke meunasah dengan membawa sebuah idang (paket makanan yang terdiri dari nasi beserta lauk pauk dan ditempatkan dalam sebuah talam yang besar). Makanan tersebut disantap bersama anggota masyarakat lainnya yang hadir pada saat pelaksanaan kaurie beurat.
Malam beurat adalah sebuah interpretasi masyarakat Aceh dari kebiasaan Nabi Muhammad dimana pada malam di pertengahan bulan Sya’ban Rasulullah melaksanakan shalat sunat yang dikenal dengan istilah shalat nisfu sha’ban (shalat pertengahan bulan sya’ban). Karena shalat ini bukan bagian dari shalat wajib, maka umat Islam yang berada didalam berbagai masyarakat mencoba menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam shalat tersebut. Dengan kata lain, mereka mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mengapa Rasulullah melaksanakan shalat nisfu sha’ban ?
Menurut kepercayaan masyarakat Lamno bahwa pada malam pertengahan bulan syaban Allah akan menentukan nasib seseorang (usia, rizki, dan amal perbuatan) untuk satu tahun ke depan. Oleh karena itu, melalui kaurie beurat masing-masing individu berdoa kepada Allah agar Allah memberikan yang terbaik kepada mereka.
Cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan masalah penentuan nasib di malam beurat ini amat banyak, tetapi semua bermuara kepada suatu konsep kosmologi yang memandang bahwa nasib manusia dalam setahun ke depan akan ditentukan oleh Allah pada malam itu. Nasib manusia dalam sebuah pohon yang besar berdaun lebat. Nasib setiap individu terpresentasikan dalam sehelai daun. Pada malam beurat tersebut Allah akan mengguncang pohon itu dengan guncangan yang amat hebat sehingga jika daun yang jatuh dari guncangan tersebut, maka individu yang terwakili didalam daun jatuh akan meninggal dunia suatu waktu dalam setahun ke depan. Untuk menghindari diri dari kematian, maka diperlukan sebuah ibadah berupa shalat nisfu sya’ban, doa, dan kenduri. Pada konteks ini fungsi utama dari seluruh prosesi ritual ini adalah sebagai tindakan preventif dari kemalangan pada tahun depan.
Walaupun Rasulullah hanya melaksanakan shalat dan puasa di pertengahan bulan sya’baan, di dalam tradisi masyarakat Lamno dikenal dengan bentuk ritual lain dari nisfu sya’ban yaitu berdoa secara berjamaah, makan bersama dalam ritual kenduri dan diakhir dengan ceramah agama. Pola pelaksanaan ritual nisfu sya’ban sedikit berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam NAD.
Dalam konteks menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan kaurie beurat menjadi sebuah isyarat bahwa bulan Ramadhan akan segera hadir. Hal ini dapat dilihat dari isi ceramah di akhir acara kenduri dimana teungku lebih banyak membahas hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh setiap muslim untuk memasuki bulan Ramadhan. Teungku juga berdoa agar setiap pribadi muslim masih diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu dengan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan ditiba. Di samping itu, keuchik juga mengajak masyarakat untuk melakukan sebuah tradisi penting dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu tradisi peugleh meunasah (membersihkan meunasah). Dalam himbuannnya ia menggunakan ungkapan “jamee rayeuk ka rap trouk” (tamu besar yaitu bulan Ramadhan akan segera tiba).
Namun yang menarik dalam tradisi kaurie beureat ini adalah kentalnya nuansa senang-senang yang dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi masyarakat pada seluruh aspek kenduri sehingga semakin besar sebuah kenduri, maka suasana kesenangan dan kebahagiaan akan lebih menonjol ke permukaan dibandingkan dengan esensi kaurie beureat itu sendiri. Pada titik ini masyarakat lupa bahwa esensi ritual ini adalah permohonan nasib baik ke depan sementara kenduri ini sendiri hanyalah alat pemersatu masyarakat ke dalam sebuah solidaritas yang lebih baik.
Lamno adalah ibukota Kecamatan Jaya yang terletak di daerah pesisir barat Aceh Jaya Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Daerah ini terdiri dari tujuh kemukiman yang dipecah ke dalam 48 desa/gampong. Sebagaimana masyarakat Aceh lainnya, sebagian besar penduduk Lamno memeluk agama Islam. Di Aceh, daerah Lamno memiliki suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Di salah satu gampong yang ada di Lamno, yaitu gampong Daya kita menjumpai banyak penduduknya yang berkulit putih serta bermata biru seperti bangsa Eropa.
Dalam sejarahnya, Lamno merupakan sebuah kota dagang yang amat maju dan telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol. Sejak masa itu, proses asimilasi dalam hal perkawinan antara bangsa Eropa yang berkunjung ke Lamno dengan masyarakat setempat terus berlangsung. Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004, sebagian daerah Lamno mengalami kehancuran. Salah satu, daerah yang mengalami kehancuran adalah gampong Daya dimana keturunan Portugis bertempat tinggal. Walaupun demikian, sebagian di antara mereka juga ada yang selamat.
Tradisi Beureat
Salah satu kenduri di Masyarakat Lamno Aceh Jaya adalah kaurie beurat. Kenduri ini dilaksanakan pada bulan suci Ramadhan dan berlangsung pada malam hari di bulan pertengahan bulan Sya’ban. Malam berlangsungnya kenduri ini dikenal dengan istilah malam beurat. Kenduri ini dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat sebuah desa dan bertempat di meunasah yang dipimpin oleh teungku.
Pada kenduri ini seluruh masyarakat datang ke meunasah dengan membawa sebuah idang (paket makanan yang terdiri dari nasi beserta lauk pauk dan ditempatkan dalam sebuah talam yang besar). Makanan tersebut disantap bersama anggota masyarakat lainnya yang hadir pada saat pelaksanaan kaurie beurat.
Malam beurat adalah sebuah interpretasi masyarakat Aceh dari kebiasaan Nabi Muhammad dimana pada malam di pertengahan bulan Sya’ban Rasulullah melaksanakan shalat sunat yang dikenal dengan istilah shalat nisfu sha’ban (shalat pertengahan bulan sya’ban). Karena shalat ini bukan bagian dari shalat wajib, maka umat Islam yang berada didalam berbagai masyarakat mencoba menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam shalat tersebut. Dengan kata lain, mereka mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mengapa Rasulullah melaksanakan shalat nisfu sha’ban ?
Menurut kepercayaan masyarakat Lamno bahwa pada malam pertengahan bulan syaban Allah akan menentukan nasib seseorang (usia, rizki, dan amal perbuatan) untuk satu tahun ke depan. Oleh karena itu, melalui kaurie beurat masing-masing individu berdoa kepada Allah agar Allah memberikan yang terbaik kepada mereka.
Cerita-cerita rakyat yang berhubungan dengan masalah penentuan nasib di malam beurat ini amat banyak, tetapi semua bermuara kepada suatu konsep kosmologi yang memandang bahwa nasib manusia dalam setahun ke depan akan ditentukan oleh Allah pada malam itu. Nasib manusia dalam sebuah pohon yang besar berdaun lebat. Nasib setiap individu terpresentasikan dalam sehelai daun. Pada malam beurat tersebut Allah akan mengguncang pohon itu dengan guncangan yang amat hebat sehingga jika daun yang jatuh dari guncangan tersebut, maka individu yang terwakili didalam daun jatuh akan meninggal dunia suatu waktu dalam setahun ke depan. Untuk menghindari diri dari kematian, maka diperlukan sebuah ibadah berupa shalat nisfu sya’ban, doa, dan kenduri. Pada konteks ini fungsi utama dari seluruh prosesi ritual ini adalah sebagai tindakan preventif dari kemalangan pada tahun depan.
Walaupun Rasulullah hanya melaksanakan shalat dan puasa di pertengahan bulan sya’baan, di dalam tradisi masyarakat Lamno dikenal dengan bentuk ritual lain dari nisfu sya’ban yaitu berdoa secara berjamaah, makan bersama dalam ritual kenduri dan diakhir dengan ceramah agama. Pola pelaksanaan ritual nisfu sya’ban sedikit berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam NAD.
Dalam konteks menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan kaurie beurat menjadi sebuah isyarat bahwa bulan Ramadhan akan segera hadir. Hal ini dapat dilihat dari isi ceramah di akhir acara kenduri dimana teungku lebih banyak membahas hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh setiap muslim untuk memasuki bulan Ramadhan. Teungku juga berdoa agar setiap pribadi muslim masih diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu dengan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan ditiba. Di samping itu, keuchik juga mengajak masyarakat untuk melakukan sebuah tradisi penting dalam menyambut bulan Ramadhan, yaitu tradisi peugleh meunasah (membersihkan meunasah). Dalam himbuannnya ia menggunakan ungkapan “jamee rayeuk ka rap trouk” (tamu besar yaitu bulan Ramadhan akan segera tiba).
Namun yang menarik dalam tradisi kaurie beureat ini adalah kentalnya nuansa senang-senang yang dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi masyarakat pada seluruh aspek kenduri sehingga semakin besar sebuah kenduri, maka suasana kesenangan dan kebahagiaan akan lebih menonjol ke permukaan dibandingkan dengan esensi kaurie beureat itu sendiri. Pada titik ini masyarakat lupa bahwa esensi ritual ini adalah permohonan nasib baik ke depan sementara kenduri ini sendiri hanyalah alat pemersatu masyarakat ke dalam sebuah solidaritas yang lebih baik.
Tradisi Balamang Masyarakat Aneuk Jamee
Ramadhan merupakan bulan suci yang sangat sakral dalam Islam. Di Aceh, Ramadhan disambut dengan suka cita yang tergambar jelas dalam tradisi-tradisi khas yang selalu dilaksanakan setiap tahun. Dua hari sebelum tibanya bulan suci Ramadhan dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Uroe Makmeugang. Di hari tersebut seluruh rumah memasak aneka masakan khas Meugang. Dari daging sapi atau kerbau, leumang (penganan dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), Timphan (penganan yang rasanya manis dari tepung ketan yang dibungkus dengan daun pisang), Tapee, Ketupat, dan lain-lain. Tradisi ini dilaksanakan di seluruh Aceh dengan cara yang berbeda-beda.
Salah satu tradisi unik di hari Meugang ini adalah tradisi yang ada pada masyarakat suku bangsa Aneuk Jamee, khususnya di daerah Aceh Barat Daya. Di daerah ini di hari Meugang dikenal adanya tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum Ramadhan setiap generasi ke generasi.
Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang yang benar-benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan.
Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahli dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.
1.
Media untuk memasak
- Buluh atau bambu berdiameter 5-7 cm dipotong kira-kira sepanjang 50 cm, buluh tersebut tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua, supaya tidak mudah pecah ketika dibakar.
- Dinding dalam buluh dilapisi daun pisang muda, biasanya dianjurkan untuk menggunakan daun pisang kepok (Jamee: Pisang Abu) karena daun pisang jenis ini tidak mudah robek.
- Daun pisang dimasukkan dengan menggunakan pelepah atau tulang daun pisang. Pelepah tersebut dibelah bagian tengahnya untuk menjepit salah satu sisi daun lalu di gulung dengan ukuran lebuh kecil dari diameter bibir buluh, kemudian dimasukkan ke dalam buluh, setelah posisi daun telah tepat lalu pelepah pisang ditarik perlahan-lahan dengan merenggangkan jepitannya.
- Perlu disiapkan pula tungku sandaran buluh untuk proses pembakaran. Jadi buluh berada di satu sisi tungku dan api disisi yang lain. Buluh lemang tadi disandarkan dengan posisi sedikit tegak atau dengan kemiringan 75°-80°. Posisi ini dirubah sesuai kadar kematangan lemang. Artinya lemang sekali-kali diputar supaya masaknya lebih merata. Begitu pula kemiringannya, semakin matang maka semakin miring posisi lemang agar bagian bawah tidak hangus dan bagian atas juga matang.
2.
Komposisi/bahan Lemang dan proses pembuatannya
Bahan dasar :
- Beras ketan putih
- Santan kental
- Garam secukupnya
Takaran:
Untuk 1 bambu atau 2 liter beras ketan membutuhkan santan kental dari 3 butir kelapa. Sedangkan takaran garam sesuai selera, kira-kira bila dicicipi seasin air laut, tidak terlalu asin dan tidak pula tawar. Dengan beras ketan dan santan sebanyak ini cukup untuk 4 sampai 5 batang buluh berdiameter 5-7 cm. Dalam satu keluarga, biasanya menghabiskan 2-3 bambu beras ketan.
Cara membuatnya:
Beras ketan yang telah dicuci bersih dituang ke dalam wadah yang cukup besar. Lalu dimasukkan genggam demi genggam ke dalam bambu kira-kira 4-5 genggam atau kurang sejengkal dari bibir bambu yang telah dilapisi daun pisang. Hal ini dimaksudkan agar ketika mendidih santan tidak meleleh keluar. Lalu dalam posisi berdiri, santan kental yang telah diberi garam secukupnya diisi perlahan sebatas selayang diatas beras ketan. Untuk memastikan santan merata sampai ke bawah, sebatang lidi ditusuk persis di tengah beras sampai ke dasar buluh sehingga melalui lidi itu santan dapat meresap. Setelah itu lemang siap dibakar pada bara api yang cukup panas untuk sederetan lemang, bukan dengan api yang menyala besar karena dengan begitu lemang mudah hangus sedangkan bagian dalamnya masih mentah. Dalam proses pembakaran ini, nyala bara api harus tetap dijaga, demikian pula lemang, sesekali dibalik dan diatur kemiringannya hingga matang.
Setelah matang dan sudah tidak terlalu panas lemang siap disajikan. Buluh mula-mula dibelah, lemangnya diangkat pada sepotong daun pisang dan dipotong-potong sesuai selera. Lemang biasanya disajikan dengan tapee ketan hitam, rendang, kari atau serikaya.
Menurut tradisi daerah setempat, lemang biasanya dibuat lebih banyak agar dapat dibagikan kepada kaum kerabat dan tetangga. Semakin banyak orang yang bisa ikut menikmati maka lemang tersebut akan semakin berkah. Sehingga lelah seharian memasak terbayar dengan kenikmatan yang diperoleh dari kebersamaan.
Uniknya lagi proses pembuatan lemang ini biasanya dilakukan bersama-sama dari beberapa keluarga. Maksudnya, beberapa tetangga atau kerabat dekat berkumpul di salah satu rumah yang memiliki sebidang tanah yang cukup untuk membakar lemang. Maka kemudian semua bahan dikumpulkan, lalu dimasak bersama-sama. Proses ini akan terasa sangat ringan karena dikerjakan bergotong-royong sembari memupuk silaturrahmi antar sesama.
Dari kegiatan ini ada banyak nilai yang dapat disimpulkan. Dari proses penyediaan bahan sampai memasak lemang memperlihatkan bahwa secara moral mereka telah menanamkan sikap bertanggung jawab pada tiap generasi. Tanpa diperintah masing-masing tahu apa saja tugas mereka dan tahu kapan mereka harus mengerjakannya. Selain itu, dalam proses pembuatan juga terkandung nilai kebersamaan dan kekompakan karena itu dapat diukur dari rasa lemang yang dihasilkan. Secara umum banyak orang yang percaya bahwa rasa masakan yang dikerjakan oleh satu orang akan lebih enak daripada banyak orang. Hal ini tidak berlaku dalam tradisi memasak lemang. Karena lemang memang untuk dikerjakan bersama-sama. Dari kerukunan pasti dapat menghasilkan lemang yang enak dan lezat. Rasanya dapat dicicipi oleh beberapa lidah. Nilai kegotong-royongan sangat kental dalam tradisi ini. Balamang dapat dijadikan salah satu tradisi yang dapat mengikat persatuan dan kesatuan tidak hanya dalam satu keluarga namun juga satu kampung. Bahkan dapat dilihat, untuk menikmati lemang satu keluarga harus berbagi dengan orang lain.
Salah satu tradisi unik di hari Meugang ini adalah tradisi yang ada pada masyarakat suku bangsa Aneuk Jamee, khususnya di daerah Aceh Barat Daya. Di daerah ini di hari Meugang dikenal adanya tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum Ramadhan setiap generasi ke generasi.
Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang yang benar-benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan.
Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahli dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.
1.
Media untuk memasak
- Buluh atau bambu berdiameter 5-7 cm dipotong kira-kira sepanjang 50 cm, buluh tersebut tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua, supaya tidak mudah pecah ketika dibakar.
- Dinding dalam buluh dilapisi daun pisang muda, biasanya dianjurkan untuk menggunakan daun pisang kepok (Jamee: Pisang Abu) karena daun pisang jenis ini tidak mudah robek.
- Daun pisang dimasukkan dengan menggunakan pelepah atau tulang daun pisang. Pelepah tersebut dibelah bagian tengahnya untuk menjepit salah satu sisi daun lalu di gulung dengan ukuran lebuh kecil dari diameter bibir buluh, kemudian dimasukkan ke dalam buluh, setelah posisi daun telah tepat lalu pelepah pisang ditarik perlahan-lahan dengan merenggangkan jepitannya.
- Perlu disiapkan pula tungku sandaran buluh untuk proses pembakaran. Jadi buluh berada di satu sisi tungku dan api disisi yang lain. Buluh lemang tadi disandarkan dengan posisi sedikit tegak atau dengan kemiringan 75°-80°. Posisi ini dirubah sesuai kadar kematangan lemang. Artinya lemang sekali-kali diputar supaya masaknya lebih merata. Begitu pula kemiringannya, semakin matang maka semakin miring posisi lemang agar bagian bawah tidak hangus dan bagian atas juga matang.
2.
Komposisi/bahan Lemang dan proses pembuatannya
Bahan dasar :
- Beras ketan putih
- Santan kental
- Garam secukupnya
Takaran:
Untuk 1 bambu atau 2 liter beras ketan membutuhkan santan kental dari 3 butir kelapa. Sedangkan takaran garam sesuai selera, kira-kira bila dicicipi seasin air laut, tidak terlalu asin dan tidak pula tawar. Dengan beras ketan dan santan sebanyak ini cukup untuk 4 sampai 5 batang buluh berdiameter 5-7 cm. Dalam satu keluarga, biasanya menghabiskan 2-3 bambu beras ketan.
Cara membuatnya:
Beras ketan yang telah dicuci bersih dituang ke dalam wadah yang cukup besar. Lalu dimasukkan genggam demi genggam ke dalam bambu kira-kira 4-5 genggam atau kurang sejengkal dari bibir bambu yang telah dilapisi daun pisang. Hal ini dimaksudkan agar ketika mendidih santan tidak meleleh keluar. Lalu dalam posisi berdiri, santan kental yang telah diberi garam secukupnya diisi perlahan sebatas selayang diatas beras ketan. Untuk memastikan santan merata sampai ke bawah, sebatang lidi ditusuk persis di tengah beras sampai ke dasar buluh sehingga melalui lidi itu santan dapat meresap. Setelah itu lemang siap dibakar pada bara api yang cukup panas untuk sederetan lemang, bukan dengan api yang menyala besar karena dengan begitu lemang mudah hangus sedangkan bagian dalamnya masih mentah. Dalam proses pembakaran ini, nyala bara api harus tetap dijaga, demikian pula lemang, sesekali dibalik dan diatur kemiringannya hingga matang.
Setelah matang dan sudah tidak terlalu panas lemang siap disajikan. Buluh mula-mula dibelah, lemangnya diangkat pada sepotong daun pisang dan dipotong-potong sesuai selera. Lemang biasanya disajikan dengan tapee ketan hitam, rendang, kari atau serikaya.
Menurut tradisi daerah setempat, lemang biasanya dibuat lebih banyak agar dapat dibagikan kepada kaum kerabat dan tetangga. Semakin banyak orang yang bisa ikut menikmati maka lemang tersebut akan semakin berkah. Sehingga lelah seharian memasak terbayar dengan kenikmatan yang diperoleh dari kebersamaan.
Uniknya lagi proses pembuatan lemang ini biasanya dilakukan bersama-sama dari beberapa keluarga. Maksudnya, beberapa tetangga atau kerabat dekat berkumpul di salah satu rumah yang memiliki sebidang tanah yang cukup untuk membakar lemang. Maka kemudian semua bahan dikumpulkan, lalu dimasak bersama-sama. Proses ini akan terasa sangat ringan karena dikerjakan bergotong-royong sembari memupuk silaturrahmi antar sesama.
Dari kegiatan ini ada banyak nilai yang dapat disimpulkan. Dari proses penyediaan bahan sampai memasak lemang memperlihatkan bahwa secara moral mereka telah menanamkan sikap bertanggung jawab pada tiap generasi. Tanpa diperintah masing-masing tahu apa saja tugas mereka dan tahu kapan mereka harus mengerjakannya. Selain itu, dalam proses pembuatan juga terkandung nilai kebersamaan dan kekompakan karena itu dapat diukur dari rasa lemang yang dihasilkan. Secara umum banyak orang yang percaya bahwa rasa masakan yang dikerjakan oleh satu orang akan lebih enak daripada banyak orang. Hal ini tidak berlaku dalam tradisi memasak lemang. Karena lemang memang untuk dikerjakan bersama-sama. Dari kerukunan pasti dapat menghasilkan lemang yang enak dan lezat. Rasanya dapat dicicipi oleh beberapa lidah. Nilai kegotong-royongan sangat kental dalam tradisi ini. Balamang dapat dijadikan salah satu tradisi yang dapat mengikat persatuan dan kesatuan tidak hanya dalam satu keluarga namun juga satu kampung. Bahkan dapat dilihat, untuk menikmati lemang satu keluarga harus berbagi dengan orang lain.
Tradisi Bantai Kerbau Batobo
Tradisi Bantai Kerbau Batobo
Masyarakat yang bermukim di Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, memiliki tradisi unik menjelang Ramadhan yakni membantai atau menyembelih kerbau yang dibeli secara batobo (bersama). “Bantai kerbau merupakan tradisi kami yang telah turun temurun yang diadakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan,” ujar salah seorang tokoh masyarakat Kuantan Mudik Apendi Piliang di Lubuk Jambi, Kamis.
Kerbau yang disembelih untuk menyambut bulan puasa itu dibeli oleh masyarakat secara batobo, di mana satu ekor kerbau biasanya dibeli secara bersama oleh sekitar 20 warga. “Batobo maksudnya bekerjasama dan anggotanya bukan terdiri dari satu suku tapi suku-suku yang ada di daerah kami. Untuk membeli kerbau setiap orang membayar iuran kepada ketua kelompok batobo. Tahun ini kami iuran Rp 300.000/ orang,” katanya.
Ia mengatakan, anggota batobonya ada 20 orang yang terdiri dari suku piliang, suku melayu, suku caniago dan suku tujuh. Kerbau yang telah dibeli dan akan dibantai pada keesokan harinya, pada malam sebelumnya dijaga ketat hingga pagi.
Kerbau tersebut ditambat di lapangan tempat hewan bertanduk itu akan disembelih. Saat malam penjagaan itu keramaian telah terasa karena masyarakat yang tergabung dalam batobo akan memeriahkan malam tersebut dengan alunan musik dari celempong, alat musik tradisional.
Setiap warga yang tergabung dalam kelompok batobo akan mendapatkan satu onggok daging kerbau yang terdiri dari daging, isi perut, kulit serta tulang belulangnya. Sedangkan kepala kerbau diberikan pada tukang jagal.
“Onggokan daging yang dibagi rata ini seperti pada pembagian daging kurban, hanya bedanya daging kurban dibeli oleh satu orang untuk dibagi-bagikan pada orang lain. Sedangkan dalam tradisi membantai, membeli kerbau bersama dan makan dagingnya juga bersama,” ujar ayah dua anak itu.
Menurut Apendi, masyarakat di kampungnya sehari menjelang bulan puasa mengelar kenduri di setiap rumah dengan menu hidangan utama daging bantai yang dibeli secara batobo itu. Daging tersebut dimasak rendang, gulai kalio ataupun gulai kari.
Ia mengatakan, tradisi kenduri se kampung itu biasanya dimulai usai shalat ashar hingga malam. Dalam tradisi tersebut pemuka agama akan mendatangi tiap rumah bersama rombongan masyarakat baik laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak.
Rombongan kunjungan ini juga dibagi tiap kelompok agar jumlahnya tidak terlalu ramai. Setiap singgah di rumah penduduk, rombongan yang biasanya terdiri dari puluhan orang itu selain dijamu makan hidangan tuan rumah juga melakukan doa keselamatan. “Adalah aib bagi kami jika menjelang Ramadhan tidak mengelar kenduri apalagi tidak dapat membeli daging bantai,” ungkap Apendi.(
Masyarakat yang bermukim di Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, memiliki tradisi unik menjelang Ramadhan yakni membantai atau menyembelih kerbau yang dibeli secara batobo (bersama). “Bantai kerbau merupakan tradisi kami yang telah turun temurun yang diadakan untuk menyambut bulan suci Ramadhan,” ujar salah seorang tokoh masyarakat Kuantan Mudik Apendi Piliang di Lubuk Jambi, Kamis.
Kerbau yang disembelih untuk menyambut bulan puasa itu dibeli oleh masyarakat secara batobo, di mana satu ekor kerbau biasanya dibeli secara bersama oleh sekitar 20 warga. “Batobo maksudnya bekerjasama dan anggotanya bukan terdiri dari satu suku tapi suku-suku yang ada di daerah kami. Untuk membeli kerbau setiap orang membayar iuran kepada ketua kelompok batobo. Tahun ini kami iuran Rp 300.000/ orang,” katanya.
Ia mengatakan, anggota batobonya ada 20 orang yang terdiri dari suku piliang, suku melayu, suku caniago dan suku tujuh. Kerbau yang telah dibeli dan akan dibantai pada keesokan harinya, pada malam sebelumnya dijaga ketat hingga pagi.
Kerbau tersebut ditambat di lapangan tempat hewan bertanduk itu akan disembelih. Saat malam penjagaan itu keramaian telah terasa karena masyarakat yang tergabung dalam batobo akan memeriahkan malam tersebut dengan alunan musik dari celempong, alat musik tradisional.
Setiap warga yang tergabung dalam kelompok batobo akan mendapatkan satu onggok daging kerbau yang terdiri dari daging, isi perut, kulit serta tulang belulangnya. Sedangkan kepala kerbau diberikan pada tukang jagal.
“Onggokan daging yang dibagi rata ini seperti pada pembagian daging kurban, hanya bedanya daging kurban dibeli oleh satu orang untuk dibagi-bagikan pada orang lain. Sedangkan dalam tradisi membantai, membeli kerbau bersama dan makan dagingnya juga bersama,” ujar ayah dua anak itu.
Menurut Apendi, masyarakat di kampungnya sehari menjelang bulan puasa mengelar kenduri di setiap rumah dengan menu hidangan utama daging bantai yang dibeli secara batobo itu. Daging tersebut dimasak rendang, gulai kalio ataupun gulai kari.
Ia mengatakan, tradisi kenduri se kampung itu biasanya dimulai usai shalat ashar hingga malam. Dalam tradisi tersebut pemuka agama akan mendatangi tiap rumah bersama rombongan masyarakat baik laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak.
Rombongan kunjungan ini juga dibagi tiap kelompok agar jumlahnya tidak terlalu ramai. Setiap singgah di rumah penduduk, rombongan yang biasanya terdiri dari puluhan orang itu selain dijamu makan hidangan tuan rumah juga melakukan doa keselamatan. “Adalah aib bagi kami jika menjelang Ramadhan tidak mengelar kenduri apalagi tidak dapat membeli daging bantai,” ungkap Apendi.(
Melihat Prosesi Perang Bangkat dalam Pernikahan Suku Using
Lamaran Unik yang Sarat Simbol Kelanggengan
perang-bangkat
LAMARAN: Upacara perang bangkat di Singojuruh, Banyuwangi.
Masyarakat asli Banyuwangi punya cara unik dalam melangsungkan pernikahan. Mereka selalu melakukan tradisi perang bangkat.
“Soraaak…, ayo maju!” tegas ketua rombongan mempelai pria saat berjalan mendekati rumah pengantin putri.
Dengan membawa berbagai kebutuhan rumah tangga, iring-iringan rombongan mempelai pria itu terus bergerak. Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang.Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.
Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu. “Perang bangkat ini tradisi yang sudah berjalan turun temurun,” cetus Sanawi, sesepuh Suku Using yang kali ini berperan menjadi ketua rombongan pengantin laki-laki.
Pernikahan yang diharuskan melaksanakan tradisi perang bangkat ini, ternyata hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. “Atau sulung dapat anak bungsu, ini juga harus dilakukan perang bangkat,” sebut sesepuh adat yang tinggal di Dusun Sukorejo, Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Rogojampi itu.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. “Irus maksudnya pasangan pengantin harus terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya kalau ngomong jangan ngawur,” ungkap tokoh masyarakat lainnya Sapuan, yang dalam upacara ini bertindak sebagai penjaga gerbang dalam upacara tersebut.
Sanawi dan Sapuan mengaku tidak tahu, sejak kapan upacara tersebut mulai dilaksanakan. Yang jelas, ini sudah menjadi tradisi dan berlangsung turun-temurun. “Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan,” sebut Sapuan.
Dalam perang bakat ini, diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using. Semua itu, mirip dengan prosesi ijab dan kabul dalam sebuah pernikahan. “Tapi tradisi ini bukan ijab dan kabul lho, ini hanya upacara tradisi saja,” terang Sanawi.
perang-bangkat
LAMARAN: Upacara perang bangkat di Singojuruh, Banyuwangi.
Masyarakat asli Banyuwangi punya cara unik dalam melangsungkan pernikahan. Mereka selalu melakukan tradisi perang bangkat.
“Soraaak…, ayo maju!” tegas ketua rombongan mempelai pria saat berjalan mendekati rumah pengantin putri.
Dengan membawa berbagai kebutuhan rumah tangga, iring-iringan rombongan mempelai pria itu terus bergerak. Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang.Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.
Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.
Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.
Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu. “Perang bangkat ini tradisi yang sudah berjalan turun temurun,” cetus Sanawi, sesepuh Suku Using yang kali ini berperan menjadi ketua rombongan pengantin laki-laki.
Pernikahan yang diharuskan melaksanakan tradisi perang bangkat ini, ternyata hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. “Atau sulung dapat anak bungsu, ini juga harus dilakukan perang bangkat,” sebut sesepuh adat yang tinggal di Dusun Sukorejo, Desa Lemahbang Kulon, Kecamatan Rogojampi itu.
Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. “Irus maksudnya pasangan pengantin harus terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya kalau ngomong jangan ngawur,” ungkap tokoh masyarakat lainnya Sapuan, yang dalam upacara ini bertindak sebagai penjaga gerbang dalam upacara tersebut.
Sanawi dan Sapuan mengaku tidak tahu, sejak kapan upacara tersebut mulai dilaksanakan. Yang jelas, ini sudah menjadi tradisi dan berlangsung turun-temurun. “Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan,” sebut Sapuan.
Dalam perang bakat ini, diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using. Semua itu, mirip dengan prosesi ijab dan kabul dalam sebuah pernikahan. “Tapi tradisi ini bukan ijab dan kabul lho, ini hanya upacara tradisi saja,” terang Sanawi.
Mengeksplorasi Keindahan Alam dan Budaya Desa Baliem Papua Barat
Mungkin belum pernah sebelumnya terpikir di benak Anda berlibur di Papua Barat (dulu dikenal sebagai Irian Jaya). Propinsi paling timur Indonesia ini memang kurang dikenal sebagai daerah tujuan wisata turis lokal. Tetapi, bagi turis asing, Papua Barat ini merupakan kawasan liar yang indah dan seru untuk dijelajahi. Hutan seluas ribuan kilometer persegi dengan berbagai flora dan fauna tak bernama, pegunungan yang tertutup salju, rawa-rawa, serta budaya penduduk lokal yang terisolasi dan primitif, menunggu untuk dieksplorasi.
Hampir separuh dari propinsi berupa daerah berbukit atau gunung. Di daerah pegunungan di pusat Papua Barat, tepatnya di kabupaten Wamena, terdapat Lembah Baliem yang luas, tempat tinggal suku Dani serta subsuku Yali dan Lani yang masih primitif layaknya budaya jaman batu. Mari menjelajahi Lembah Baliem, menikmati alam segar, menghirup udara bersih, dan mengalami sendiri tradisi unik nan primitif penduduk lokal.
Tempat yang Wajib Anda kunjungi
Suku Dani merupakan hal yang paling fenomenal dan sayang untuk dilewatkan. Suku Dani merupakan salah satu suku yang terisolasi oleh rawa dan gunung. Mereka menanam tanaman umbi-umbian, memelihara babi, dan menggunakan kapak batu asahan. Anda pun dapat melihat ladang garam di mana perempuan suku Dani membuat garam dengan cara primitif.
Bila Anda berlibur pada Agustus/September, pastikan Anda melihat festival Baliem. Daya tariknya adalah atraksi etnik yang diikuti tiga kelompok lokal yang tinggal bersama di lembah luas ini, berkumpul mengenakan atribut kesukuan, membawa hasil seni masing-masing. Jangan kaget! Pria dan perempuan berpakaian ala kadarnya dari rumput. Dengan menjadi saksi hidup festival ini, Anda memiliki kesempatan besar untuk mengenal budaya suku-suku di Papua ini.
Perlengkapan yang Wajib Dibawa
Beberapa hal penting yang baiknya Anda bawa, seperti krim pelembab anti nyamuk, krim kulit pelindung dari matahari, kacamata hitam, tas punggung berukuran sedang, jas hujan, sepatu khusus berjalan kaki di alam liar, kaus kaki, topi. Perlu diketahui suhu di pegunungan tinggi sekitar 26 derajat Celsius di siang hari dan mencapai 12 derajat pada malam hari. Jangan lupa membawa pakaian bahan katun dan baju hangat. Tidak ada salahnya membawa macam-macam makanan ringan, buah, minuman ekstra.
Rekomendasi Tempat Bermalam
Bila Anda di Wamena, Anda akan menginap di Baliem Pilamo, salah satu hotel terindah di wilayah ini, walaupun bukan hotel berbintang, dan tidak tersedia AC. Pastinya fasilitas hotel ini cukup bersih. Sedangkan di Jayapura, Anda beristirahat di Hotel Sentani Indah (bintang 3), hotel terbaik di Jayapura.
Jadwal Perjalanan Anda
Anda bisa mengambil paket penyusuran mengeksplorasi alam liar di Baliem Valley untuk 5 hari 4 malam.
Hari 1: Tiba di Jayapura – Wamena
Tiba pagi hari di bandara Jayapura, lalu terbang dengan Trigana selama 40 – 50 menit ke Wamena. Tiba di bandara Wamena, Anda akan diantar ke hotel. Lalu mengunjungi bukit Napua dan desa Dinatma, dan berkendara ke kota untuk makan siang. Perjalanan berlanjut ke desa Wesaput untuk melihat jembatan gantung, pasar lokal, dan sekitarnya.
Hari 2: Menikmati pemandangan di sepanjang Sungai Baliem /Sogokmo – Kurima
Setelah sarapan, Anda akan berkendara 35 menit ke Sogokmo, di selatan Lembah Baliem. Lalu nikmatilah pengalaman nikmatnya memandangi indahnya alam dalam perjalanan selama satu hari selama 4-5 jam menuju Wesaput melewati ladang ubi suku Dani dan menyeberangi jembatan gantung melalui sungai Baliem. Anda bisa sambil menyaksikan aktivitas penduduk lokal dan menikmati pemandangan indah yang jarang Anda lihat. Dijamin tak terlupakan.
Hari 3: Wamena – Jiwika – Wamena
Berkendara 30 menit ke Jiwika menuju utara Lembah Baliem untuk melihat Mumi berumur 250 tahun. Lalu berjalan 10 menit ke desa Anemoigi untuk menonton tarian perang suku Dani dan berpesta menikmati hidangan khas suku Dani, panganan dari daging babi. Melihat bagaimana membuat api secara tradisional, membunuh seekor babi dengan panah dan memasaknya ke dalam batu yang dibakar dengan sayuran dan ubi.
Hari 4: Wamena – Jayapura
Anda pun terbang ke Jayapura di pagi hari, menikmati sehari penuh berjalan-jalan ke ibukota Papua. Mengunjungi monumen Perang Dunia II Mac Arthur dan Danau Sentani. Dilanjutkan ke Museum Antropologi, Pasar Hamadi, dan kota Jayapura.
Hari ke-5: Jayapura – Jakarta
Kembali ke Jakarta
Tidak ada salahnya bervariasi memilih tempat berlibur, sekali seumur hidup merasakan berpetualang dan mengenal lebih dekat dengan penduduk senegara yang berada nun jauh di timur sana.
Hampir separuh dari propinsi berupa daerah berbukit atau gunung. Di daerah pegunungan di pusat Papua Barat, tepatnya di kabupaten Wamena, terdapat Lembah Baliem yang luas, tempat tinggal suku Dani serta subsuku Yali dan Lani yang masih primitif layaknya budaya jaman batu. Mari menjelajahi Lembah Baliem, menikmati alam segar, menghirup udara bersih, dan mengalami sendiri tradisi unik nan primitif penduduk lokal.
Tempat yang Wajib Anda kunjungi
Suku Dani merupakan hal yang paling fenomenal dan sayang untuk dilewatkan. Suku Dani merupakan salah satu suku yang terisolasi oleh rawa dan gunung. Mereka menanam tanaman umbi-umbian, memelihara babi, dan menggunakan kapak batu asahan. Anda pun dapat melihat ladang garam di mana perempuan suku Dani membuat garam dengan cara primitif.
Bila Anda berlibur pada Agustus/September, pastikan Anda melihat festival Baliem. Daya tariknya adalah atraksi etnik yang diikuti tiga kelompok lokal yang tinggal bersama di lembah luas ini, berkumpul mengenakan atribut kesukuan, membawa hasil seni masing-masing. Jangan kaget! Pria dan perempuan berpakaian ala kadarnya dari rumput. Dengan menjadi saksi hidup festival ini, Anda memiliki kesempatan besar untuk mengenal budaya suku-suku di Papua ini.
Perlengkapan yang Wajib Dibawa
Beberapa hal penting yang baiknya Anda bawa, seperti krim pelembab anti nyamuk, krim kulit pelindung dari matahari, kacamata hitam, tas punggung berukuran sedang, jas hujan, sepatu khusus berjalan kaki di alam liar, kaus kaki, topi. Perlu diketahui suhu di pegunungan tinggi sekitar 26 derajat Celsius di siang hari dan mencapai 12 derajat pada malam hari. Jangan lupa membawa pakaian bahan katun dan baju hangat. Tidak ada salahnya membawa macam-macam makanan ringan, buah, minuman ekstra.
Rekomendasi Tempat Bermalam
Bila Anda di Wamena, Anda akan menginap di Baliem Pilamo, salah satu hotel terindah di wilayah ini, walaupun bukan hotel berbintang, dan tidak tersedia AC. Pastinya fasilitas hotel ini cukup bersih. Sedangkan di Jayapura, Anda beristirahat di Hotel Sentani Indah (bintang 3), hotel terbaik di Jayapura.
Jadwal Perjalanan Anda
Anda bisa mengambil paket penyusuran mengeksplorasi alam liar di Baliem Valley untuk 5 hari 4 malam.
Hari 1: Tiba di Jayapura – Wamena
Tiba pagi hari di bandara Jayapura, lalu terbang dengan Trigana selama 40 – 50 menit ke Wamena. Tiba di bandara Wamena, Anda akan diantar ke hotel. Lalu mengunjungi bukit Napua dan desa Dinatma, dan berkendara ke kota untuk makan siang. Perjalanan berlanjut ke desa Wesaput untuk melihat jembatan gantung, pasar lokal, dan sekitarnya.
Hari 2: Menikmati pemandangan di sepanjang Sungai Baliem /Sogokmo – Kurima
Setelah sarapan, Anda akan berkendara 35 menit ke Sogokmo, di selatan Lembah Baliem. Lalu nikmatilah pengalaman nikmatnya memandangi indahnya alam dalam perjalanan selama satu hari selama 4-5 jam menuju Wesaput melewati ladang ubi suku Dani dan menyeberangi jembatan gantung melalui sungai Baliem. Anda bisa sambil menyaksikan aktivitas penduduk lokal dan menikmati pemandangan indah yang jarang Anda lihat. Dijamin tak terlupakan.
Hari 3: Wamena – Jiwika – Wamena
Berkendara 30 menit ke Jiwika menuju utara Lembah Baliem untuk melihat Mumi berumur 250 tahun. Lalu berjalan 10 menit ke desa Anemoigi untuk menonton tarian perang suku Dani dan berpesta menikmati hidangan khas suku Dani, panganan dari daging babi. Melihat bagaimana membuat api secara tradisional, membunuh seekor babi dengan panah dan memasaknya ke dalam batu yang dibakar dengan sayuran dan ubi.
Hari 4: Wamena – Jayapura
Anda pun terbang ke Jayapura di pagi hari, menikmati sehari penuh berjalan-jalan ke ibukota Papua. Mengunjungi monumen Perang Dunia II Mac Arthur dan Danau Sentani. Dilanjutkan ke Museum Antropologi, Pasar Hamadi, dan kota Jayapura.
Hari ke-5: Jayapura – Jakarta
Kembali ke Jakarta
Tidak ada salahnya bervariasi memilih tempat berlibur, sekali seumur hidup merasakan berpetualang dan mengenal lebih dekat dengan penduduk senegara yang berada nun jauh di timur sana.
Suku Kubu Selayaknya Dilindungi Hukum
Anak Rimba.
Primitif. Begitulah kesan pertama masyarakat kota (orang terang) saat melihat orang rimba. Orang terang sering menyebut mereka orang kubu. Kata kubu sering dimaknai sebagai ejekan yang artinya bodoh. Keprimitifan orang rimba sering menjadi objek manipulasi sejumlah oknum.
Orang rimba yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, sangat kovensional. Penampilan mereka boleh dibilang sedikit “erotis.” Sebab kaum pria orang rimba tidak berbaju, mereka hanya mengenakan cawat—sejenis celana. Terlepas dari semua itu, pria yang sudah berkeluarga harus tunduk pada istri.
Pemerintah perlu membuat peraturan untuk melindungi dan mengakui keberadaan Orang Rimba. Kelompok Makekal Bersatu (Kelompok Orang Rimba Makekal Kabupaten Sarolangun), didampingi sejumlah aktivis Koalisi Perjuangan Hak Asasi Manusia (KoperHAM) mengungkapkan hal itu di Jambi, Selasa.
KoperHAM beranggotakan LSM/aktivis lingkungan KMB, Walhi Jambi, Persatuan Petani Jambi, PBHI Sumbar, dan Sokola.
Ketua Kelompok Makekal Bersatu,Pangendum mengatakan peraturan itu amat mendesak terkait berbagai masalah dan kasus yang dialami masyarakat adat Orang Rimba yang tersebar di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kab. Sarolangun dan di luar kawasan taman nasional itu.
Puncak masalah yang dihadapi masyarakat adat Kubu, seperti dilaporkan kapanlagi.com adalah adanya Rencana Pengelolaan TNBD (RPTNBD) dengan sistem zonasi, karenanya RPTNBD harus direvisi.
Beberapa peristiwa kekerasan dan penganiayaan yang dialami warga SAD dalam beberapa bulan terakhir telah diindentifikasi seperti tentang penembakan oleh oknum polisi, penyerangan masyarakat transmigrasi bersama masyarakat dusun, dan pengusiran Orang Rimba.
Lalu kasus penganiayaan oleh aparat keamanan perusahaan kayu, perbuatan tidak senonoh, pembakaran tempat tinggal suku anak dalam yang sebagian besar masih mengembara di hutan tersebut.
Selain terkait tindak pidana peristiwa di atas memperlihatkan indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Orang Rimba mendesak aparat hukum agar bertindak melindungi mereka dari anarkis orang luar atau kelompok lain dengan alasan apapun.
Loyalitas Tinggi
ImageHal yang menarik dari orang rimba ialah loyalitas mereka pada adat. Bagi mereka adat juga berfungsi sebagai tameng dari kebrutalan dunia luar. Salah satu contoh, wanita yang belum menikah berjalan dengan laki-laki sangat dilarang.
Tidak hanya itu saja, adat orang rimba juga melarang berteman dengan orang terang yang memasuki hutan, ditenggarai orang terang membawa penyakit. Tradisi lainnya, bila salah seorang anggota keluarga mereka meninggal dunia, mereka akan bepergian jauh, mengarungi hutan untuk mengusir kesedihan.
Semakin banyak anggota keluarga maupun kelompok mereka semakin jauh pula mereka mengarungi hutan. Maka jangan heran bila mereka memiliki kebiasaan nomaden. Uniknya lagi dalam kesehariannya anak-anak boleh membentak orangtua, jika dipaksa berkerja. Adat rimba menegaskan, bagi yang melanggar peraturan diwajibkan membayar denda. Denda yang mereka bayarkan bukanlah berupa uang, melainkan kain yang merupakan alat tukar (uang) orang rimba.
Perekonomian orang rimba bergantung pada hasil hutan yang sekarang sudah mulai berkurang. Mata pencaharian orang rimba mengandalkan getah karet, madu. Tradisi unik ketika orang rimba mengambil madu yang terdapat di pohon besar dengan ketinggian mencapai dua puluh meter lebih yaitu mereka membacakan mantra pengusir roh halus yang menjaga pohon tersebut sebelum memanjat.
Bagi orang rimba, hutan merupakan rumah. Rumah yang memberikan mereka segalanya Sekarang, jarang sekali media yang mewartakan pertambahan areal hutan, justru sebaliknya.
Orang rimba sangat sulit menerima edukasi. Bukan mereka bodoh atau ber-IQ jongkok. Melainkan dalam kepercayaan mereka, pendidikan dilarang karena akan mengundang cemeti dari sang dewa. Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja kepercayaan orang rimba. Itulah yang menyebabkan sebagian orang rimba masih buta aksara.
Kondisi seperti inilah yang mengundang Saur Marlina Manurung atau yang lebih akrab dikenal Butet Manurung. Sarjana Antropologi dan Bahasa dan Satra Indonesia UNPAD sekaligus penulis buku ini kepincut mengarungi hutan Jambi. Butet yang dulunya bergabung dengan WARSI mencoba untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat rimba.
Perjuangan yang dihadapi Butet amatlah berat. Kondisi hutan yang rapat sepi, bahaya mengintai setiap saat baik itu dari binatang buas, orang rimba sendiri maupun pelaku illegal logging yang selalu mencurigai gerak gerik Butet, membuatnya harus berinteraksi dengan orang rimba. Peraih Heroes of Asia Award, 2004 ini mencintai status sebagai seorang guru anak-anak orang rimba. Sebelumnya Butet mengalami bermacam perlakuan yang benar-benar menguji dirinya dari orang rimba.
ImageSokola Rimba merupakan model sekolah yang dirintis oleh penulis dan kawan-kawan dengan tujuan membantu orang rimba dari ketertindasan. Dari catatan harian penulis dapat diketahui, sangat sulit kiranya meyakinkan orang rimba bahwa pendidikan.
Ternyata orang rimba tak sebodoh dikira. Mereka memiliki daya tangkap dan ingat yang tidak jauh beda dibandingkan dengan anak orang terang. Anak-anak orang rimba yang belajar aksara terkadang mereka belajar di bawah tekanan adat. Akat tetapi, semangat yang tinggi membuat mereka semakin haus akan pendidikan. Sehingga mereka ingin terus belajar meskipun di bawah tekanan, namun itu bisa mereka tepis.
Arti penting edukasi juga ditularkan pada sesama. Hingga saat ini Sokola Rimba telah melahirkan kader-kader guru yang berasal dari anak rimba untuk anak rimba sendirinya. Para kader ini sudah mampu membaca dan menulis, tidak sekadar itu saja mereka juga mengerti hukum.
Dalam bukunya, Sekolah Rimba Butet Manurung menceritakan perjalanan awalnya memasuki kawasan hutan yang dihuni oleh orang rimba. Ia sangat ekspresif menceritakan bagaimana ia meyakinkan orang rimba bahwa pendidikan sangat penting. Selama di rimba ia pun menjadi guru bagi anak negeri yang masih terisolasi itu.
Primitif. Begitulah kesan pertama masyarakat kota (orang terang) saat melihat orang rimba. Orang terang sering menyebut mereka orang kubu. Kata kubu sering dimaknai sebagai ejekan yang artinya bodoh. Keprimitifan orang rimba sering menjadi objek manipulasi sejumlah oknum.
Orang rimba yang mendiami Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, sangat kovensional. Penampilan mereka boleh dibilang sedikit “erotis.” Sebab kaum pria orang rimba tidak berbaju, mereka hanya mengenakan cawat—sejenis celana. Terlepas dari semua itu, pria yang sudah berkeluarga harus tunduk pada istri.
Pemerintah perlu membuat peraturan untuk melindungi dan mengakui keberadaan Orang Rimba. Kelompok Makekal Bersatu (Kelompok Orang Rimba Makekal Kabupaten Sarolangun), didampingi sejumlah aktivis Koalisi Perjuangan Hak Asasi Manusia (KoperHAM) mengungkapkan hal itu di Jambi, Selasa.
KoperHAM beranggotakan LSM/aktivis lingkungan KMB, Walhi Jambi, Persatuan Petani Jambi, PBHI Sumbar, dan Sokola.
Ketua Kelompok Makekal Bersatu,Pangendum mengatakan peraturan itu amat mendesak terkait berbagai masalah dan kasus yang dialami masyarakat adat Orang Rimba yang tersebar di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kab. Sarolangun dan di luar kawasan taman nasional itu.
Puncak masalah yang dihadapi masyarakat adat Kubu, seperti dilaporkan kapanlagi.com adalah adanya Rencana Pengelolaan TNBD (RPTNBD) dengan sistem zonasi, karenanya RPTNBD harus direvisi.
Beberapa peristiwa kekerasan dan penganiayaan yang dialami warga SAD dalam beberapa bulan terakhir telah diindentifikasi seperti tentang penembakan oleh oknum polisi, penyerangan masyarakat transmigrasi bersama masyarakat dusun, dan pengusiran Orang Rimba.
Lalu kasus penganiayaan oleh aparat keamanan perusahaan kayu, perbuatan tidak senonoh, pembakaran tempat tinggal suku anak dalam yang sebagian besar masih mengembara di hutan tersebut.
Selain terkait tindak pidana peristiwa di atas memperlihatkan indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Orang Rimba mendesak aparat hukum agar bertindak melindungi mereka dari anarkis orang luar atau kelompok lain dengan alasan apapun.
Loyalitas Tinggi
ImageHal yang menarik dari orang rimba ialah loyalitas mereka pada adat. Bagi mereka adat juga berfungsi sebagai tameng dari kebrutalan dunia luar. Salah satu contoh, wanita yang belum menikah berjalan dengan laki-laki sangat dilarang.
Tidak hanya itu saja, adat orang rimba juga melarang berteman dengan orang terang yang memasuki hutan, ditenggarai orang terang membawa penyakit. Tradisi lainnya, bila salah seorang anggota keluarga mereka meninggal dunia, mereka akan bepergian jauh, mengarungi hutan untuk mengusir kesedihan.
Semakin banyak anggota keluarga maupun kelompok mereka semakin jauh pula mereka mengarungi hutan. Maka jangan heran bila mereka memiliki kebiasaan nomaden. Uniknya lagi dalam kesehariannya anak-anak boleh membentak orangtua, jika dipaksa berkerja. Adat rimba menegaskan, bagi yang melanggar peraturan diwajibkan membayar denda. Denda yang mereka bayarkan bukanlah berupa uang, melainkan kain yang merupakan alat tukar (uang) orang rimba.
Perekonomian orang rimba bergantung pada hasil hutan yang sekarang sudah mulai berkurang. Mata pencaharian orang rimba mengandalkan getah karet, madu. Tradisi unik ketika orang rimba mengambil madu yang terdapat di pohon besar dengan ketinggian mencapai dua puluh meter lebih yaitu mereka membacakan mantra pengusir roh halus yang menjaga pohon tersebut sebelum memanjat.
Bagi orang rimba, hutan merupakan rumah. Rumah yang memberikan mereka segalanya Sekarang, jarang sekali media yang mewartakan pertambahan areal hutan, justru sebaliknya.
Orang rimba sangat sulit menerima edukasi. Bukan mereka bodoh atau ber-IQ jongkok. Melainkan dalam kepercayaan mereka, pendidikan dilarang karena akan mengundang cemeti dari sang dewa. Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja kepercayaan orang rimba. Itulah yang menyebabkan sebagian orang rimba masih buta aksara.
Kondisi seperti inilah yang mengundang Saur Marlina Manurung atau yang lebih akrab dikenal Butet Manurung. Sarjana Antropologi dan Bahasa dan Satra Indonesia UNPAD sekaligus penulis buku ini kepincut mengarungi hutan Jambi. Butet yang dulunya bergabung dengan WARSI mencoba untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat rimba.
Perjuangan yang dihadapi Butet amatlah berat. Kondisi hutan yang rapat sepi, bahaya mengintai setiap saat baik itu dari binatang buas, orang rimba sendiri maupun pelaku illegal logging yang selalu mencurigai gerak gerik Butet, membuatnya harus berinteraksi dengan orang rimba. Peraih Heroes of Asia Award, 2004 ini mencintai status sebagai seorang guru anak-anak orang rimba. Sebelumnya Butet mengalami bermacam perlakuan yang benar-benar menguji dirinya dari orang rimba.
ImageSokola Rimba merupakan model sekolah yang dirintis oleh penulis dan kawan-kawan dengan tujuan membantu orang rimba dari ketertindasan. Dari catatan harian penulis dapat diketahui, sangat sulit kiranya meyakinkan orang rimba bahwa pendidikan.
Ternyata orang rimba tak sebodoh dikira. Mereka memiliki daya tangkap dan ingat yang tidak jauh beda dibandingkan dengan anak orang terang. Anak-anak orang rimba yang belajar aksara terkadang mereka belajar di bawah tekanan adat. Akat tetapi, semangat yang tinggi membuat mereka semakin haus akan pendidikan. Sehingga mereka ingin terus belajar meskipun di bawah tekanan, namun itu bisa mereka tepis.
Arti penting edukasi juga ditularkan pada sesama. Hingga saat ini Sokola Rimba telah melahirkan kader-kader guru yang berasal dari anak rimba untuk anak rimba sendirinya. Para kader ini sudah mampu membaca dan menulis, tidak sekadar itu saja mereka juga mengerti hukum.
Dalam bukunya, Sekolah Rimba Butet Manurung menceritakan perjalanan awalnya memasuki kawasan hutan yang dihuni oleh orang rimba. Ia sangat ekspresif menceritakan bagaimana ia meyakinkan orang rimba bahwa pendidikan sangat penting. Selama di rimba ia pun menjadi guru bagi anak negeri yang masih terisolasi itu.
Suku Lauje
MASYARAKAT Suku Lauje, di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mempunyai tradisi unik dalam menerima tamu atau pembesar yang baru berkunjung ke daerahnya. Mereka akan menyambutnya dengan tarian perang yang dimainkan oleh empat lelaki yang menggunakan guma atau parang panjang, serta dua orang yang bertombak. Penyambutan itu juga diiringi musik yang terdiri dari susulan balok kayu, gendang dan gong besar.Sabtu (19/04/2008) lalu, empat orang lelaki menggunakan guma dan dua lelaki lainnya menggunakan tombak terlihat berhadapan dengan sejumlah tamu. Di antara tamu itu terlihat Bupati Parigi Moutong LOngki Djanggola dan Camat Palasa Darwis Rahmatu. Mereka lalu berteriak dan berlaga dengan sesama mereka di depan para tamu penting itu. Jangan salah kira, mereka bukan hendak saling membunuh. Mereka ternyata sedang menyambut tamu-tamunya itu.
Tradisi tarian perang ini, biasanya disebut Meaju. Lazim ditarikan kala menerima tamu atau pembesar, semisal Presiden, Menteri, Gubernur atau Bupati, serta tamu-tamu lainnya.
Para tamu-tamu yang datang akan diarak menuju Pogombo Ada atau balai pertemuan adat. Sebelumnya, para tamu itu dihamburkan beras kuning, sebagai bentuk penghormatan. Lalu para tamu harus menginjak dulang dari kuningan yang berisi tanaman tertentu. Maknanya, di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, di mana kita bermukim, sudah seharusnya adatyan pun kita hormati.
Sementara arakan itu berlangsung, tiga orang anggota komunitas Suku Lauje memainkan alat musik yang terdiri dari Tadako, kulintang, Gimbale atau gendang dan Gong besar.
Jika Anda tertarik, sekali-kali, berkunjunglah ke Palasa, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jaraknya sekitar 200 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
April 20, 2008
Tradisi tarian perang ini, biasanya disebut Meaju. Lazim ditarikan kala menerima tamu atau pembesar, semisal Presiden, Menteri, Gubernur atau Bupati, serta tamu-tamu lainnya.
Para tamu-tamu yang datang akan diarak menuju Pogombo Ada atau balai pertemuan adat. Sebelumnya, para tamu itu dihamburkan beras kuning, sebagai bentuk penghormatan. Lalu para tamu harus menginjak dulang dari kuningan yang berisi tanaman tertentu. Maknanya, di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, di mana kita bermukim, sudah seharusnya adatyan pun kita hormati.
Sementara arakan itu berlangsung, tiga orang anggota komunitas Suku Lauje memainkan alat musik yang terdiri dari Tadako, kulintang, Gimbale atau gendang dan Gong besar.
Jika Anda tertarik, sekali-kali, berkunjunglah ke Palasa, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jaraknya sekitar 200 kilometer dari Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
April 20, 2008
Minggu, 08 November 2009
Tradisi Menangkap Ikan Suku Dayak Punan
Inilah warga Suku Dayak Punan. Mereka dikenal sebagai penjelajah. Di Kabupaten Berau Kalimantan Timur, mereka dapat dijumpai di sejumlah kampung di kawasan Hulu Sungai Segah.
Warga Suku Dayak Punan sangat tergantung kepada sumber daya hutan. Mereka memanfaatkan rotan, damar, dan ikan di sungai untuk hidup sehari-hari.
Perjalanan ke Kampung Dayak Punan melewati kawasan hutan. Pemandangannya sangat indah. Hutan pegunungan dan ekosistem hutan tepi sungai, dikawasn ini masih terlihat asri dan terjaga kelestariannya.
Salah satu tempat tinggal Suku Dayak Punan adalah Kampung Long Oking, di kawasan Hulu Sungai Segah. Perjalanan ke kawasn ini menempuh waktu 6 jam dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menyusuri aliran Sungai Segah dengan menggunakan ketingting.
Ketingting adalah perahu kayu kecil bermotor yang menjadi sarana transportasi sungai khas Kalimantan.
Desa Long Oking dihuni sekitar 20 kepala keluarga. Disini masih dapat ditemukan perempuan Dayak dengan giwang besar di telinga. Banyaknya giwang menandakan jumlah umur mereka setelah menikah.
Sebagian besar mata pencarian warga disini berladang dan mendulang emas. Ada juga yang bekerja sebagai pembuat perahu.
Hari ini warga Desa Long Oking merayakan hari libur akhir pekan atau biasa disebut poll-on, dengan piknik bersama.
Salah satu kegiatannya adalah mencari ikan di hulu Sungai Segah. Di lokasi yang telah ditentukan, warga membuat api dari kayu bakar, dengan menggunakan ranting pohon kering.
Air sungai sangat jernih, sehingga ikan dengan mudah terlihat dari permukaan. Kaum lelaki bertugas menangkap ikan. ada yang menggunakan jala.
Ada juga yang menggunakan tombak. Bahkan ada yang menggunakan alat khusus seperti panah. Beberapa jenis ikan didapat. Ada ikan sapan, ikan palau, ikan munjuk dan ikan teleweng. Semuanya ikan khas pedalaman Kalimantan Timur.
Ikan hasil tangkapan kemudian dibakar di tepi sungai. Setelah matang, dimakan bersama-sama.
Menangkap ikan bersama-sama di akhir pekan merupakan hiburan warga disini. Ini sekaligus meneruskan tradisi masyarakat Suku Dayak Punan yang telah berlangsung secara turun temurun.(Helmi Azahari/Idh)
Warga Suku Dayak Punan sangat tergantung kepada sumber daya hutan. Mereka memanfaatkan rotan, damar, dan ikan di sungai untuk hidup sehari-hari.
Perjalanan ke Kampung Dayak Punan melewati kawasan hutan. Pemandangannya sangat indah. Hutan pegunungan dan ekosistem hutan tepi sungai, dikawasn ini masih terlihat asri dan terjaga kelestariannya.
Salah satu tempat tinggal Suku Dayak Punan adalah Kampung Long Oking, di kawasan Hulu Sungai Segah. Perjalanan ke kawasn ini menempuh waktu 6 jam dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Perjalanan kemudian dilanjutkan menyusuri aliran Sungai Segah dengan menggunakan ketingting.
Ketingting adalah perahu kayu kecil bermotor yang menjadi sarana transportasi sungai khas Kalimantan.
Desa Long Oking dihuni sekitar 20 kepala keluarga. Disini masih dapat ditemukan perempuan Dayak dengan giwang besar di telinga. Banyaknya giwang menandakan jumlah umur mereka setelah menikah.
Sebagian besar mata pencarian warga disini berladang dan mendulang emas. Ada juga yang bekerja sebagai pembuat perahu.
Hari ini warga Desa Long Oking merayakan hari libur akhir pekan atau biasa disebut poll-on, dengan piknik bersama.
Salah satu kegiatannya adalah mencari ikan di hulu Sungai Segah. Di lokasi yang telah ditentukan, warga membuat api dari kayu bakar, dengan menggunakan ranting pohon kering.
Air sungai sangat jernih, sehingga ikan dengan mudah terlihat dari permukaan. Kaum lelaki bertugas menangkap ikan. ada yang menggunakan jala.
Ada juga yang menggunakan tombak. Bahkan ada yang menggunakan alat khusus seperti panah. Beberapa jenis ikan didapat. Ada ikan sapan, ikan palau, ikan munjuk dan ikan teleweng. Semuanya ikan khas pedalaman Kalimantan Timur.
Ikan hasil tangkapan kemudian dibakar di tepi sungai. Setelah matang, dimakan bersama-sama.
Menangkap ikan bersama-sama di akhir pekan merupakan hiburan warga disini. Ini sekaligus meneruskan tradisi masyarakat Suku Dayak Punan yang telah berlangsung secara turun temurun.(Helmi Azahari/Idh)
Grebeg Besar Demak
Setiap tahun, Kabupaten Demak menyelenggarakan kegiatan Grebeg Besar yang rutin dilakukan dalam rangka memelihara kebudayaan leluhur. Kegiatan tersebut mampu membangkitkan semangat dan kebanggaan warga Kabupaten Demak, karena pada saat itu, terpancar kejayaan Kerajaan Demak pada masa lalu.
Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari perjuangan para Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa yang melakukan aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ada beragam acara dan kegiatan ritual yang diperkenalkan oleh kedua tokoh itu masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam ritual yang selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh warga Kota Wali sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Menurut data sejarah, tradisi grebeg besar sebenarnya pada awalnya tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha. Semula ada empat Grebeg Besar, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Kegiatan yang masih berlangsung adalah Grebeg Besar yang sampai sekarang masih menjadi bagian tradisi bernilai jual.
Sementara itu, di luar Kabupaten Demak juga dikenal perayaan sejenis. Solo, Yokyakarta, dan Cirebon, dengan latar belakang sejarah masing-masing daerah yang berbeda, tetapi pada intinya adalah bentuk penghargaan terhadap para pendahulu yang telah berjasa kepada daerah ini.
Ritual acara Grebeg Besar diawali dengan saling silaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dan Bupati Demak. Didahului kunjungan Bupati ke Sasono Rengga Kadilangu, selanjutnya sesepuh Kadilangu dan keluarga kasepuhan bersilaturahmi menghadap Bupati dan biasanya mereka diterima di ruang tamu Bupati. Usai bersilaturahmi tersebut, Bupati dan Wakil Bupati bersama Ketua DPRD, Muspida Demak, dan jajaran pemerintah kabupaten Demak berziarah ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak. Hal ini dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di desa Kadilangu. Setelah itu rombongan meresmikan pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring.
Usai acara silaturahmi berakhir, dimulailah semua kegiatan keramaian di seantero Demak Kota.
Kemudian, pada malam menjelang Idul Adha diadakan acara Tumpeng Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (Wali Sanga) diserahkan oleh Bupati kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para pengunjung. Dalam acara Tumpeng Sembilan selalu di penuhi oleh warga masyarakat yang ingin ngalap berkah dengan mengharap mendapat bagian dari tumpeng yang dibagikan tersebut.
Tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kutang Ontokusuma yang di mulai setelah selesai Shalat Idul Adha. Khusus untuk acara penjamasan Kutang Ontokusuma melalui prosesi arak-arakan Prajurit Patang Puluhan yang berjalan dari Pendopo Kabupaten Demak menuju Kadilangu sejauh 2,5 km. Ini merupakan hiburan yang paling menyedot perhatian masyarakat karena sepanjang perjalanan yang dilalui Prajurit Patang Puluhan itu selalu penuh oleh masyarakat yang ingin melihat dari dekat.
Sebuah fenomena yang sangat menarik karena merupakan suatu gambaran yang nyata peristiwa menyatunya pejabat dengan rakyat dalam satu tempat sehingga tampak sebuah kerukunan dan kebersamaan langkah untuk menggapai cita- cita.
Bila zaman dahulu diadakan ritual mampu menghilangkan marabahaya, maka untuk saat ini kita perlu mengubah pandangan tersebut menjadi sebuah konsep yang modern, yaitu mencari alternatif penyelesaian masalah dengan cara koordinasi dan konsolidasi pemerintah dengan masyarakat. Ini bisa menjadi lebih baik dan membawa kemajuan Kota Wali. Betapa besar arti Grebeg Besar bagi Kabupaten ini.
Watak Religius Inilah watak religius masyarakat Kabupaten Demak yang selalu menghormati ajaran dan tradisi leluhur, khususnya para Wali tentang keimanan dan ketaqwaan. Bukan hanya sekadar menjalankan ajaran wajib dalam agama tetapi juga tradisi dan budaya Islami yang di kembangkan para Wali untuk menarik perhatian dan membawa masyarakat waktu itu untuk mengikuti ajaran yang mereka sebarkan. Seandainya pelaksanaannya tidak bersamaan dengan Idul Adha mungkin tidak seramai sekarang.
Ada kepercayaan pameo yang mengatakan, barang siapa menghadiri Grebeg Besar Demak tujuh kali berturut-turut, sama nilainya dengan telah melaksanakan Ibadah Haji.
Grebeg Besar bagi pemerintah Kabupaten Demak juga memiliki arti penting, yakni sebagai salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), melalui biaya sewa kapling-kapling tanah yang disewakan selama perayaan Grebeg. Hal ini ditambah pemasukan dari hasil penjualan tiket masuk ke area keramaian Grebeg Besar.
Sementara itu, bagi warga Kota Wali, Grebeg Besar merupakan kesempatan yang luas untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan keterlibatannya dalam kegiatan, seperti mempromosikan aneka hasil pertanian, kerajinan serta industri kecil lainnya. Demikian besar arti Grebeg Besar bagi Kabupaten Demak sehingga kita perlu membuat inovasi-inovasi kreatif agar mampu meningkatkan kualitasnya. Perubahan- perubahan untuk perbaikan perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan Kabupaten Demak. Perlu daya tarik agar mampu membangkitkan kebanggaan setiap warga.
Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari perjuangan para Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa yang melakukan aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ada beragam acara dan kegiatan ritual yang diperkenalkan oleh kedua tokoh itu masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam ritual yang selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh warga Kota Wali sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Menurut data sejarah, tradisi grebeg besar sebenarnya pada awalnya tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha. Semula ada empat Grebeg Besar, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Kegiatan yang masih berlangsung adalah Grebeg Besar yang sampai sekarang masih menjadi bagian tradisi bernilai jual.
Sementara itu, di luar Kabupaten Demak juga dikenal perayaan sejenis. Solo, Yokyakarta, dan Cirebon, dengan latar belakang sejarah masing-masing daerah yang berbeda, tetapi pada intinya adalah bentuk penghargaan terhadap para pendahulu yang telah berjasa kepada daerah ini.
Ritual acara Grebeg Besar diawali dengan saling silaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dan Bupati Demak. Didahului kunjungan Bupati ke Sasono Rengga Kadilangu, selanjutnya sesepuh Kadilangu dan keluarga kasepuhan bersilaturahmi menghadap Bupati dan biasanya mereka diterima di ruang tamu Bupati. Usai bersilaturahmi tersebut, Bupati dan Wakil Bupati bersama Ketua DPRD, Muspida Demak, dan jajaran pemerintah kabupaten Demak berziarah ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak. Hal ini dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di desa Kadilangu. Setelah itu rombongan meresmikan pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring.
Usai acara silaturahmi berakhir, dimulailah semua kegiatan keramaian di seantero Demak Kota.
Kemudian, pada malam menjelang Idul Adha diadakan acara Tumpeng Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (Wali Sanga) diserahkan oleh Bupati kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para pengunjung. Dalam acara Tumpeng Sembilan selalu di penuhi oleh warga masyarakat yang ingin ngalap berkah dengan mengharap mendapat bagian dari tumpeng yang dibagikan tersebut.
Tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kutang Ontokusuma yang di mulai setelah selesai Shalat Idul Adha. Khusus untuk acara penjamasan Kutang Ontokusuma melalui prosesi arak-arakan Prajurit Patang Puluhan yang berjalan dari Pendopo Kabupaten Demak menuju Kadilangu sejauh 2,5 km. Ini merupakan hiburan yang paling menyedot perhatian masyarakat karena sepanjang perjalanan yang dilalui Prajurit Patang Puluhan itu selalu penuh oleh masyarakat yang ingin melihat dari dekat.
Sebuah fenomena yang sangat menarik karena merupakan suatu gambaran yang nyata peristiwa menyatunya pejabat dengan rakyat dalam satu tempat sehingga tampak sebuah kerukunan dan kebersamaan langkah untuk menggapai cita- cita.
Bila zaman dahulu diadakan ritual mampu menghilangkan marabahaya, maka untuk saat ini kita perlu mengubah pandangan tersebut menjadi sebuah konsep yang modern, yaitu mencari alternatif penyelesaian masalah dengan cara koordinasi dan konsolidasi pemerintah dengan masyarakat. Ini bisa menjadi lebih baik dan membawa kemajuan Kota Wali. Betapa besar arti Grebeg Besar bagi Kabupaten ini.
Watak Religius Inilah watak religius masyarakat Kabupaten Demak yang selalu menghormati ajaran dan tradisi leluhur, khususnya para Wali tentang keimanan dan ketaqwaan. Bukan hanya sekadar menjalankan ajaran wajib dalam agama tetapi juga tradisi dan budaya Islami yang di kembangkan para Wali untuk menarik perhatian dan membawa masyarakat waktu itu untuk mengikuti ajaran yang mereka sebarkan. Seandainya pelaksanaannya tidak bersamaan dengan Idul Adha mungkin tidak seramai sekarang.
Ada kepercayaan pameo yang mengatakan, barang siapa menghadiri Grebeg Besar Demak tujuh kali berturut-turut, sama nilainya dengan telah melaksanakan Ibadah Haji.
Grebeg Besar bagi pemerintah Kabupaten Demak juga memiliki arti penting, yakni sebagai salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), melalui biaya sewa kapling-kapling tanah yang disewakan selama perayaan Grebeg. Hal ini ditambah pemasukan dari hasil penjualan tiket masuk ke area keramaian Grebeg Besar.
Sementara itu, bagi warga Kota Wali, Grebeg Besar merupakan kesempatan yang luas untuk mendapatkan tambahan penghasilan dengan keterlibatannya dalam kegiatan, seperti mempromosikan aneka hasil pertanian, kerajinan serta industri kecil lainnya. Demikian besar arti Grebeg Besar bagi Kabupaten Demak sehingga kita perlu membuat inovasi-inovasi kreatif agar mampu meningkatkan kualitasnya. Perubahan- perubahan untuk perbaikan perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan Kabupaten Demak. Perlu daya tarik agar mampu membangkitkan kebanggaan setiap warga.
Melihat Kehidupan Antaragama Suku Tengger
Hubungan antaragama selalu relevan untuk dibincangkan. Kondisi Indonesia yang multi etnik mensyaratkan keterbukaan hubungan yang dialogis dan penuh kesadaran. Semakin kita menolak perbedaan, semakin jelas pula perbedaan yang nampak. Bahkan tidak jarang hal itu memicu konflik yang tidak perlu.
Mari kita sejenak melihat sejarah konflik antaragama. Di Irlandia misalnya, konflik berdarah antara Kristen dan Katolik. Lalu, di Timur Tengah, konflik politik wilayah Israel-Palestina juga menyentuh ranah agama. Lembar sejarah Indonesia juga sudah mencatat banyak konflik horizontal yang terjadi. Tidak jarang konflik itu meminta korban nyawa yang tak berdosa. seperti misalnya, kasus Ambon dan Poso.
Untuk menganalisis hubungan antaragama, kita perlu melihat wajah agama sebagai salah satu kelompok etnik. Seperti yang diungkapkan Liliweri (2001), manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili populasi suatu masyarakat.
Indonesia terkenal akan etnisitas yang beragam. Bukan hanya agama, tetapi juga bahasa, budaya, dan artefak. Yang sering kita abaikan dari keragaman itu adalah kearifan lokal masing-masing budaya. Kearifan lokal ini biasanya menawarkan cara dan upaya menyelesaikan suatu permasalahan.
Bicara mengenai kearifan lokal, di ujung timur Pulau Jawa. Khususnya di lereng gunung Bromo-Semeru terdapat sebuah sekelompok warga yang tinggal di sana. Kelompok warga ini dikenal dengan nama Suku Tengger. Warga Suku Tengger terdapat di daerah Kaldera Bromo-Tengger-Semeru yang tersebar di kota Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
Upacara adat Suku Tengger yang terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini dilakukan di wilayah Gunung Bromo. Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu ini melahirkan kekhasan tradisi Suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang perbedaan. Oleh karena itu Suku ini tidak tertelan oleh zaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Suku Tengger memiliki sejarah sendiri dengan pertemuannya dengan agama-agama. pada masa revolusi tahun 1965, Suku ini merasakan ketegangan dengan Islam. Warga Pasuruan pernah menyerbu desa-desa Suku Tengger untuk memerangi kemusyrikan. Oleh karena itu, warga Suku Tengger akhirnya memilih Hindu sebagai agama resmi yang diakui. Meskipun begitu Hindu Tengger memiliki beberapa perbedaan dengan Hindu-Bali.
Suku tengger terkenal dengan kekayaan tradisi dan ritual upacara keagamaannya. Agama mayoritas warganya memang Hindu. Namun seiring perkembangan zaman, agama di sana juga semakin beragam dengan masuknya Islam dan Kristen. Dengan sejarah pertemuan agama-agama di sana, serta tingginya gelombang pengaruh dari luar Tengger melalui pariwisata serta teknologi informasi dan komunikasi, Suku Tengger tidak kehilangan identitasnya. Suku ini tetap menjunjung tinggi toleransi dan menganggap perbedaan itu suatu keniscayaan.
Contoh Suku Tengger merupakan komunitas masyarakat yang memiliki model hubungan antaragama yang dialogis dan setara. Keberagaman agama yang semakin berkembang tidak semakin menunjukkan gejala-gejala konflik yang dapat muncul. Model hubungan antaragama yang toleran masih banyak terdapat di Bumi Indonesia. Seharusnya, melalui multikuturalisme kita dapat melihat perbedaan sebagai suatu keindahan bukannya ancaman. Semoga.
Mari kita sejenak melihat sejarah konflik antaragama. Di Irlandia misalnya, konflik berdarah antara Kristen dan Katolik. Lalu, di Timur Tengah, konflik politik wilayah Israel-Palestina juga menyentuh ranah agama. Lembar sejarah Indonesia juga sudah mencatat banyak konflik horizontal yang terjadi. Tidak jarang konflik itu meminta korban nyawa yang tak berdosa. seperti misalnya, kasus Ambon dan Poso.
Untuk menganalisis hubungan antaragama, kita perlu melihat wajah agama sebagai salah satu kelompok etnik. Seperti yang diungkapkan Liliweri (2001), manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili populasi suatu masyarakat.
Indonesia terkenal akan etnisitas yang beragam. Bukan hanya agama, tetapi juga bahasa, budaya, dan artefak. Yang sering kita abaikan dari keragaman itu adalah kearifan lokal masing-masing budaya. Kearifan lokal ini biasanya menawarkan cara dan upaya menyelesaikan suatu permasalahan.
Bicara mengenai kearifan lokal, di ujung timur Pulau Jawa. Khususnya di lereng gunung Bromo-Semeru terdapat sebuah sekelompok warga yang tinggal di sana. Kelompok warga ini dikenal dengan nama Suku Tengger. Warga Suku Tengger terdapat di daerah Kaldera Bromo-Tengger-Semeru yang tersebar di kota Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
Upacara adat Suku Tengger yang terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini dilakukan di wilayah Gunung Bromo. Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu ini melahirkan kekhasan tradisi Suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang perbedaan. Oleh karena itu Suku ini tidak tertelan oleh zaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Suku Tengger memiliki sejarah sendiri dengan pertemuannya dengan agama-agama. pada masa revolusi tahun 1965, Suku ini merasakan ketegangan dengan Islam. Warga Pasuruan pernah menyerbu desa-desa Suku Tengger untuk memerangi kemusyrikan. Oleh karena itu, warga Suku Tengger akhirnya memilih Hindu sebagai agama resmi yang diakui. Meskipun begitu Hindu Tengger memiliki beberapa perbedaan dengan Hindu-Bali.
Suku tengger terkenal dengan kekayaan tradisi dan ritual upacara keagamaannya. Agama mayoritas warganya memang Hindu. Namun seiring perkembangan zaman, agama di sana juga semakin beragam dengan masuknya Islam dan Kristen. Dengan sejarah pertemuan agama-agama di sana, serta tingginya gelombang pengaruh dari luar Tengger melalui pariwisata serta teknologi informasi dan komunikasi, Suku Tengger tidak kehilangan identitasnya. Suku ini tetap menjunjung tinggi toleransi dan menganggap perbedaan itu suatu keniscayaan.
Contoh Suku Tengger merupakan komunitas masyarakat yang memiliki model hubungan antaragama yang dialogis dan setara. Keberagaman agama yang semakin berkembang tidak semakin menunjukkan gejala-gejala konflik yang dapat muncul. Model hubungan antaragama yang toleran masih banyak terdapat di Bumi Indonesia. Seharusnya, melalui multikuturalisme kita dapat melihat perbedaan sebagai suatu keindahan bukannya ancaman. Semoga.
Duata, Tradisi Pengobatan Alternatif Suku Bajo yang Masih Lestari
Suku bajo atau bajjau akrab dengan kehidupan laut. Bagi mereka laut adalah ladang.
Di Wakatobi komunitas bajo tersebar dibeberapa tempat. Ada bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga Suku Bajo selalu ditemukan dihampir semua Negara yang memiliki pesisir pantai.
Namun begitu, kehidupan ini tak melunturkan kebudayaan masyarakat Bajo. Salah satunya adalah Prosesi Duata. Dalam pelaksanan Festival Wakatobi Sail Indonesia Prosesi ini juga ditampilkan. Untuk dipertontonkan pada wisatawan asing yang berkunjung di Wakatobi sebagai peserta Rally Sail Dunia tahun ini.
Duata merupakan kata saduran dari sebutan Dewata. Dalam keyakinan masyarakat bajo Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma pada manusia.
Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo. Ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
Dalam prosesi duata yang digelar pada pelakasanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah tetua adat terlihat berkumpul di satu tempat pengobatan. Berbentuk satu ruangan dengan ukura sekira 2 meter persegi. Dihiasi dengan janur kuning bagian atasnya tanpa pagar. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan.
Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkap ritual. Ada beras berwarna warni yang dientuk melingar diatas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula dupa, yang pula pembaran dupa untuk mengharumkan sekitar pelakksanan kegiatan, daun sirih, kelapa dan pisang.
Setelah semuanya terracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan terdepan delapan orang gadis cantik berpakaian adat juga tak hentinya-hentinya nenari tarian Ngigal.
Di atas perahu semua peserta juga menari Ngigal untuk menyemangati oranng yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat melakukan prosesi larungan. Ada pisang dan beberapa jenis bahan komsumsi serta perlengkapan tidur, berupa bantal dan tikar.
Menurut cerita porosei ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Dalam kehidupoan masyarakat bajo mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut.
Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah dambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak dan dibawa kelaut sebagian lagi diambil oleh dewa dan di bawa naik dilangit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa kelaut dan kelangit.
Usai pelarungan, si sakit dan teteua adat kembali ditempat semula. Orang yang sakit akan kembali melaui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang (mayah). Berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubunya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit.
Tetaua adat juga akan mengikatkan benaga dilengan si sakit sebagai obat, konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakait. Dari bengn yang sebelunya tersimpan dalam cangkir tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.
Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutanya orang sakit tersub di putari sebanyak beberatpa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakuakn dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti sisakit telah sembuh.
Selanjutnya si sakit akan menghabur-hamburkan beras sebagai wujud kebegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang diderinya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si Sakit.
Mustamin, Ketua Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Mola Selatan mengatakan dalam kehidupan masyarakat Bajo pelaksanaan Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli.
Ia berharap kekayaan tradisi yang dimiliki Masyarakat Bajo dapat semakin menambah kekayaan budaya di Wakatobi. Sehingga Wakatobi dapat mengeksiskan diri sebagai Daerah Surga Nyata baik darat dan lautnya di kawasan pusat segitiga karang dunia. Semoga***
Di Wakatobi komunitas bajo tersebar dibeberapa tempat. Ada bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga Suku Bajo selalu ditemukan dihampir semua Negara yang memiliki pesisir pantai.
Namun begitu, kehidupan ini tak melunturkan kebudayaan masyarakat Bajo. Salah satunya adalah Prosesi Duata. Dalam pelaksanan Festival Wakatobi Sail Indonesia Prosesi ini juga ditampilkan. Untuk dipertontonkan pada wisatawan asing yang berkunjung di Wakatobi sebagai peserta Rally Sail Dunia tahun ini.
Duata merupakan kata saduran dari sebutan Dewata. Dalam keyakinan masyarakat bajo Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma pada manusia.
Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo. Ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
Dalam prosesi duata yang digelar pada pelakasanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah tetua adat terlihat berkumpul di satu tempat pengobatan. Berbentuk satu ruangan dengan ukura sekira 2 meter persegi. Dihiasi dengan janur kuning bagian atasnya tanpa pagar. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan.
Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkap ritual. Ada beras berwarna warni yang dientuk melingar diatas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula dupa, yang pula pembaran dupa untuk mengharumkan sekitar pelakksanan kegiatan, daun sirih, kelapa dan pisang.
Setelah semuanya terracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan terdepan delapan orang gadis cantik berpakaian adat juga tak hentinya-hentinya nenari tarian Ngigal.
Di atas perahu semua peserta juga menari Ngigal untuk menyemangati oranng yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat melakukan prosesi larungan. Ada pisang dan beberapa jenis bahan komsumsi serta perlengkapan tidur, berupa bantal dan tikar.
Menurut cerita porosei ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Dalam kehidupoan masyarakat bajo mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut.
Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah dambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak dan dibawa kelaut sebagian lagi diambil oleh dewa dan di bawa naik dilangit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa kelaut dan kelangit.
Usai pelarungan, si sakit dan teteua adat kembali ditempat semula. Orang yang sakit akan kembali melaui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang (mayah). Berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubunya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit.
Tetaua adat juga akan mengikatkan benaga dilengan si sakit sebagai obat, konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakait. Dari bengn yang sebelunya tersimpan dalam cangkir tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.
Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutanya orang sakit tersub di putari sebanyak beberatpa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakuakn dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti sisakit telah sembuh.
Selanjutnya si sakit akan menghabur-hamburkan beras sebagai wujud kebegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang diderinya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si Sakit.
Mustamin, Ketua Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Mola Selatan mengatakan dalam kehidupan masyarakat Bajo pelaksanaan Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli.
Ia berharap kekayaan tradisi yang dimiliki Masyarakat Bajo dapat semakin menambah kekayaan budaya di Wakatobi. Sehingga Wakatobi dapat mengeksiskan diri sebagai Daerah Surga Nyata baik darat dan lautnya di kawasan pusat segitiga karang dunia. Semoga***
Pariwisata Irian Jaya:
EMPAT belas kabupaten/kota di Irian Jaya mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri. Ada wisata bahari dengan keindahan taman laut, wisata budaya, sejarah, fauna, dan flora. Sayang, semuanya belum digarap secara profesional. Semuanya masih alamiah dan penduduk di wilayah pedalaman masih terkesan sangat primitif.Sampai tahun 1962 Jayapura disebut Hollandia, kemudian berubah menjadi Kota Baru, Soekarnoputra, dan akhirnya Jayapura. Di sana terdapat sebuah museum menyediakan seluruh budaya di Irja seperti ukiran dari berbagai kabupaten, alat perang, alat pertanian tradisional, perahu adat, tenunan adat, tarian, alat dapur nenek moyang dari batu dan kayu, ritus-ritus, dan peninggalan purbakala.
saljuirian.jpg (17051 bytes)
Terdapat tugu Jenderal Douglas McArthur peninggalan Perang Dunia II di Sentani. Tentara sekutu pada tahun 1942 telah menjadikan Jayapura sebagai basis kekuatan tentara di Pasifik Selatan melawan Jepang yang bermarkas di Biak. Jayapura pada masa Perang Dunia II menjadi pusat kegiatan intelijen tentara Sekutu.
Di sebelah utara monumen McArthur, pada ketinggian 325 meter terdapat dataran Pegunungan Cyclops dengan puncak Gunung Dofonsoro. Daerah ini sangat indah dan menjadi pangkalan pertahanan McArthur.
"Dari puncak Cyclops dapat dipantau Danau Sentani dengan air yang bening biru. Danau seluas 9.670 hektar sebagai tempat mata pencarian penduduk Sentani dan sekitarnya. Di danau itu dijadikan tempat rekreasi, memancing dan berlayar santai," kata Kasi Pelayanan Informasi Dinas Pariwisata Irja Dra Fidella Retob.
Terdapat monumen peringatan pendaratan tentara Sekutu pertama 22 April 1944 di Pantai Hamadi, dipimpin Jenderal Douglas McArthur. Di Taman Imbi, terdapat monumen peringatan Komodor Yos Sudarso yang gugur di Laut Aru melawan tentara Belanda.
Ditemukan pula Pantai Base G dengan pasir putih berhampar luas dan laut yang tembus sinar Matahari sampai ke dasar. Base G sebagai pusat logistik tentara Sekutu.
Taman buaya ditemukan di Entrop, lima kilometer dari Kota Jayapura. Di taman itu ditemukan sekitar 25.000 ekor buaya Irian.
Teluk Yotefa, di sekitar teluk ini ditemukan tiga kampung tua disebut Engros, Tobati, dan Nafri. Dari tiga kampung ini ditemukan adat dan tradisi tua yang sangat khas seperti pemilihan ketua adat, adat perkawinan, dan adat membangun rumah.
Terdapat gelanggang remaja untuk rekreasi, mancing ikan, olahraga, dan lomba dayung perahu tradisional di Danau Sentani. Upacara-upacara adat di danau Sentani menjelang pernikahan dan setelah kematian.
***
DARI Jayapura terus berlayar dengan perahu menuju Biak. Di sana terdapat upacara adat disebut Wor Barapen, sebuah kebiasaan kaum muda dan orangtua untuk menginjak batu karang tajam yang sudah dibakar. Seorang pimpinan spritual dengan kemampuan magis membacakan doa bagi orang lain yang sedang berjalan di atas batu-batu itu. Jika kaki terluka, orang itu terlalu banyak dosa.
Adat perkawinan tradisional yang disebut orang Biak Munara Yakyaker Purbakbuk. Yakyaker artinya membiarkan seorang pengantin wanita pergi ke kediaman pengantin pria. Ini merupakan perayaan adat terbesar selama hidup di Biak, dirayakan sampai tujuh hari.
Taman Burung di Desa Rim, Kecamatan Biak Timur. Banyak burung khas Irja dan burung-burung langka di Indonesia dapat ditemukan di taman burung Rim dengan luas dua hektar.
Kepulauan Padaido terdiri dari 30 buah pulau kecil dan besar disebut Pulau-pulau Schouten seorang berkebangsaan Belanda. Pulau itu ditemukan tahun 1602.
Padaido memiliki keindahan taman laut berkelas dunia. Laut yang jernih dengan berbagai tumbuhan laut termasuk terumbu karang di dalamnya. Dua pulau kecil paling indah yakni Ureb dan Mansurbabo dengan terumbu karang, pantai pasir putih sepanjang bibir pantai. Sinar Matahari dapat menembus air laut sampai ke dasar laut. Kepulauan Padaido dapat digunakan diving, menyelam dan menyaksikan coral di dalam dasar laut.
Kepulauan Padaido (Biak) memiliki taman laut berkelas dunia. Pagi hari, ketika Matahari menukik di balik bukit Padaido, sinar Matahari mulai memancar indah ke dasar laut. Segala tumbuh-tumbuhan laut, ikan, dan terumbu karang dapat dipantau dari darat. Dasar laut dengan pasir putih membuat panorama di perairan Padaido semakin asyik dinikmati.
Dennis Orchid Park adalah taman di depan Kepulauan Padaido yang menyediakan tumbuh-tumbuhan alamiah khas di Biak. Berbagai jenis anggrek dapat ditemukan di taman itu, di Desa Sumberker. Anggrek tersebut merupakan asli Irja dan tidak pernah dicampur zat kimia lain.
Pantai Imfendi terletak di Desa Adoki. Pantai tropis ini sangat indah untuk rekreasi dan santai. Terdapat hamparan pasir putih dengan air laut yang bening.
Sungai Biru yang mengalir di dalam terowongan (goa) sampai ke laut. Di dalam goa itu ditemukan stalaktit dan stalagmit. Sungai ini terdapat di Desa Parai.
Di Biak ditemukan Museum Cenderawasih yang berisikan benda-benda tradisional dan adat budaya khas Biak, senjata Perang Dunia II dari Jepang dan Sekutu, patung tradisional dari kayu menggambarkan nenek moyang Biak Numfor serta suku-suku di Biak.
Di sana juga terdapat goa Jepang berisikan sejumlah tengkorak Jepang. Tengkorak Jepang ini menjadi obyek wisata yang menarik. Banyak warga Jepang sebelum krisis moneter, datang ke Biak melihat goa Jepang. Sekitar 5.000 serdadu Jepang mati terbunuh di dalam goa itu. Kedalaman goa itu sampai 100 meter.
***
YAPEN Waropen dikenal sebagai salah satu kabupaten yang bersejarah di Irian Jaya. Di tempat ini Dr Sam Ratulangi dibuang. Kemudian ia mengumpulkan para pemuda di Serui untuk membangun kekuatan melawan Belanda. Salah satu putra Serui yang bekerja sama dengan Sam Ratulangi mengusir Belanda adalah Silas Papare. Serui sebagai pusat perjuangan rakyat Irja merebut kemerdekaan bersama Indonesia.
Ditemukan kelompok masyarakat tradisional Serui yang tinggal di permukaan laut dengan membuat gubuk-gubuk dari kayu-kayu. Sagu adalah makanan khas kelompok suku ini dengan suguhan khas yang disebut Sagu Forna.
Pantai Mariadei dan Pantai Aromarea memiliki pasir putih, laut bening, dan tempat rekreasi penduduk lokal setiap hari libur. Pada sore hari situasi pantai sangat ramai dikunjungi masyarakat. Di sini juga terdapat terumbu karang yang sangat indah.
Terdapat tiga telaga biru, dekat Desa Saranwandori sehingga disebut telaga biru Saranwandori. Di sekitar itu terdapat air terjun Haribi dengan ketinggian 10 meter.
Sisa-sisa Perang Dunia II juga terdapat di Kabupaten Manokwari. Kabupaten ini memiliki sebuah gunung seperti meja disebut Gunung Meja, yang dipakai tentara Jepang sebagai pusat pertahanan. Di sekitar itu terdapat lokasi yang sangat cocok untuk hiking, piknik, dan rekreasi.
Pulau Mansinam yang bersejarah di Manokwari terletak di Teluk Doreri dengan sejumlah monumen peringatan iman kepercayaan Kristiani pertama masuk Irja. Injil pertama masuk di pulau itu 5 Februari 1855 oleh dua misionaris barat yakni Otto (Belanda) dan Geisler (Jerman). Kini dibangun sekolah Theologia Otto dan Geisler di Jayapura.
Di Mansinam ditemukan sebuah sumur tua di samping kuburan kedua misionaris asing itu. Di sebelah utara pulau Mansinam terdapat taman laut yang indah dengan pantai pasir putih sepanjang pulau itu. Hutan asli dengan beranekaragam pohon sebagai tempat hunian satwa liar seperti burung cenderawasih, kuskus, kanguru, dan kasuari.
Sorong berasal dari kata Biak berarti laut terdalam, karena orang Biak pertama yang menemui daerah ini sebelum Belanda tiba di Irja. Sorong pernah dibawah kekuasaan Sultan Key Raha dari Tidore. Tahun 1932 sebuah perusahaan minyak Belanda memulai eksploitasi minyak di Klamone dan membangun permukiman di Sorong. Sebelum tahun 1969 Sorong menjadi sub bagian dari Kabupaten Manokwari.
Sorong memiliki pantai pasir putih yang luas, dan indah terutama di daerah kepala burung dan sekitarnya. Di sana banyak warga lokal mengunjungi daerah itu pada hari libur dan sore hari. Mereka juga menggelar kerajinan tradisional dan makanan ringan di pantai itu.
Disamping itu ada tebing (batu karang) yang dapat digunakan untuk diving. Ditemukan terumbu karang di dasar laut dengan taman laut yang indah. Pesisir pantai dihiasi hutan bakau. Di Pantai Jamursba Medi terdapat penyu belimbing dengan panjang 1,5 meter.
Terdapat 600 pulau kecil dengan keunikan masing-masing. "Kita dapat berlayar dari pulau yang satu ke pulau lain sambil menikmati taman laut yang indah dengan air laut yang bening. Monumen Arfak peringatan Perang Dunia II, sebuah patung dari perunggu simbol kekuatan Shinto juga ada di sini," ujar Retob.
Di Pulau Waigeo, terdapat sejumlah burung indah di Irja seperti cenderawasih, kakatua hitam, betet, nuri, dan seterusnya. Butuh waktu lima jam dengan speed boat dari Sorong menuju pulau itu. Pulau ini belum banyak dihuni penduduk sehingga masih banyak ditemukan binatang-binatang khas Irja.
Selain itu Fakfak yang didirikan 16 November 1900 atas perintah Gubernur Belanda waktu itu dan diperingati sampai hari ini sebagi hari lahir Fakfak. Setiap 16 November Fakfak diperingati dengan berbagai tarian adat, lagu-lagu daerah, olahraga, dan lomba dayung. Di pantai Fakfak ditemukan bekas tapak tangan di wadas di pesisir pantai yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1800-an.
Di Fakfak ditemukan sejumlah meriam peninggalan Perang Dunia II di Desa Sisir, Kecamatan Kokas. Di sana ditemukan juga goa Jepang yang digunakan untuk tempat persembunyian para tentara Jepang.
Di Kecamatan Kaimana ditemukan sejumlah relief kuno seperti sejumlah goa tua, kerangka burung garuda di Desa Lobo. Di kaki bukit Lobo dapat ditemukan sebuah salib dari garnisum tua disebut "Fort du Bois" didirikan Belanda tahun 1838. Dapat dilihat buaya dan ikan paus serta taman mutiara yang indah di Pantai Kaimana. Ingat lagu Senja di Kaimana.
Taman Nasional Laurentz terletak di Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan Merauke. Di Puncak Jaya atau puncak Cartenz terdapat puncak salju abadi. Puncaknya bertudung es. Puncak Jaya ini tadinya disebut puncak Cartenz, sebuah puncak gunung yang ditemukan oleh orang Belanda tahun 1678.
Puncak Cartenz dengan tudung es abadi di puncaknya merupakan satu-satunya keindahan alam yang ada di Asia Tenggara. Mampukah kita merawat dan memelihara keajaiban alam ini bagi anak cucu ? (Kornelis Kewa Ama)
saljuirian.jpg (17051 bytes)
Terdapat tugu Jenderal Douglas McArthur peninggalan Perang Dunia II di Sentani. Tentara sekutu pada tahun 1942 telah menjadikan Jayapura sebagai basis kekuatan tentara di Pasifik Selatan melawan Jepang yang bermarkas di Biak. Jayapura pada masa Perang Dunia II menjadi pusat kegiatan intelijen tentara Sekutu.
Di sebelah utara monumen McArthur, pada ketinggian 325 meter terdapat dataran Pegunungan Cyclops dengan puncak Gunung Dofonsoro. Daerah ini sangat indah dan menjadi pangkalan pertahanan McArthur.
"Dari puncak Cyclops dapat dipantau Danau Sentani dengan air yang bening biru. Danau seluas 9.670 hektar sebagai tempat mata pencarian penduduk Sentani dan sekitarnya. Di danau itu dijadikan tempat rekreasi, memancing dan berlayar santai," kata Kasi Pelayanan Informasi Dinas Pariwisata Irja Dra Fidella Retob.
Terdapat monumen peringatan pendaratan tentara Sekutu pertama 22 April 1944 di Pantai Hamadi, dipimpin Jenderal Douglas McArthur. Di Taman Imbi, terdapat monumen peringatan Komodor Yos Sudarso yang gugur di Laut Aru melawan tentara Belanda.
Ditemukan pula Pantai Base G dengan pasir putih berhampar luas dan laut yang tembus sinar Matahari sampai ke dasar. Base G sebagai pusat logistik tentara Sekutu.
Taman buaya ditemukan di Entrop, lima kilometer dari Kota Jayapura. Di taman itu ditemukan sekitar 25.000 ekor buaya Irian.
Teluk Yotefa, di sekitar teluk ini ditemukan tiga kampung tua disebut Engros, Tobati, dan Nafri. Dari tiga kampung ini ditemukan adat dan tradisi tua yang sangat khas seperti pemilihan ketua adat, adat perkawinan, dan adat membangun rumah.
Terdapat gelanggang remaja untuk rekreasi, mancing ikan, olahraga, dan lomba dayung perahu tradisional di Danau Sentani. Upacara-upacara adat di danau Sentani menjelang pernikahan dan setelah kematian.
***
DARI Jayapura terus berlayar dengan perahu menuju Biak. Di sana terdapat upacara adat disebut Wor Barapen, sebuah kebiasaan kaum muda dan orangtua untuk menginjak batu karang tajam yang sudah dibakar. Seorang pimpinan spritual dengan kemampuan magis membacakan doa bagi orang lain yang sedang berjalan di atas batu-batu itu. Jika kaki terluka, orang itu terlalu banyak dosa.
Adat perkawinan tradisional yang disebut orang Biak Munara Yakyaker Purbakbuk. Yakyaker artinya membiarkan seorang pengantin wanita pergi ke kediaman pengantin pria. Ini merupakan perayaan adat terbesar selama hidup di Biak, dirayakan sampai tujuh hari.
Taman Burung di Desa Rim, Kecamatan Biak Timur. Banyak burung khas Irja dan burung-burung langka di Indonesia dapat ditemukan di taman burung Rim dengan luas dua hektar.
Kepulauan Padaido terdiri dari 30 buah pulau kecil dan besar disebut Pulau-pulau Schouten seorang berkebangsaan Belanda. Pulau itu ditemukan tahun 1602.
Padaido memiliki keindahan taman laut berkelas dunia. Laut yang jernih dengan berbagai tumbuhan laut termasuk terumbu karang di dalamnya. Dua pulau kecil paling indah yakni Ureb dan Mansurbabo dengan terumbu karang, pantai pasir putih sepanjang bibir pantai. Sinar Matahari dapat menembus air laut sampai ke dasar laut. Kepulauan Padaido dapat digunakan diving, menyelam dan menyaksikan coral di dalam dasar laut.
Kepulauan Padaido (Biak) memiliki taman laut berkelas dunia. Pagi hari, ketika Matahari menukik di balik bukit Padaido, sinar Matahari mulai memancar indah ke dasar laut. Segala tumbuh-tumbuhan laut, ikan, dan terumbu karang dapat dipantau dari darat. Dasar laut dengan pasir putih membuat panorama di perairan Padaido semakin asyik dinikmati.
Dennis Orchid Park adalah taman di depan Kepulauan Padaido yang menyediakan tumbuh-tumbuhan alamiah khas di Biak. Berbagai jenis anggrek dapat ditemukan di taman itu, di Desa Sumberker. Anggrek tersebut merupakan asli Irja dan tidak pernah dicampur zat kimia lain.
Pantai Imfendi terletak di Desa Adoki. Pantai tropis ini sangat indah untuk rekreasi dan santai. Terdapat hamparan pasir putih dengan air laut yang bening.
Sungai Biru yang mengalir di dalam terowongan (goa) sampai ke laut. Di dalam goa itu ditemukan stalaktit dan stalagmit. Sungai ini terdapat di Desa Parai.
Di Biak ditemukan Museum Cenderawasih yang berisikan benda-benda tradisional dan adat budaya khas Biak, senjata Perang Dunia II dari Jepang dan Sekutu, patung tradisional dari kayu menggambarkan nenek moyang Biak Numfor serta suku-suku di Biak.
Di sana juga terdapat goa Jepang berisikan sejumlah tengkorak Jepang. Tengkorak Jepang ini menjadi obyek wisata yang menarik. Banyak warga Jepang sebelum krisis moneter, datang ke Biak melihat goa Jepang. Sekitar 5.000 serdadu Jepang mati terbunuh di dalam goa itu. Kedalaman goa itu sampai 100 meter.
***
YAPEN Waropen dikenal sebagai salah satu kabupaten yang bersejarah di Irian Jaya. Di tempat ini Dr Sam Ratulangi dibuang. Kemudian ia mengumpulkan para pemuda di Serui untuk membangun kekuatan melawan Belanda. Salah satu putra Serui yang bekerja sama dengan Sam Ratulangi mengusir Belanda adalah Silas Papare. Serui sebagai pusat perjuangan rakyat Irja merebut kemerdekaan bersama Indonesia.
Ditemukan kelompok masyarakat tradisional Serui yang tinggal di permukaan laut dengan membuat gubuk-gubuk dari kayu-kayu. Sagu adalah makanan khas kelompok suku ini dengan suguhan khas yang disebut Sagu Forna.
Pantai Mariadei dan Pantai Aromarea memiliki pasir putih, laut bening, dan tempat rekreasi penduduk lokal setiap hari libur. Pada sore hari situasi pantai sangat ramai dikunjungi masyarakat. Di sini juga terdapat terumbu karang yang sangat indah.
Terdapat tiga telaga biru, dekat Desa Saranwandori sehingga disebut telaga biru Saranwandori. Di sekitar itu terdapat air terjun Haribi dengan ketinggian 10 meter.
Sisa-sisa Perang Dunia II juga terdapat di Kabupaten Manokwari. Kabupaten ini memiliki sebuah gunung seperti meja disebut Gunung Meja, yang dipakai tentara Jepang sebagai pusat pertahanan. Di sekitar itu terdapat lokasi yang sangat cocok untuk hiking, piknik, dan rekreasi.
Pulau Mansinam yang bersejarah di Manokwari terletak di Teluk Doreri dengan sejumlah monumen peringatan iman kepercayaan Kristiani pertama masuk Irja. Injil pertama masuk di pulau itu 5 Februari 1855 oleh dua misionaris barat yakni Otto (Belanda) dan Geisler (Jerman). Kini dibangun sekolah Theologia Otto dan Geisler di Jayapura.
Di Mansinam ditemukan sebuah sumur tua di samping kuburan kedua misionaris asing itu. Di sebelah utara pulau Mansinam terdapat taman laut yang indah dengan pantai pasir putih sepanjang pulau itu. Hutan asli dengan beranekaragam pohon sebagai tempat hunian satwa liar seperti burung cenderawasih, kuskus, kanguru, dan kasuari.
Sorong berasal dari kata Biak berarti laut terdalam, karena orang Biak pertama yang menemui daerah ini sebelum Belanda tiba di Irja. Sorong pernah dibawah kekuasaan Sultan Key Raha dari Tidore. Tahun 1932 sebuah perusahaan minyak Belanda memulai eksploitasi minyak di Klamone dan membangun permukiman di Sorong. Sebelum tahun 1969 Sorong menjadi sub bagian dari Kabupaten Manokwari.
Sorong memiliki pantai pasir putih yang luas, dan indah terutama di daerah kepala burung dan sekitarnya. Di sana banyak warga lokal mengunjungi daerah itu pada hari libur dan sore hari. Mereka juga menggelar kerajinan tradisional dan makanan ringan di pantai itu.
Disamping itu ada tebing (batu karang) yang dapat digunakan untuk diving. Ditemukan terumbu karang di dasar laut dengan taman laut yang indah. Pesisir pantai dihiasi hutan bakau. Di Pantai Jamursba Medi terdapat penyu belimbing dengan panjang 1,5 meter.
Terdapat 600 pulau kecil dengan keunikan masing-masing. "Kita dapat berlayar dari pulau yang satu ke pulau lain sambil menikmati taman laut yang indah dengan air laut yang bening. Monumen Arfak peringatan Perang Dunia II, sebuah patung dari perunggu simbol kekuatan Shinto juga ada di sini," ujar Retob.
Di Pulau Waigeo, terdapat sejumlah burung indah di Irja seperti cenderawasih, kakatua hitam, betet, nuri, dan seterusnya. Butuh waktu lima jam dengan speed boat dari Sorong menuju pulau itu. Pulau ini belum banyak dihuni penduduk sehingga masih banyak ditemukan binatang-binatang khas Irja.
Selain itu Fakfak yang didirikan 16 November 1900 atas perintah Gubernur Belanda waktu itu dan diperingati sampai hari ini sebagi hari lahir Fakfak. Setiap 16 November Fakfak diperingati dengan berbagai tarian adat, lagu-lagu daerah, olahraga, dan lomba dayung. Di pantai Fakfak ditemukan bekas tapak tangan di wadas di pesisir pantai yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1800-an.
Di Fakfak ditemukan sejumlah meriam peninggalan Perang Dunia II di Desa Sisir, Kecamatan Kokas. Di sana ditemukan juga goa Jepang yang digunakan untuk tempat persembunyian para tentara Jepang.
Di Kecamatan Kaimana ditemukan sejumlah relief kuno seperti sejumlah goa tua, kerangka burung garuda di Desa Lobo. Di kaki bukit Lobo dapat ditemukan sebuah salib dari garnisum tua disebut "Fort du Bois" didirikan Belanda tahun 1838. Dapat dilihat buaya dan ikan paus serta taman mutiara yang indah di Pantai Kaimana. Ingat lagu Senja di Kaimana.
Taman Nasional Laurentz terletak di Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan Merauke. Di Puncak Jaya atau puncak Cartenz terdapat puncak salju abadi. Puncaknya bertudung es. Puncak Jaya ini tadinya disebut puncak Cartenz, sebuah puncak gunung yang ditemukan oleh orang Belanda tahun 1678.
Puncak Cartenz dengan tudung es abadi di puncaknya merupakan satu-satunya keindahan alam yang ada di Asia Tenggara. Mampukah kita merawat dan memelihara keajaiban alam ini bagi anak cucu ? (Kornelis Kewa Ama)
Langganan:
Postingan (Atom)