Hubungan antaragama selalu relevan untuk dibincangkan. Kondisi Indonesia yang multi etnik mensyaratkan keterbukaan hubungan yang dialogis dan penuh kesadaran. Semakin kita menolak perbedaan, semakin jelas pula perbedaan yang nampak. Bahkan tidak jarang hal itu memicu konflik yang tidak perlu.
Mari kita sejenak melihat sejarah konflik antaragama. Di Irlandia misalnya, konflik berdarah antara Kristen dan Katolik. Lalu, di Timur Tengah, konflik politik wilayah Israel-Palestina juga menyentuh ranah agama. Lembar sejarah Indonesia juga sudah mencatat banyak konflik horizontal yang terjadi. Tidak jarang konflik itu meminta korban nyawa yang tak berdosa. seperti misalnya, kasus Ambon dan Poso.
Untuk menganalisis hubungan antaragama, kita perlu melihat wajah agama sebagai salah satu kelompok etnik. Seperti yang diungkapkan Liliweri (2001), manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili populasi suatu masyarakat.
Indonesia terkenal akan etnisitas yang beragam. Bukan hanya agama, tetapi juga bahasa, budaya, dan artefak. Yang sering kita abaikan dari keragaman itu adalah kearifan lokal masing-masing budaya. Kearifan lokal ini biasanya menawarkan cara dan upaya menyelesaikan suatu permasalahan.
Bicara mengenai kearifan lokal, di ujung timur Pulau Jawa. Khususnya di lereng gunung Bromo-Semeru terdapat sebuah sekelompok warga yang tinggal di sana. Kelompok warga ini dikenal dengan nama Suku Tengger. Warga Suku Tengger terdapat di daerah Kaldera Bromo-Tengger-Semeru yang tersebar di kota Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang.
Upacara adat Suku Tengger yang terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini dilakukan di wilayah Gunung Bromo. Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu ini melahirkan kekhasan tradisi Suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang perbedaan. Oleh karena itu Suku ini tidak tertelan oleh zaman. Masuknya beragam agama, bagi mereka merupakan konsekuensi bahwa Suku Tengger hidup di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Suku Tengger memiliki sejarah sendiri dengan pertemuannya dengan agama-agama. pada masa revolusi tahun 1965, Suku ini merasakan ketegangan dengan Islam. Warga Pasuruan pernah menyerbu desa-desa Suku Tengger untuk memerangi kemusyrikan. Oleh karena itu, warga Suku Tengger akhirnya memilih Hindu sebagai agama resmi yang diakui. Meskipun begitu Hindu Tengger memiliki beberapa perbedaan dengan Hindu-Bali.
Suku tengger terkenal dengan kekayaan tradisi dan ritual upacara keagamaannya. Agama mayoritas warganya memang Hindu. Namun seiring perkembangan zaman, agama di sana juga semakin beragam dengan masuknya Islam dan Kristen. Dengan sejarah pertemuan agama-agama di sana, serta tingginya gelombang pengaruh dari luar Tengger melalui pariwisata serta teknologi informasi dan komunikasi, Suku Tengger tidak kehilangan identitasnya. Suku ini tetap menjunjung tinggi toleransi dan menganggap perbedaan itu suatu keniscayaan.
Contoh Suku Tengger merupakan komunitas masyarakat yang memiliki model hubungan antaragama yang dialogis dan setara. Keberagaman agama yang semakin berkembang tidak semakin menunjukkan gejala-gejala konflik yang dapat muncul. Model hubungan antaragama yang toleran masih banyak terdapat di Bumi Indonesia. Seharusnya, melalui multikuturalisme kita dapat melihat perbedaan sebagai suatu keindahan bukannya ancaman. Semoga.
Minggu, 08 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar