ADA berbagai cara melestarikan tradisi dan adat istiadat kita yang begitu kaya. Salah satunya melalui upacara penikahan. Itulah yang dilakukan keturunan Kerajaan Sigi, di Sulawesi Tengah. Mereka memboyong tanda-tanda kebesaran kerajaan yang pernah jaya itu ke Tolitoli, Sulawesi Tengah, saat pernikahan salah seorang putra keturunan pewaris Kerajaan yang berdiri pada 1650 itu. Ritual penikahan ini adalah perkawinan budaya asli Sigi dengan syariat Islam. Ada adat petambuli sebagai intinya.
Upacara pernikahan a la keturunan Raja Sigi ini tergolong unik. Selain harus menyiapkan sejumlah tanda-tanda kebesaran raja seperti ula-ula, orang-orangan dari kain yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Sang calon mempelai pria juga harus mengenakan pakaian kebesaran raja dan mengunakan siga, penutup kepala khas Kaili, suku terbesar di Sulawesi Tengah. Calon mempelai pria juga diwajibkan menunganggi seekor kuda menuju kediaman calon mempelai wanita. Maklum, Edy Supratman, demikian nama sang calon mempelai pria adalah keturunan pewaris kerajaan Sigi.
Sejumlah tetua adat dan keluarga dekat calon mempelai pria juga mengunakan pakaian berwarna kuning yang merupakan pakaian kebesaran kerajaan Sigi.
Sang calon mempelai pria sepanjang jalan dikawal oleh dua orang Tadulako, pengawal raja dan seorang panglima agar dalam perjalanan menuju rumah mempelai wanita tidak mendapat hambatan dari musuh.
Para Tadulako bertopi tanduk kerbau itu, dipersenjatai dengan guma atau golok perang, tavala atau tombak dengan kaliavo atau tameng. Sepanjang jalan tepukan rebana mengiringi rombongan dari calon mempelai pria. Terasa besar pengaruh Islam atas kerajaan Sigi tempo dulu.
Sepanjang jalan para Tadulako memperlihatkan keahliannya memainkan guma dan tavala. Itu agar tidak ada yang berani menggangu perjalanan sang mempelai pria.
Nah, setibanya di rumah calon mempelai wanita rombongan pasukan dari calon mempelai pria disambut dengan dua orang prajurit utusan dari calon mempelai wanita.
Disini utusan prajurit dari mempelai wanita sempat melancarkan serangan dengan golok dan ditangkis oleh sang panglima dengan tombak sebelum memasuki halaman rumah calon mempelai wanita.
Sebelum, memasuki pintu rumah calon mempelai wanita digelarlah adat petambuli, upacara penghormatan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya. Inilah inti prosesi adat itu. Petambuli dimpimpin dua orang tetua adat dengan mengunakan bahasa Kaili, bahasa ibu suku terbesar di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, sang calon mempelai pria Edi Supratman dan calon mempelai wanita Sitti Maryam dinikahkan sesuai dengan syariat Islam.
Menurut salah seorang tokoh adat, Lassa ritual adat semacam ini dulunya selalu digelar oleh para bangsawan kerajaan Sigi. Kemudian pupus dan tidak lagi pernah digelar karena orang yang ingin semuanya serba praktis dan langsung jadi.
Dipercaya juga pelaksanaan adat pernikahan ini bertujuan memohon bagi sang pencipta alam semesta agar kedua mempelai diberikan keturunan yang baik serta rezeki yang melimpah.
“Jadi penghormatannya dimulai dari teras rumah pria, di jalan dan hingga ke teras rumah wanita. Filosofinya adalah manusia hidup itu harus saling menghormati. Dan semuanya harus berawal dari rumah tangga hinga ke kehidupan mereka sehari-hari, saat bergaul dengan orang lain di lingkungannya.
Diharapkan pelaksanaan ritual ini bisa melestarikan adat istiadat yang dulunya masyhur dan melembaga di Sulawesi Tengah berbilang ribuan tahun lamanya sejak abad 17. Meminjam harapan Lassa, agar adat tidak mati suri.***
Rabu, 11 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar