Minggu, 08 November 2009

Duata, Tradisi Pengobatan Alternatif Suku Bajo yang Masih Lestari

Suku bajo atau bajjau akrab dengan kehidupan laut. Bagi mereka laut adalah ladang.
Di Wakatobi komunitas bajo tersebar dibeberapa tempat. Ada bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga Suku Bajo selalu ditemukan dihampir semua Negara yang memiliki pesisir pantai.
Namun begitu, kehidupan ini tak melunturkan kebudayaan masyarakat Bajo. Salah satunya adalah Prosesi Duata. Dalam pelaksanan Festival Wakatobi Sail Indonesia Prosesi ini juga ditampilkan. Untuk dipertontonkan pada wisatawan asing yang berkunjung di Wakatobi sebagai peserta Rally Sail Dunia tahun ini.
Duata merupakan kata saduran dari sebutan Dewata. Dalam keyakinan masyarakat bajo Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma pada manusia.
Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo. Ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
Dalam prosesi duata yang digelar pada pelakasanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah tetua adat terlihat berkumpul di satu tempat pengobatan. Berbentuk satu ruangan dengan ukura sekira 2 meter persegi. Dihiasi dengan janur kuning bagian atasnya tanpa pagar. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan.

Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkap ritual. Ada beras berwarna warni yang dientuk melingar diatas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula dupa, yang pula pembaran dupa untuk mengharumkan sekitar pelakksanan kegiatan, daun sirih, kelapa dan pisang.
Setelah semuanya terracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan terdepan delapan orang gadis cantik berpakaian adat juga tak hentinya-hentinya nenari tarian Ngigal.
Di atas perahu semua peserta juga menari Ngigal untuk menyemangati oranng yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat melakukan prosesi larungan. Ada pisang dan beberapa jenis bahan komsumsi serta perlengkapan tidur, berupa bantal dan tikar.
Menurut cerita porosei ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Dalam kehidupoan masyarakat bajo mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut.
Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah dambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak dan dibawa kelaut sebagian lagi diambil oleh dewa dan di bawa naik dilangit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa kelaut dan kelangit.
Usai pelarungan, si sakit dan teteua adat kembali ditempat semula. Orang yang sakit akan kembali melaui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang (mayah). Berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubunya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit.
Tetaua adat juga akan mengikatkan benaga dilengan si sakit sebagai obat, konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakait. Dari bengn yang sebelunya tersimpan dalam cangkir tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.
Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutanya orang sakit tersub di putari sebanyak beberatpa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.
Pengujian kesembuhan ini juga dilakuakn dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti sisakit telah sembuh.

Selanjutnya si sakit akan menghabur-hamburkan beras sebagai wujud kebegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang diderinya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si Sakit.
Mustamin, Ketua Kerukunan Keluarga (Kekar) Bajo yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Mola Selatan mengatakan dalam kehidupan masyarakat Bajo pelaksanaan Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli.
Ia berharap kekayaan tradisi yang dimiliki Masyarakat Bajo dapat semakin menambah kekayaan budaya di Wakatobi. Sehingga Wakatobi dapat mengeksiskan diri sebagai Daerah Surga Nyata baik darat dan lautnya di kawasan pusat segitiga karang dunia. Semoga***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar