Ramadhan merupakan bulan suci yang sangat sakral dalam Islam. Di Aceh, Ramadhan disambut dengan suka cita yang tergambar jelas dalam tradisi-tradisi khas yang selalu dilaksanakan setiap tahun. Dua hari sebelum tibanya bulan suci Ramadhan dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Uroe Makmeugang. Di hari tersebut seluruh rumah memasak aneka masakan khas Meugang. Dari daging sapi atau kerbau, leumang (penganan dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), Timphan (penganan yang rasanya manis dari tepung ketan yang dibungkus dengan daun pisang), Tapee, Ketupat, dan lain-lain. Tradisi ini dilaksanakan di seluruh Aceh dengan cara yang berbeda-beda.
Salah satu tradisi unik di hari Meugang ini adalah tradisi yang ada pada masyarakat suku bangsa Aneuk Jamee, khususnya di daerah Aceh Barat Daya. Di daerah ini di hari Meugang dikenal adanya tradisi Mambantai dan Balamang. Kedua tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun sebelum Ramadhan setiap generasi ke generasi.
Mambantai adalah tradisi penyembelihan hewan yang nantinya dimasak untuk keperluan Meugang. Kegiatan ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka berkumpul di sebidang tanah yang cukup luas. Prosesi ini dipimpin oleh seorang pawang yang benar-benar memahami tata cara dan doa dalam penyembelihan dan dibantu oleh beberapa orang yang bertugas mengikat kaki dan merebahkan hewan yang akan disembelih dengan posisi menghadap kiblat. Sampai pada proses pemotongan daging dan siap dimasak oleh kaum perempuan.
Selain itu, dihari yang sama ada pula tradisi Balamang yang dilaksanakan oleh hampir semua keluarga disana. Balamang berarti tradisi memasak lemang. Uniknya Lemang tersebut dimasak bersama-sama oleh semua perempuan yang ada dalam keluarga yang biasanya diikuti oleh tiga generasi; nenek, ibu dan anak perempuan. Mereka mendapat porsi tugas masing-masing sesuai usia. Nenek dianggap orang yang paling ahli dalam memasak lemang. Ia bertugas sebagai orang yang mengaduk semua bahan dengan takaran yang sesuai. Selain itu ia juga yang paling mengerti cara memasukkan beras kedalam bambu. Generasi yang lebih muda kebagian tugas mencari, memotong dan membersihkan bambu untuk memasak lemang. Suatu hal yang menjadi pantangan bahwa bambu (buluh) tidak boleh dilangkahi karena dapat menyebabkan beras ketan yang dimasak di dalam buluh tersebut alak akan keluar (menjulur) saat proses pemanggangan (dibakar di bara api) dalam posisi berdiri bersandar pada besi tungku. Biasanya bambu dicuci di sungai dengan menggunakan sabut kelapa untuk mengikis miang yang melekat pada bambu (buluh) agar tidak gatal lagi. Gerakan menggosok batang bambu juga ditentukan yaitu satu arah, tidak boleh bolak balik untuk mencegah miang tadi melekat kembali. Gerakannya juga tidak boleh terlalu keras agar tidak merusak buluh. Generasi kedua ini juga bertugas memeras santan dengan memisahkan santan kental dan encer. Sedangkan generasi ketiga adalah generasi yang sudah harus mempelajari cara memasak lemang. Ia harus memperhatikan dengan baik setiap prosesnya. Tugasnya lebih ringan, mulai dari mencari daun pisang, lalu memilih dan memotong daun muda yang tidak mudah robek untuk dimasukkan ke dalam buluh lemang. Ia juga harus mencuci beras hingga bersih.
1.
Media untuk memasak
- Buluh atau bambu berdiameter 5-7 cm dipotong kira-kira sepanjang 50 cm, buluh tersebut tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua, supaya tidak mudah pecah ketika dibakar.
- Dinding dalam buluh dilapisi daun pisang muda, biasanya dianjurkan untuk menggunakan daun pisang kepok (Jamee: Pisang Abu) karena daun pisang jenis ini tidak mudah robek.
- Daun pisang dimasukkan dengan menggunakan pelepah atau tulang daun pisang. Pelepah tersebut dibelah bagian tengahnya untuk menjepit salah satu sisi daun lalu di gulung dengan ukuran lebuh kecil dari diameter bibir buluh, kemudian dimasukkan ke dalam buluh, setelah posisi daun telah tepat lalu pelepah pisang ditarik perlahan-lahan dengan merenggangkan jepitannya.
- Perlu disiapkan pula tungku sandaran buluh untuk proses pembakaran. Jadi buluh berada di satu sisi tungku dan api disisi yang lain. Buluh lemang tadi disandarkan dengan posisi sedikit tegak atau dengan kemiringan 75°-80°. Posisi ini dirubah sesuai kadar kematangan lemang. Artinya lemang sekali-kali diputar supaya masaknya lebih merata. Begitu pula kemiringannya, semakin matang maka semakin miring posisi lemang agar bagian bawah tidak hangus dan bagian atas juga matang.
2.
Komposisi/bahan Lemang dan proses pembuatannya
Bahan dasar :
- Beras ketan putih
- Santan kental
- Garam secukupnya
Takaran:
Untuk 1 bambu atau 2 liter beras ketan membutuhkan santan kental dari 3 butir kelapa. Sedangkan takaran garam sesuai selera, kira-kira bila dicicipi seasin air laut, tidak terlalu asin dan tidak pula tawar. Dengan beras ketan dan santan sebanyak ini cukup untuk 4 sampai 5 batang buluh berdiameter 5-7 cm. Dalam satu keluarga, biasanya menghabiskan 2-3 bambu beras ketan.
Cara membuatnya:
Beras ketan yang telah dicuci bersih dituang ke dalam wadah yang cukup besar. Lalu dimasukkan genggam demi genggam ke dalam bambu kira-kira 4-5 genggam atau kurang sejengkal dari bibir bambu yang telah dilapisi daun pisang. Hal ini dimaksudkan agar ketika mendidih santan tidak meleleh keluar. Lalu dalam posisi berdiri, santan kental yang telah diberi garam secukupnya diisi perlahan sebatas selayang diatas beras ketan. Untuk memastikan santan merata sampai ke bawah, sebatang lidi ditusuk persis di tengah beras sampai ke dasar buluh sehingga melalui lidi itu santan dapat meresap. Setelah itu lemang siap dibakar pada bara api yang cukup panas untuk sederetan lemang, bukan dengan api yang menyala besar karena dengan begitu lemang mudah hangus sedangkan bagian dalamnya masih mentah. Dalam proses pembakaran ini, nyala bara api harus tetap dijaga, demikian pula lemang, sesekali dibalik dan diatur kemiringannya hingga matang.
Setelah matang dan sudah tidak terlalu panas lemang siap disajikan. Buluh mula-mula dibelah, lemangnya diangkat pada sepotong daun pisang dan dipotong-potong sesuai selera. Lemang biasanya disajikan dengan tapee ketan hitam, rendang, kari atau serikaya.
Menurut tradisi daerah setempat, lemang biasanya dibuat lebih banyak agar dapat dibagikan kepada kaum kerabat dan tetangga. Semakin banyak orang yang bisa ikut menikmati maka lemang tersebut akan semakin berkah. Sehingga lelah seharian memasak terbayar dengan kenikmatan yang diperoleh dari kebersamaan.
Uniknya lagi proses pembuatan lemang ini biasanya dilakukan bersama-sama dari beberapa keluarga. Maksudnya, beberapa tetangga atau kerabat dekat berkumpul di salah satu rumah yang memiliki sebidang tanah yang cukup untuk membakar lemang. Maka kemudian semua bahan dikumpulkan, lalu dimasak bersama-sama. Proses ini akan terasa sangat ringan karena dikerjakan bergotong-royong sembari memupuk silaturrahmi antar sesama.
Dari kegiatan ini ada banyak nilai yang dapat disimpulkan. Dari proses penyediaan bahan sampai memasak lemang memperlihatkan bahwa secara moral mereka telah menanamkan sikap bertanggung jawab pada tiap generasi. Tanpa diperintah masing-masing tahu apa saja tugas mereka dan tahu kapan mereka harus mengerjakannya. Selain itu, dalam proses pembuatan juga terkandung nilai kebersamaan dan kekompakan karena itu dapat diukur dari rasa lemang yang dihasilkan. Secara umum banyak orang yang percaya bahwa rasa masakan yang dikerjakan oleh satu orang akan lebih enak daripada banyak orang. Hal ini tidak berlaku dalam tradisi memasak lemang. Karena lemang memang untuk dikerjakan bersama-sama. Dari kerukunan pasti dapat menghasilkan lemang yang enak dan lezat. Rasanya dapat dicicipi oleh beberapa lidah. Nilai kegotong-royongan sangat kental dalam tradisi ini. Balamang dapat dijadikan salah satu tradisi yang dapat mengikat persatuan dan kesatuan tidak hanya dalam satu keluarga namun juga satu kampung. Bahkan dapat dilihat, untuk menikmati lemang satu keluarga harus berbagi dengan orang lain.
Rabu, 11 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar